BUDAYA  

Puisi adalah Perempuan

rose 1556902 960 720 5b33cc72bde5757a045a5902 736x400 1
(Ilustrasi: Kompasiana.com)

(Catatan Sebelas Tahun Meninggal Sastrawan Moh. Wan Anwar)

Oleh Rudianto, M.Pd.

MINGGU, 22 November 2020, malam, telah dilaksanakan bincang Karya Sastrawan Moh. Wan Anwar melalui zoom. Kegiatan yang dimulai pukul 19.15 s.d. selesai (konon katanya sampai larut malam karena saya tidak hadir sampai selesai) itu dihadiri lebih dari 45 orang anggota dan alumni ASAS UPI (IKIP) Bandung sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa IKIP Bandung. Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka mengenang sebelas tahun kepergian sastrawan besar Moh. Wan Anwar.

Seperti diketahui, ASAS IKIP Bandung yang didirikan oleh Moh. Wan Anwar dan kawan-kawan (Igen, Deden, Berto, Eful, saya sendiri, dan yang lainnya) telah melahirkan banyak sastrawan yang cukup ternama. Dari alumni ASAS tersebut ada yang bekerja menjadi guru, dosen, wartawan, peneliti, sampai pebisnis. Persamaan dari mereka semua adalah berkarya. Mereka alumni ASAS tetap menulis dan berkarya. Sebagian besar dari mereka sudah menulis buku sastra.

Perbincangan malam itu dipandu oleh ketua ASAS saat ini, Mas Rafki. Pertemuan malam itu diisi dengan pembacaan puisi-puisi Moh. Wan Anwar lalu dibahas. Yang membahas berbagai macam kalangan, ada mahasiswa, ada guru, ada dosen, ada sastrawan sehingga pembicaraan semakin malam semakin seru. Pembicaraan semakin seru ketika masuk ke sesi proses kreatif Wan Anwar.

Proses kreatif seorang Wan Anwar disampaikan bahwa membuat sebuah karya sastra (puisi) harus melalui sebuah risert. Hal ini Wan Anwar lakukan karena terilhami proses kreatif sastrawan besar idolanya yaitu Chairil Anwar. Untuk mendapatkan sebuah puisi yang bernilai, Wan Anwar harus mengalami peristiwa yang sebenarnya.

Pada kesempatan ini saya yang kebetulan teman sekelas saat kuliah dan secara pribadi cukup dekat akan menyampaikan salah satu riset Wan Anwar saat akan menulis karya sastra.

Hampir seminggu Wan Anwar meninggalkan kampus (otomatis tidak kuliah). Ketika pamit, dia bilang akan pulang ke Warung Kondang, Cianjur karena ada urusan bisnis. Wan Anwar memang kerap pulang untuk urusan keluarga. Sebagai anak lelaki dan anak tertua, Wan Anwar sangat bertanggung jawab terhadap keluarganya. Kebetulan ayah Wan Anwar mukim di Arab Saudi sehingga urusan keluarga sering kali dia yang menyelesaikan.

Seminggu tidak menulis bagi Wan Anwar adalah kerugian besar.

Malam Senin sekira pukul sembilan malam Wan Anwar tiba-tiba sudah ada di dalam kamar saya. Wajahnya tampak lelah. Di mulutnya diselipkan pentil korek api. Kebetulan saya sedang berhadapan dengan mesin ketik.

“Rud, kau harus temani aku!” katanya sambil memijiti pundakku. Arif Sanjaya bilang ini adalah salah satu rayuan maut Beliau.

“Aku sedang menulis, Wan.” Kataku.

“Kau bisa tunda dulu itu!” katanya sambil duduk di sampingku.

“Sebentar lagi hujan, Wan.” Kataku. Saat itu Bandung memang sudah musim hujan.

“Selagi masih hujan air, itu bukan halangan.” Katanya.

Dengan berbagai rayuan maut, akhirnya saya ikuti kemauannya. Jaket tebal yang saya kenakan tidak begitu mampu menahan dinginnya Bandung. Vespa tua milik saya (kadang menjadi infentaris HIMA) menembus dinginnya Bandung.

“Ke mana, Wan?” tanyaku.

“Ke Jalan Wastukencana, kawan.” Katanya. Saya agak bingung juga, tetapi saya antar saja keinginannya.

Akhirnya kami berhenti di pasar bunga Jl. Wastukencana. Entah mau apa dia.

Tawar menawarpun terjadi. Sekuntum mawar merah yang indahpun dia bawa. Saya yakin harganya cukup mahal.

“Ayo kawan kita lanjutkan petualangan kita!” katanya.

Saya tidak banyak tanya. Saya hanya berpikir, pasti malam ini saya tidak akan bisa tidur. Entah petualangan apa yang akan dilakukannya.

Vespa pun melaju kencang menembus kabut Bandung. Hawa semakin dingin. Saya menuju Ledeng, tempat kamar kost saya.

Ketika akan belok ke halaman tempat kost, Wan Anwar berbisik, “Ada yang kita lupakan. Kau harus putar balik!” bisiknya.

“Apa lagi?” kataku agak kesal.

“Kita belum menengok Si Ace.” Katanya. Si Ace adalah warung Indomi di sekitar terminal Ledeng.

Akhirnya kami memesan Indomi dan kawan-kawannya. Saya makan agak cepat karena kantuk sudah mendera. Tetapi Wan Anwar tampak santai. Tentu dia punya rencana.

Tepat pukul 23.45 kami beranjak. Angin bertiup kencang. Kilat dan guntur mulai tampak. Gerimis mulai turun. Sangat terasa, hujan lebat akan segera turun.

“Kita ke…. “ dia menyebut nama sebuah asrama khusus putri.

Sesampainya di depan asrama tersebut kami berhenti. Saya menunggu di pos ronda yang berada di depan asrama. Wan Anwar berjalan mendekati sebuah kamar. Saya tahu penghuni kamar tersebut bernama SG mahasiswi Diksatrasia dari Majalengka.

Hujan semakin besar. Wan Anwar tetap berdiri di depan kamar di bawah hujan. Basah kuyup. Saya lihat jam tangan, 23.58.

Dua menit kemudian Wan Anwar mengetuk pintu. Selang beberapa saat penghuni kamar keluar. Wan Anwar menyerahkan bunga sambil sedikit berbungkuk, tetap dalam hujan. Selanjutnya Wan Anwar membalikan badan meninggalkan SG yang tampak bigung.

Kami pulang. Saya tidur. Sementara Wan Anwar menghabiskan malam di depan mesin tik. Entah berapa belas puisi dia hasilkan.

Peristiwa ini adalah salah satu riset Wan Anwar dalam proses kreatif membuat puisi. Risetnya selalu berhubungan dengan perempuan karena bagi Wan Anwar puisi adalah perempuan.

Selamat jalan Moh. Wan Anwar. Kau telah meninggalkan dunia ini tetapi karyamu akan tetap abadi.***

Rudianto, penulis Antologi Puisi Menunggu Matahari, pengawas Disdik Kabupaten Cirebon.

Respon (181)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *