Oleh Suheryana
BANGUN. Jalan pagi. Sarapan. Mandi. Kerja. Buka Laptop. Mandi. Tidur. Di sela-selanya –hehe– ke masjid. Atau tidur. Bangun. Ngopi ngeroko. Mandi. Sarapan. Main. Balik ke rumah. Mandi. Main lagi. Tidur. Atau berpuluh alternatif rutinitas lainnya. Begitu berulang setiap harinya. Kehidupan menjadi rutinitas yang mudah ditebak. Membosankan.
Betapa kosong dan keringnya kalau kehidupan hanya menjalani rutinitas. Kehidupan dengan logika, kehidupan dengan target-target, kehidupan dengan pencapaian, kehidupan dengan karier dan prestasi, kehidupan dengan materi. Betapa membosankan.
Bernapas serasa menjadi sia-sia. Usia yang terus bertambah serasa tidak berguna. Kehidupan terasa hampa dan tidak bermakna. Tidak ada gairah. Tidak keceriaan. Hanya berjalan seperti robot.
Maka kehidupan yang bermakna adalah ketika orang masih mempunyai mimpi, mempunyai harapan, mempunyai imajinasi, mempunyai khayalan, mempunyai harapan. Sepertinya mimpi dan imajinasi hanya membuang-buang waktu. Padahal di situlah intisarinya kehidupan.
Dengan mimpi dan imajinasi orang tergerak untuk bekerja, berusaha, dan beraktivitas. Dengan harapan orang menjadi bersemangat termotivasi dan menuju ke masa depan. Bahkan dengan mimpi, harapan, dan imajinasi orang menjadi rajin mendekat pada Mahapencipta.
Selalulah bermimpi. Dan jangan mimpi yang biasa saja. Jangan mimpi yang realistik. Karena mimpi yang realistik adalah program yang disimpan di komputer. Mudah ditebak. Tidak ada misteri dan tantangannya.
Selalulah berharap. Karena harapan membuat orang bergairah. Tanpa harapan, tubuh manusia hanyalah mayat yang berjalan. Pucat pasi. ***
Suheryana, Asisten Administrasi Umum Kabupaten Pangandaran.