HOBI. Sebuah kata sederhana yang membawa kesan mendalam bagi mereka yang menjalaninya. Saya sendiri tidak pernah benar-benar serius dengan hobi. Awalnya, saya merasa iri melihat orang lain begitu semangat menekuni hobi masing-masing. Anak tetangga saya, misalnya, begitu asyik dengan game hingga lupa waktu. Ayahnya? Punya hobi mancing di balong dengan peralatan yang semakin canggih dari waktu ke waktu. Ada pula orang yang rela mengeluarkan uang ratusan juta hanya untuk memuaskan hobinya.
Saya? Hobi saya sederhana, murah, dan cenderung tidak istimewa: membaca. Tidak ada yang istimewa pula dengan latar belakang keluarga saya, yang sama sekali bukan pembaca. Tak pernah ada koleksi buku di rumah, tak ada buku yang dibelikan, dan bahkan tak ada minat untuk membaca. Namun, hobi ini seperti benih yang tertiup angin dan tumbuh perlahan-lahan di hati saya. Benih itu mulai bercambah ketika saya bergaul dengan teman-teman yang cinta buku, meski baru di masa SMA.
Waktu SMA, teman-teman sekelas saya tak ada yang peduli dengan buku. Tapi, berkat pergaulan yang lebih luas di luar kelas, saya mulai bertemu dengan orang-orang hebat: kolektor, distributor, penerbit, bahkan penulis buku. Mereka membawa saya lebih dekat dengan buku, menjadikannya bukan sekadar barang di rak, tetapi artefak peradaban yang penuh kisah.
Rak buku saya kini penuh. Masing-masing buku punya ceritanya sendiri. Namun, ada satu buku yang ingin saya ceritakan, karena kisahnya begitu dekat dengan pengalaman pribadi saya, bahkan menyentuh peradaban itu sendiri.
Ada sebuah buku lusuh, tak terawat, dan nyaris kehilangan identitasnya. Di mata ibu-ibu rumah tangga, buku seperti ini pasti langsung dibuang atau dijual kiloan ke tukang rongsok. Saya pernah melihat pemandangan itu di masa lalu, di kawasan perumahan tempat saya tinggal. Tumpukan buku—mulai dari buku modul, skripsi, hingga buku pelajaran—dibuang begitu saja. Bahkan, sebuah mobil bak pernah lewat, penuh dengan buku-buku yang sudah diikat. Tujuannya? Penampungan daur ulang. Buku-buku itu akan dihancurkan jadi bubur kertas.
Mudah sekali, bukan, menghancurkan buku? Sayangnya, tak semua orang sadar bahwa di dalam buku, tersimpan data peradaban. Betapa mirisnya melihat buku-buku ini, yang mungkin saja menyimpan catatan sejarah atau kisah inspiratif, dihancurkan begitu saja.
Di negara lain, seperti Belanda, buku-buku tidak diperlakukan seperti ini. Di sana, arsip peradaban dirawat dengan hati-hati. Tak heran jika koleksi arsip terbesar dunia ada di Belanda, termasuk beberapa naskah sejarah Nusantara seperti Babad Dipanegara dan Serat Pararaton. Bahkan, Jepang pun menyimpan bon jual beli yang berumur lebih dari 300 tahun. Semua itu adalah saksi peradaban yang dijaga agar tak hilang.
Berbeda dengan Indonesia. Sejarah kita pernah mencatat tragedi penghancuran peradaban, terutama buku-buku, pada 1965. Buku-buku yang terbit di era Soekarno, karya sastra berbau sosialis, atau tulisan bernuansa marxisme, dihancurkan. Pengarangnya dipenjara, bahkan tanpa pengadilan. Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu korban sejarah itu. Novelnya dilarang beredar, dan buku-bukunya dibakar.
Saya mungkin hanya memungut serpihan kisah dari peristiwa itu. Tapi, ada satu buku yang berhasil saya selamatkan dari penghancuran: I Swasta Setahun di Bedahulu karya A.A. Panji Tisna. Buku ini hampir saja hilang dari dunia. Ia ditemukan oleh seorang tukang loak, bercampur dengan sampah lain, sebelum akhirnya akan dijual untuk didaur ulang. Saya melihatnya di sana, di antara tumpukan sampah, dan hati saya seperti tersentak. Ada sesuatu yang menggerakkan saya untuk menyelamatkannya. Saya menebusnya dengan uang 50.000 rupiah.
Fisik buku itu jauh dari kata baik. Kotor, rusak, dan terlihat seperti barang yang sudah tidak punya nilai. Tapi, hati saya bahagia. Buku itu tidak jadi hilang dari peradaban. Lebih dari itu, saya merasa seperti dipertemukan dengan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar buku.
Ketika saya membaca buku itu, saya tahu bahwa isinya begitu luar biasa. Ia punya “ruh” yang membawa takdir keberkahan. Beberapa tahun setelah menyelamatkan buku itu, saya bertemu dengan keluarga besar penulisnya, A.A. Panji Tisna. Bahkan, saya sempat bertemu cucu beliau, A.A. Brawida, di Istana Buleleng, Bali. Pertemuan itu terasa seperti takdir, seolah buku lusuh yang saya selamatkan itu membuka pintu bagi saya untuk memahami lebih dalam tentang sejarah dan budaya.
Lebih dari itu, pengalaman ini membuat saya merenung tentang makna hobi saya. Membaca bukan sekadar kegiatan mengisi waktu luang. Ia adalah cara saya menjaga serpihan peradaban yang nyaris hilang.
Kisah buku ini adalah pengingat bahwa peradaban bisa dihancurkan dengan mudah, tapi juga bisa diselamatkan, meski hanya oleh satu orang. Dalam setiap buku yang kita baca, tersimpan cerita, nilai, dan jejak manusia.
Hari ini, di rak saya, I Swasta Setahun di Bedahulu berdiri dengan bangga, meski fisiknya tak sempurna. Saya merasa bangga menjadi bagian dari kisah buku ini, menyelamatkannya dari kehancuran, dan menghidupkan kembali nilainya.
Mungkin hobi saya sederhana. Tapi, siapa sangka hobi ini membawa saya pada perjalanan luar biasa—mengenal buku, peradaban, dan orang-orang hebat. Jadi, setiap kali Anda melihat buku yang nyaris dibuang, pikirkan lagi. Mungkin saja di dalamnya, ada kisah yang menunggu untuk diselamatkan.
Mari seruput kopi, dan lanjutkan membaca. ***
Didin Tulus, penggiat buku, tinggal di Cimahi.