Oleh Dadang A. Sapardan
KEBERLANGSUNGAN kehidupan manusia hingga saat ini tidak dapat dilepaskan dari peran budaya dan keyakinan masyarakat. Fenomena demikian, menjadikan manusia dapat survive dalam kehidupannya. Berkaca atas keberlangsungan kehidupan tersebut, penumbuhkembangan budaya masyarakat yang menjadi kearifan lokal (local wisdom) harus mendapat perhatian serius dengan dibentengi regulasi yang menunjukkan keberpihakan pemerintah dan para pemangku kepentingan terhadapnya.
Dalam pandangan sebagian besar masyarakat, kearifan lokal selama ini ditempatkan dalam stigma yang kurang menguntungkan. Pemosisian ini sangat merugikan bagi dinamika perkembangannya karena berada pada wilayah yang dianggap kuno, terbelakang, kampungan, dan ketinggalan zaman.
Demikian pula dengan bahasa daerah suku Sunda yaitu bahasa Sunda. Selama ini, bahasa Sunda dipandang sebelah mata oleh beberapa pihak karena tidak merepresentasikan nuansa kehidupan modern. Bahasa Sunda dianggap sebagai representasi tradisional yang hening dengan nuansa kemodernan. Bagaimana bangganya orang tua saat ini ketika mengajak anak balitanya untuk bertutur kata dengan menggunakan bahasa Indonesia, bahkan menggunakan bahasa Inggris. Kenyataan tersebut menjadi fenomena yang berlangsung saat ini.
Adalah tugas pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya untuk terus mengupayakan dan mempertahankan eksistensi bahasa Sunda di tengah arus masyarakat modern. Di tengah fenomena kehidupan dengan nuansa revolusi industri 4.0 dan masyarakat 5.0, bahasa Sunda harus tetap eksis dan ditempatkan sebagai kekayaan intelektual sehingga menjadi kebanggaan setiap penuturnya.
Bilingual Jadi Kebanggaan
Seperti kehidupan manusia yang fana, ternyata bahasa pun mengalami proses kematian karena tergerus zaman. Menurut catatan Unesco, di dunia ini, setiap tahun hampir sepuluh bahasa mengalami kepunahan. Kepunahan bahasa tersebut terjadi dengan 2 cara. Pertama, penjajahan atas negara lain. Pada akhir abad ke-18 di Australia terdapat 250 bahasa, dan saat ini yang tersisa lebih kurang 20 bahasa saja. Kedua, penutur bahasa terpaksa berpindah bahasa dan menggunakan bahasa lain. Proses perpindahan bahasa ini terjadi di Papua Nugini. Di sana banyak orang tua yang berpindah bahasa pada bahasa Tok Pisin, bahasa lingua franca yang berlaku di negara tersebut. Perpindahan tersebut terjadi karena bahasa Tok Pisin dianggap sebagai bahasa yang maju dan modern, sedangkan bahasa daerah mereka dipandang sebagai bahasa yang terbelakang dan kuno.
Melihat kepunahan bahasa tersebut, berdasarkan kuantitas penuturnya, bahasa yang punah adalah bahasa yang digunakan oleh kurang dari 100.000 penutur. Sedangkan bahasa yang masih bisa bertahan adalah bahasa yang digunakan oleh lebih dari 100.000 penutur. Kepunahan pun bisa diakibatkan oleh rasa malu menggunakan bahasa daerah yang menjadi bahasa ibunya sehingga bahasa pergaulan kesehariannya diganti dengan bahasa lain yang lebih modern dan bergengsi.
Sebenarnya, masyarakat Indonesia adalah masyarakat bilingual, bahkan bisa juga tergolong masyarakat multilingual. Hal itu bisa dikatakan karena selain terdapat bahasa Indonesia, sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara serta terdapat pula ratusan bahasa daerah yang tersebar dari bagian barat sampai bagian timur wilayah Indonesia. Dalam kehidupan keseharian masyarakat Indonesia, selain menggunakan bahasa Indonesia, mereka menggunakan pula bahasa daerah yang umumnya menjadi bahasa ibu-nya.
Dari persinggungan bahasa tersebut terjadi fenomena saling pengaruh-mempengaruhi di antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Salah satu perubahan yang merupakan akibat pengaruh-mempengaruhi tersebut terjadi pada unsur serapan, baik pada tataran leksikal, maupun pada tataran lain. Hal ini pada hakikatnya merupakan sebuah kewajaran dan kelaziman dalam perkembangan bahasa pada umumnya.
