Oleh Ika Dahliawati
BARU saja membuka instagram, tak sengaja tampak olehku akun salah seorang sahabat dan dengan jelas ada sebuah foto yang menggelitik hati untuk membacanya, “Andai aku jadi yang ke dua.”
Ho … ho … ho …, rupanya akan ada pembahasan secara streaming mengenai poligami.
Lagi-lagi poligami jadi pembahasan yang menarik. Andai aku yang jadi ke dua?
Kok yang dibahas “Yang ke dua” ya? Bukan yang pertama. Kan jelas yang pertama itu adalah “korban” dan tentu yang paling sakit ketika poligami terjadi.
Eitss …, tunggu dulu. Pilihan menjadi istri ke dua merupakan hal yang sulit pula. Bagaimana meyakinkan pihak keluarga dengan keputusan menjadi “Yang ke dua”.
Belum lagi persiapan mental ketika berhadapan dengan masyarakat. Bukankah ada stigma bahwa istri ke dua adalah “perebut?”
Cap negatif itu akan menempel di kening istri ke dua. Bila mental tak kuat akan memengaruhi kehidupan rumah tangganya kelak.
Poligami, siapa yang ingin cintanya di dua. Berbagi suami dan kasih sayang? Tidak ada satu pun yang mau begitu, betul?
Bagaimana menahan cemburu melihat suami bersama madu? Bagaimana tetap tersenyum melayani suami yang telah “mendua”?
Surga itu mahal rupanya. Apakah cemburu itu hanya dimiliki istri pertama? Tentu saja tidak, istri ke dua pun pasti memiliki rasa cemburu.
Yah cemburu, sifat yang diberikan Allah untuk manusia, khususnya wanita. Namun, sekarang kembali pada pilihan. Bersedia menjadi pertama atau menjadi yang ke dua? Atau memilih monogami?***
Penulis adalah Guru SMA N 1 Campaka, Purwakarta.