Pembiayaan Pendidikan untuk SMA/SMK Minim, Ketua Komisi V DPRD Jabar: Aktifkan Kembali SPP

IMG 20250101 WA00331 1140x570 1
Ketua Komisi V DPRD Jabar, H. Yomanius Untung, S.Pd. (Foto: Istimewa)

ZONALITERASI.ID – Ketua Komisi V DPRD Jabar, Yomanius Untung,  mengeluhkan masih minimnya pembiayaan pendidikan untuk SMA dan SMK khususnya negeri di Jawa Barat. Kondisi itu mengakibatkan mutu pendidikan di Jawa Barat stagnan.

Menurut Untung, dari hasil kajian yang mengacu kepada berbagai variabel, biaya pendidikan yang ideal untuk meningkatkan mutu pendidikan di Jabar bagi jenjang SMA sekitar Rp 4,6 juta per siswa per tahun dan SMK minimal Rp 5,7 juta per siswa per tahun, bergantung jurusannya.

Di sisi lain, lanjutnya, jika dilihat dari sisi anggaran, selama ini pembiayaan pendidikan yang diberikan oleh pemerintah pusat melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), untuk SMA per siswa per tahun di angka Rp 1,5 juta, SMK sebesar Rp 1,6 juta per siswa per tahun. Lalu, dana bantuan Operasional Pendidikan Daerah (BOPD) di kisaran Rp 98 ribu sampai Rp 125 ribu per siswa per bulan dan SMK di kisaran Rp 170 ribu per siswa per bulan, berbeda-beda setiap sekolah.

“Sudah beberapa tahun, kran bantuan dari orangtua siswa melalui SPP ditutup dan sumbangan orangtua pun tidak berjalan sesuai harapan. Jadi hanya mengandalkan BOS dan BOPD saja, sehingga mutu pendidikan di Jabar masih jauh dari kata layak,” terang Untung,  saat menjadi pembicara pada diskusi pendidikan akhir tahun 2024, di Hotel Rooms Inc d’Botanica Bandung, dilansir dari Majalah Sora, Kamis, 2 Januari 2025.

“Dana yang terbatas dibatasi juga oleh aspek psikologis dan politis di masyarakat terkait dengan pembiayaan pendidikan. Di antaranya pendidikan gratis. Ini sangat membebani, sudah berjalan hampir 20 tahun. Sejak diproklamasikannya pendidikan gratis, di sanalah mulai terjadi kemunduran tentang mutu pendidikan,” sambungnya.

Untung menuturkan, dengan alasan gratis, pemerintah dan masyarakat penyelenggara pendidikan dipaksa untuk menyelenggarakan pendidikan apa adanya. Akhirnya yang menjadi korban adalah siswa, baik saat pembelajaran maupun terkait mutu lulusan.

“Saya juga keliling ke berbagai daerah kabupaten/kota untuk melihat fasilitas sekolah, termasuk sekolah favorit di daerahnya. Fasilitasnya tidak bagus-bagus amat, seperti dari laboratoriumnya (komputernya keluaran tahun 2015), padahal kita ada di era digital. Ini berangkat dari keterbatasan anggaran,” kata Untung.

Mengaktifkan Kembali SPP

Pada kesempatan sama Untung mengatakan, untuk menghadapi minimnya pembiayaan pendidikan, pengaktifan kembali SPP menjadi solusi. Dengan catatan, siswa miskin dibebaskan dari SPP. Sehingga, sekolah memiliki anggaran yang terukur melalui Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS).

“Hitungan saya satu siswa harus membayar Rp 200 ribu, per bulan. Itu perkiraan. Orangtua siswa sebenarnya mau membayar, namun sudah terbuai oleh kampanye pendidikan gratis. Maka hentikan istilah pendidikan gratis. Sebenarnya tidak ada pendidikan gratis, yang ada adalah pendidikan terjangkau,” katanya.

“Melalui pengaktifan kembali SPP, akan mendekati pendidikan layak, dengan orientasi pendidikan yang unggul,” tambah Untung. (des)***