Oleh Doddi Ahmad Fauji
BILA Ia menghendaki sesuatu, Ia tinggal berucap: Kun, fayakun (Jadi, maka jadilah!) (QS, Yasin ayat 82).
Klausa di atas mengandung renungan, yén penciptaan apapun oleh Tuhan, dijelmakan awalnya melalui bahasa. Maka, pepatah bangsa Arab yang berbunyi ‘al-aslu lughotan’ (asal usul itu berasal dari bahasa), mendapatkan pembenaran teologis.
Hatta, bangsa kita tampak kian mandul dalam mencipta piranti di bidang ke-insinyur-an, yang amat dibutuhkan untuk kemudahan mengurusi hidup, itu adalah imbas dari mandulnya penciptaan dalam ranah kebahasaan. Alih-alih menciptan, kita malah kian rajin mengimpor gramatologi (tata-bahasa) sejak dari tataran paling rendah berupa ilmu huruf (fonologi), kata (morfologi), kalimat (sintaksis), penandaan (semiotik), makna (semantik), lingkaran tafsir makna (hermeneutika) dan wacana (diskursus).
Tulisan ini diurai, untuk mengantarkan sehimpun puisi Benny Benke dalam buku antologi ini, dengan niatan hendak menegas-tegaskan, betapa belajar berpuisi amat penting untuk menunjang keterampilan berbahasa, sebab puisi memang telah meminjam bahasa tulis sebagai media penyampai, atau sarana untuk mengkomunikasikan gagasan si penyair. Dengan tulis-baca puisi, semoga ikut merawat bahasa, syukurlah bila malah bisa mencipta bahasa, hingga tak perlu mengimpor gramatika.
Pengantar dari Bre Redana yang direntangkan setelah ini, akan terasa setali tiga uang, bahkan menguatkan pandangan saya, yén berpuisi adalah belajar menata bahasa, dan menata bahasa pada dasarnya menata kepekaan afeksi, kongnisi, intuisi, imajinasi bahkan naluri untuk menciptakan aneka piranti yang bermanfaat bagi kelestarian bumi berserta para penghuninya.
Melalui kepekaan berbahasa, semestinya manusia bisa memimpin dirinya, sebelum jadi pemimpin bagi yang lain. Bila kita bertemu dengan orang yang masih ‘culangung’ (arogan) dan calutak (tidak sopan), mereka itulah golongan yang rendah dalam berbahasa, dan mereka tak dapat diharapkan dapat ikut mencipta dan merawat peradaban. Piranti macam komputer, telepon cerdas, mesin, atau seni memimpin yang adil lagi bijak, adalah hasil dari peradaban ‘tangible’ dan ‘intangible’.
Sikap adil lagi bijak mencerminkan pemimpin diri yang telah menemukan pola me-rasa dan berpikir dengan akurat, dan pertama sekali akan ditampakkan melalui caranya berbahasa.
Loncatan pikiran saya di atas, muncul salah satunya dari pemahaman yén keterangan dalam kitab suci (apapun), adalah puisi yang dituliskan, yang maknanya sebagian bersifat jelas lagi transparan atau muhkamat, dan sebagiannya bersifat diafan lagi simbolik atau mutasyabihat. Ayat pertama dalam surat al-Baqarah berisi tiga huruf saja, yaitu ‘alif lam mim’. Itulah puisi simbolik yang diucapkan (qouliyah), dan berkat kemajuan adab manusia, yang diucapkan itu kemudian dituliskan.
Selain yang diucapkan, ada keterangan qouniyah (yang tak diucap), yang didedahkan melalui seluruh hasil ciptaan-Nya. Para ulil-albab sejati (cendekiawan), niscaya membaca apa yang diucapkan dan dibentangkan, dan mereka mengakui, tak satu pun yang sia-sia apa-apa yang di-Kun-kan di semesta.
Puisi-puisi yang ditulis Benny Benke dalam antologi ini, berdiri di antara intuisi ‘Kun’ dan naluri pemaparan muhkamat (transparan). Tapi, se-transparan apapun puisinya, tidak semua pembaca akan mafhum, terlebih bagi mereka yang tidak pernah mengalami apa yang sudah dialamkan oleh Benny. Adalah amat penting bisa meng-alam-i, sebab akan berbuah pengetahuan, dan pengetahuan yang bersumber dari pengalaman, bila secara intens dan konsisten direnungkan, dipikirkan hingga berhasil ditangkap saripatinya, lalu dirumuskan, itulah dia yang diberi istilah ilmu pengetahuan praktis atau teori.
