Refleksi Akhir Tahun 2021, PB PGRI Sampaikan Catatan Kritis

pgri
Menyambut tahun 2022, PB PGRI menyampaikan beberapa catatan kritis, (Foto: Istimewa).

ZONALITERASI.ID – Menyambut tahun 2022, Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) menyampaikan beberapa catatan kritis.

Catatan kritis ini sebagai refleksi hal-hal yang masih perlu diperbaiki di masa mendatang. Tujuannya, agar tidak mengulang kesalahan di masa lalu dan tidak menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia seolah hanya jalan di tempat.

Dalam siaran pers yang diterima Zonaliterasi.id, Senin (27/12/2021) disebutkan, melihat fenomena pendidikan abad 21 yang kini dihadapkan kenyataan masa pandemi, PGRI memandang bahwa disrupsi teknologi akan mempercepat terjadinya peningkatan kualitas pendidikan.

“Menurut salah satu hasil studi, anak Indonesia hanya menggunakan 2,5 jam waktunya untuk belajar. Persoalan produktivitas ini diperkirakan memengaruhi 1,5% dari GDP kita. Dengan penguasaan teknologi dan penyiapan serta penataan infrastruktur teknologi yang baik, maka dapat membantu mengakselerasi kualitas pendidikan kita,” sebutnya.

Dipaparkannya, selama ini terdapat potensi bahaya yang tersimpan cukup lama, namun tidak kita sadari. Yaitu pendidikan di Indonesia mengalami stagnasi dalam kualitas paling tidak selama kurang lebih dua dekade terakhir. Dari tahun ke tahun, berbagai persoalan pendidikan tidak kunjung terselesaikan secara tuntas.

Berbagai persoalan pendidikan yang masih membelit bangsa ini, lanjutnya, seolah menunjukkan bahwa kita tidak pernah serius menata pendidikan itu sendiri.

“Semakin lama kualitas pendidikan Indonesia tidak semakin baik. Hal itu terlihat dari berbagai ukuran-ukuran internasional mengenai kemajuan pendidikan dan daya saing bangsa seperti penilaian PISA dan TIMMS, selama kurang lebih 20 tahun terakhir tidak menunjukkan hasil yang menggembirakan,” ujarnya.

“Apa yang salah dalam dunia pendidikan kita? Seringkali guru dipersalahkan dalam situasi ini padahal mutu pendidikan sangat terkait dengan kebijakan dan kurikulumnya. Semakin baik kebijakan pendidikan, maka semakin baik pula kualitas pendidikan,” sambungnya.

Menurutnya, sebenarnya guru adalah ujung tombak untuk melakukan perubahan dan perbaikan kualitas pendidikan. Karena itu perannya harus diperkuat, diberdayakan, dan diberikan otonomi. Jangan sampai kalau ada persoalan pendidikan, seolah-olah guru menanggung beban itu sendirian.

“Beberapa dekade terakhir ini, para guru kita sebenarnya sudah melakukan banyak inovasi dan berbagai upaya terobosan yang tidak linear, kreatif, dan menyentuh akar persoalan pendidikan yang sebenarnya,” ungkapnya.

Mencermati kebijakan pemerintah selama 2021 terutama menyangkut tentang guru dengan segala dinamikanya, maka PB PGRI menyampaikan pandangan dan sikap sebagai berikut:

1) Memahami kebijakan pemerintah menyangkut Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di tengah keterbatasan anggaran yang tersedia. Meski demikian pola rekrutmen guru dan tenaga kependidikan dalam PPPK perlu diperbaiki, di antaranya dengan memberikan afirmasi 100 persen kepada guru dan tenaga kependidikan (GTK) yang telah mengabdi minimal lima tahun. Artinya, GTK yang telah mengabdi minimal lima tahun atau lebih, sebagai bentuk penghargaan dan loyalitasnya terhadap
pendidikan perlu otomatis lulus PPPK.

2) Menempatkan guru dan tenaga kependidikan yang lulus PPPK di sekolah tempat asalnya, sehingga tidak mengganggu aktivitas belajar-mengajar di sekolah tersebut.

3) Menyelesaikan rekrutmen GTK honorer menjadi GTK PPPK maksimal tahun 2023.

4) Rekrutmen GTK baru di sekolah negeri selanjutnya hanya dengan status Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau PPPK, dan tidak ada lagi yang berstatus honorer.

5) Perlunya membuka kembali formasi PNS untuk guru di tahun 2022 dan 2023 mengingat profesi guru perlu diminati oleh anak bangsa yang berdedikasi tinggi, berkompeten, dan mendapat jaminan kesejahteraan yang layak dari negara.

6) Perlu menyediakan formasi guru berbasis pemerataan guru yang berimbang dan berkeadilan sesuai kebutuhan daerah, karena selama ini distribusi guru tidak merata dan berimbang di sejumlah daerah.

7) Status Guru Penggerak tidak dijadikan syarat utama untuk menjadi kepala sekolah, karena tidak seimbangnya jumlah guru penggerak dengan kebutuhan formasi kepala sekolah yang tersedia.

8) Perlu melakukan evaluasi menyeluruh sistem perekrutan guru Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan memperhatikan afirmasi yang berkeadilan bagi para guru honorer yang telah berusia di atas 35 tahun. (des)***