PB PGRI Sentil Guru PPPK yang Harus Ditempatkan di Sekolah Negeri

IMG20240428142052.jpg
Ketua Umum PB PGRI, Prof. Unifah Rosyidi saat membuka Konferensi Kerja Provinsi V Masa Bhakti XXII PGRI Jawa Tengah, di Universitas PGRI Semarang, Minggu, 28 April 2024, (Foto: Antara/Zuhdiar Laeis).

ZONALITERASI.ID – Pentingnya kesamaan perhatian pemerintah terhadap sekolah negeri dan swasta disentil oleh Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI). Sentilan itu terutama dilayangkan saat pemerintah mengangkat guru berstatus pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).

Ketua Umum PB PGRI, Prof Unifah Rosyidi, mengungkapkan, dampak kebijakan rekrutmen aparatur sipil negara (ASN) PPPK membuat guru-guru honorer yang lolos seleksi PPPK ditarik ke sekolah negeri, sehingga menjadikan sekolah swasta kekurangan guru.

“Saya meminta guru-guru swasta yang lulus menjadi PPPK dikembalikan lagi ke sekolah asalnya,” kata Prof. Unifah, saat membuka Konferensi Kerja Provinsi (Konkerprov) V PGRI Provinsi Jawa Tengah Masa Bhakti XXII di Universitas PGRI Semarang, dilansir dari Antara.

Menurut Prof. Unifah, sekolah negeri dan swasta memiliki tujuan yang sama untuk memajukan dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sehingga harus diperlakukan dengan sama.

PB PGRI, lanjutnya, meminta negara memberikan perhatian luas kepada sekolah swasta karena sama-sama untuk memajukan pendidikan, juga tidak meninggalkan guru honorer yang sudah ada di sekolah negeri.

“Tidak boleh lagi ada guru yang dikontrak sampai bertahun-tahun, tetapi kemudian diputus di tengah jalan karena perubahan regulasi. Pokoknya kepastian perlindungan terhadap status guru akan terus diperjuangkan oleh PGRI,” ujarnya.

Sementara Ketua PGRI Jawa Tengah, Dr. Muhdi, S.H., M.Hum., mengatakan, PGRI selama ini terus melakukan perjuangan untuk guru, seperti pemenuhan guru, tunjangan profesi guru, hingga pengembangan keprofesian.

“Kami terus berupaya bagaimana agar PGRI menjadi organisasi profesi yang kuat,” katanya.

Muhdi mengajak para guru yang tergabung di PGRI untuk tidak cukup berbangga mengandalkan jumlah anggota yang besar, tetapi harus bisa menerjemahkan solidaritas dan kebersamaan menjadi sesuatu yang lebih produktif.

“Misalnya. Tidak boleh punya sekolah tapi sekadar sekolah, punya perguruan tinggi sekadar perguruan tinggi. Tetapi harus lebih baik,” katanya. (des)***