Nah, ada banyak teoretikus di negeri ini, tapi sulit dipahami, atau terasa tidak membumi, bisa jadi teori yang dipaparkannya hanya meminjam dari teori orang lain, bangsa lain, yang tidak berangkat dari pengalaman sendiri. Maka dalam hal ini, saya ingin meng-iya-kan peribahasa yang berbunyi: Pengalaman adalah guru yang terbaik. Dan dari dataran Italia, seorang filsuf cum sastrawan Umberto Echo berpendapat yang senada dengan peribahasa Melayu, yén teori terbaik ialah yang dipungut dari pengalaman di lapangan.
Pada keyakinan yang paling bersahaja atau mungkin disebut ngawur oleh sekalangan tertentu, saya mengatakan yén belajar berpuisi, dapat menjadi sarana untuk menafsir makna kitab suci tidak dengan naluri yang serampangan.
Dan sebab terkadang, keterangan yang sudah jelas serta dianggap benderang pun, bila coba direnungkan kembali secara intrinsik dan ekstrinsik, berulang-ulang dan intensif, ternyata bisa tertangkap sisipan yang simbolik. Nah, laporan perjalanan yang dilakukan oleh Benny, selaku jurnalis yang semula berasal dari kata ‘journ’ kemudian terdapat kata journey, dan akhirnya menjadi journalist atau wartawan, adalah puisi-puisi muhkamat yang perlu direnungkan, yang mengajak pembaca untuk benar-benar meng-iqro, sehingga berusaha mencari tahu agar paham.
Iqro itu arti harfiahnya memang membaca, tapi ia belum lunas membaca bila belum paham apa yang sudah diresepsinya. Hakikat membaca ialah paham, dan hakikat solat (ibadat) ialah tidak berbuat keji lagi munkar. Ketika naluri Adam Lama, yang oleh para malaikat disebut suka saling mengucurkan darah dan berbuat kerusakan, masih dipamerkan, termasuk di Indonesia, sesungguhnya halayak raméy baru membaca sebatas harafiah atau syariat belaka, dan juga baru beribadat sebatas syariat dan memandang tak penting yang substansial, yang esensial, yang hakikat sesungguhnya.
Menafsir beberapa puisi Benny dalam buku ini, senada walau tak sama dengan perintah Tuhan kepada para malaikat, hendak menghadirkan pemimpin di muka bumi, yang sempat ditentang oleh para malaikat, ternyata yang dilakukan oleh Tuhan ialah mengajari nama-nama, kepada Adam (ketiadaan dan kefanaan). Dalam kisah ini, tidak disebut proses penciptaan Adam, karena ujug-ujug Adam sudah ada, lalu diajari nama-nama, dan diminta mempresentasikannya kepada para malaikat. Seusai Adam, giliran malaikat yang diminta mempresentasikan nama-nama, dan mereka berkata, “Maha Suci Engkau, sungguh kami tidak tahu apa-apa selain yang Kau ajarkan!” (Qs. Al-Baqoroh ayat 30-32).
Lalu masih kepada para malaikat, Ia berseru, sujudlah kalian kepada Adam!
Semua malaikat sujud, dan yang tidak mau sujud disebut iblis, karena bersifat enggan diajak berbuat baik, sombong, dan kelewat narsis (membanggakan diri). (Q.s Al-Baqoroh ayat 34).
Saya berijtihad, pada mulanya dan seterusnya iblis itu tidak ada. Namun karena ada malaikat yang tidak mau sujud kepada Adam, maka yang enggan sujud itu disebut iblis. Lalu mereka kecewa, dan memohon kepada Tuhan, kiranya Tuhan berkenan menangguhkan kefanaan untuk mereka, serta mereka diberi keleluasaan untuk menggoda dan memperdaya manusia. Tuhan memberikannya. Pada ayat pamungkas Al-Quran, ada disebutkan sifat menggoda dan memperdaya itu, atau menjadi provokator dan agitator itu, bisa melekat pada golongan jin dan manusia.
Puisi-puisi Benny, terutama pada tema bagian akhir, terasa menginsyafkan saya selaku pembaca, agar janganlah aku menjadi provokator atau agitator.
Ada tiga tema utama dalam antologi ‘Mengheningkan Puisi’ ini, yaitu kisah perjalanan, lalu amor, dan teguran kritis. Akhirukalam, selamat mengapresiasi. ***
Bandung, Akhir 2021
Doddi Ahmad Fauji, Editor Mengheningkan Puisi.