Bahasa Sunda sebagai bahasa daerah begitu penting keberadaannya karena merupakan khazanah kekayaan budaya bangsa yang tak ternilai harganya. Lewat bahasa Sunda pun, keberagaman budaya suku bangsa Sunda dapat terlestarikan dengan baik. Bahasa Sunda mempunyai peranan yang cukup penting, antara lain, sebagai simbol identitas komunal masyarakatnya. Peranan tersebut tidak hanya terlihat pada bahasa Sunda yang jumlah penuturnya banyak, tetapi pada bahasa daerah yang jumlah penuturnya sedikit pun peranan bahasa seperti dikemukakan di atas itu tetap ada.
Ada sementara kalangan yang mengkhawatirkan keberlangsungan kehidupan bahasa Sunda dalam dinamika kehidupan modern saat ini. Kekhawatiran tersebut dilatarbelakangi oleh fenomena yang berkembang di kalangan masyarakat. Masyarakat menganggap bahwa sesuatu yang tidak modern di antaranya bahasa Sunda merupakan bagian dari kehidupan yang harus termarginalisasikan. Hal yang demikian sudah tidak memiliki nilai lebih jika digunakan, terutama dalam kaitannya dengan citra diri. Oleh karena itu, mereka kurang memiliki kepedulian terhadap kelangsungan kehidupan bahasa Sunda yang sebenarnya telah menjadi bahasa ibu bagi sebagian besar suku Sunda. Bahasa ibu yang mengantarkan mereka pada sosok kemodernan.
Peluang perkembangan bahasa Sunda dan bahasa daerah lainnya masih terbuka seiring dengan perkembangan kebijakan yang diberlakukan. Pada kebijakan Merdeka Belajar Episode Ketujuhbelas, Kemendikbudristek telah menetapkan langkah Revitalisasi Bahasa Daerah. Penerapan kebijakan tersebut merupakan energi baru dalam upaya lebih menguatkan bahasa Sunda dan bahasa daerah lainnya di kalangan penuturnya.
Melalui penerapan kebijakan tersebut pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya harus mencari formulasi untuk dapat bersama-sama mengembangkan bahasa Sunda. Salah satu upaya yang memungkinkan dilakukan adalah penguatan kesadaran kepada para penuturnya bahwa suku bangsa ini dianugerahi lingkungan kehidupan yang dengan mudah memosisikan setiap masyarakat untuk menjadi masyarakat bilingual, kemampuan berturur dalam bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. Bahkan bisa pula menjadi masyarakat multilingual dengan kemampuan bahasa asing lainnya.
Kemampuan bilingual, bahkan multilingual merupakan khazanah yang tidak dimiliki bangsa lain. Tidak semua bangsa di dunia ini terkondisikan untuk dapat menjadi sosok bilingual atau multilingual.
Simpulan
Perkembangan kearifan lokal di kalangan masyarakat, tidak bisa dibiarkan begitu saja tanpa peran serta pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya. Bahasa Sunda sebagai bagian dari kearifan lokal yang sudah lama berkembang dan mewarnai dinamika kehidupan masyarakat Sunda telah menjadi sarana ampuh dan strategis dalam memosisikan mereka untuk dapat survive dalam menghadapi kehidupan. Bahasa Sunda sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan masyarakat telah berperan sangat strategis.
Dalam pandangan sebagian besar masyarakat, Bahasa Sunda selama ini ditempatkan dalam stigma yang kurang menguntungkan bagi perkembangannya. Pemosisian ini sangat merugikan bagi dinamika perkembangannya karena berada pada wilayah yang dianggap kuno, terbelakang, kampungan, dan ketinggalan zaman. Efek dari itu, kurang sekali para generasi muda untuk meliriknya.
Salah satu upaya yang memungkinkan dilakukan untuk mematahkan stigma tersebut adalah penguatan kesadaran kepada para penuturnya bahwa suku bangsa ini dianugerahi lingkungan kehidupan yang dengan mudah memosisikan setiap masyarakat untuk menjadi masyarakat bilingual, kemampuan bertutur dalam bahasa Sunda bersamaan dengan bahasa Indonesia. Bahkan bisa pula menjadi masyarakat multilingual dengan kemampuan bahasa asing lainnya.
Kemampuan bilingual, bahkan multilingual merupakan khazanah yang tidak dimiliki bangsa lain. Tidak semua bangsa di dunia ini berada pada posisi untuk dapat dengan mudah menjadi sosok bilingual atau multilingual. ***
Dadang A. Sapardan, Kepala Bidang Pembinaan SD, Disdik Kabupaten Bandung Barat.