BUDAYA  

Cerpen Sebuah Impian

Karya Euis Karsina

Hidup berkah
(Ilustrasi: Istimewa)

#TemaGoresanHikmahRamadhan

NGAPAIN toh Umi, kok, komat kamit nggak jelas begitu?” tanya Rahman pada Zahra istrinya ketika mereka jalan-jalan pagi melewati tanah kosong yang ada di samping rumahnya.

“Dibacain sholawat, Bi.Supaya tanahnya bisa menjadi milik kita dan membangun gedung TPA Ar-Rahman di atasnya.” Zahra berhenti kemudian memandang hamparan tanah yang luas tersebut.

“Aamiin. Iya, Mi. Semoga saja impian kita bisa menjadi kenyataan, ya,” jawab Rahman yang ikut berdiri di samping Zahra seraya memandang hamparan tanah luas sekaligus menghirup udara segar di pagi hari.

“Kalian sedang apa, toh?” tanya Bu Tuti, tetangga mereka yang sengaja datang menghampiri.

“Menghirup udara segar, Bu,” jawab Zahra dengan senyum manisnya.

“Saya kira kalian sedang berharap tanah ini jadi milik kalian, dari mana kalian dapat uang untuk membeli tanah seluas ini, mana mungkin.” Bu Tuti berkata pedas seraya mencibir.

“Terima kasih, Bu, atas hinaannya. InsyaAllah semua impian kami akan terwujud dengan pertolongan-Nya terlepas kami punya uang atau tidak.” Zahra menjawab perkataan pedas tetangganya itu dengan wajah tenang dan tersenyum tipis.

“Hahaha, jangan mimpi kalian. Mana ada, toh, tak punya uang bisa membeli tanah seluas ini,” tukas Tuti dengan tawa mengejeknya.

“Kita pulang, Umi,” ujar Rahman seraya menarik tangan istrinya yang hampir terpancing dengan omongan Tuti.

Mereka berdua berlalu dari hadapanTuti menuju rumahnya, “Aku tersinggung, loh, Bi, dengan perkataan si tukang tipu itu. Mentang-mentang kita belum punya harta yang banyak, seenaknya aja ngomong begitu,”

“Siapa, Mi, tukang tipu itu?” Rahman melirik ke arah istrinya lalu duduk di teras rumahnya dan diikuti oleh Zahra yang bersungut-sungut sebal.

“Abi ini pura-pura nggak tau aja. Tuti itu, loh, kalo dipanjangin kan jadinya tukang tipu.” Zahra akhirnya terkekeh sendiri begitupun suaminya.

“Sudahlah Mi, nggak usah diambil hati, biarkan saja kalau tetangga kita mau bersikap julid atau nyinyir, anggap saja sebagai salah satu syarat menuju sukses, kita harus ikhlas menerimanya,” nasehat Rahman terhadap istrinya.

“Iya Bi, tapi aku mulai terpengaruh dengan ucapan Bu Tuti itu, kita kan emang belum punya uang banyak, apa bisa bangun TPA Ar-Rahman di tanah itu?” tanya Zahra lemas.

“InsyaAllah, Mi, mari kita kencangkan lagi doa-doa kita. Bukankah sesuatu yang istimewa akan menghampiri orang-orang yang melakukan amalan yang istimewa juga? Apalagi besok sudah memasuki bulan Ramadan, siapa tau keajaiban itu akan datang di bulan suci besok. Aamiin.” Rahman tersenyum dan membelai kepala istrinya dengan lembut.

“Iya, Bi. kasian anak-anak yang mau belajar ngaji dengan kita, saking banyaknya, kadang sampai duduk di teras rumah, kalau hujan pasti terkena semprotan air yang jatuh dari genteng. Dari Ramadan tahun lalu, aku sudah berdoa minta sama Allah agar memberikan tanah dan bangunan gedung TPA. Besok sudah sampai Ramadan lagi Bi, berarti aku tak putus berdoa selama satu tahun, ya. Semoga besok keajaiban itu benar-benar dating,” ucap Zahra seraya memandang suaminya dengan penuh harapan.

“Assalamu’alaikum. Permisi Pak, Bu, mohon izin, mau tanya rumahnya Bu Zahra dan Pak Rahman, di sebelah mana ya?” tanya seorang pemuda berpakaian rapih yang turun dari sebuah mobil avanza berwarna putih.

“Wa’alaikumsalam, di sini Pak rumahnya, saya Rahman dan ini istri saya Zahra,” jawabnya seraya berdiri dan menyalami pemuda tersebut.

“Wah, kebetulan sekali Pak Rahman, Bu Zahra, nama saya Ali utusan dari Pak Rozak. Beliau dengar kalau Bapak dan Ibu sedang membutuhkan donator untuk membangun gedung TPA. Benarkah begitu? Saya ke sini diminta beliau untuk melihat proses pembelajaran di sini sekaligus meninjau lahan mana yang nantinya bisa beliau beli dan dihibahkan untuk pembangunan gedung TPA Ar-Rahman.” Ali dengan lugas menjabarkan maksud kedatangannya sambil matanya melirik ke tembok rumah Rahman yang terdapat tulisan dari cat dengan huruf yang besar yaitu TPA Ar-Rahman.

“MasyaAllah, Pak Rozak yang bos bawang merah dan bawang putih itu, ya, Nak?” tanya Zahra dengan antusias.

“Betul, Bu, beliau ingin membantu. Sekiranya sudah ada lahan yang tepat menjadi pilihan Bapak dan Ibu, maka besok bisa langsung kami proses,” ujar Ali dengan senyum tulusnya.

“Ada, Nak Ali. Itu di sebelah rumah kami ada lahan kosong yang kebetulan akan dijual oleh pemiliknya untuk bagi waris,” tunjuk Zahra ke arah lahan yang barusan ia sholawati.

“Baik Bu, Pak, InsyaAllah besok saya akan membawa notaris untuk proes jual beli dan hibah. Sedangkan Pak Rahman dan Bu Zahra bisa menghubungi pemilik lahan tersebut sekarang,” pinta Ali seraya berdiri.

“Baik, Nak Ali. Sekali lagi terima kasih banyak ya,” ucap Rahman dan Zahra.

Ali mengangguk seraya berpamitan pada kedua suami istri yang bersahaja tersebut.

“Kalau begitu saya permisi, sampai bertemu besok, Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam,” ucap Rahman dan Zahra kompak.

Begitu mobil avanza putih yang dikendarai Ali berlalu, tampak Bu Tuti datang menghampiri mereka.

“Mobil siapa itu? Orang yang mau nagih utang ya?” tanya Buk Tuti kepo dan sinis.

Pak Rahman dan Bu Zahra saling melirik dan hanya tersenyum simpul, “Bu Tuti ingin tahu banget, ya, siapa dan apa tujuannya mendatangi kami? Baiklah, Bu, akan saya jelaskan. Orang yang berada di dalam mobil tadi namanya Ali. Ia adalah utusan pengusaha bawang yang ada di kota ini, dan Alhamdulillah beliau hendak membantu kami membeli sebuah lahan untuk membangun gedung TPA Ar-Rahman dan menjadikannya pusat belajar membaca Al-Quran,” papar Zahra dengan senyum lebar sedangkan Bu Tuti hanya terpelongo mendengarnya.

“Hahaha, kalian pasti membual, dasar tukang mimpi,” sentak Bu Tuti tak percaya.

“Terserah Ibu saja, kita lihat saja besok bagaimana hasilnya, ya. Sekarang Bu Tuti percaya kan, bahwa pertolongan Allah itu sangat nyata, walaupun kami tak memiliki uang yang cukup untuk membeli lahan, tapi Allah akan memberikannya melalui jalan yang tak disangka-sangka, dan keajaiban ini terjadi ketika Ramadhan akan tiba,” ucap Zahra lagi seraya menggandeng tangan suaminya dan melangkah masuk meninggalkan Bu Tuti yang terdiam. ***

Cirebon, Maret 2023

Euis Atun Karsina, S.Pd. adalah nama lengkap penulis. Ia lahir di   Kabupaten Cirebon pada tanggal 5 November 1981. Saat ini profesi penulis adalah seorang kepala sekolah di SDN 2 Bojong Wetan, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon. Hal yang tak bisa ditinggalkan satu haripun dalam hidupnya selain ibadah adalah membaca dan menulis, sehingga ia bisa ikut berkarya bersama Kak Arfi Zon dan kawan-kawan dalam beberapa buku antologi yang berjudul “Writers Dream”,  “Sorry, Madam, Im Not A Criminal”, dan “Goresan Hikmah Ramadhan”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *