Sulitnya Lembaga Pendidikan Akomodir Penyandang Disabilitas

37309 ilustrasi disabilitas dan pendidikan istockphoto
Penyandang disabilitas belum mendapatkan perhatian yang layak dalam dunia pendidikan, (Ilustrasi: Suara.com).

ZONALITERASI.ID – Penyandang disabilitas belum mendapatkan perhatian yang layak dalam dunia pendidikan. Mereka masih jarang diakomodir di lembaga pendidikan.

Psikolog dari Associate School Psychologist Sekolah Harapan Ibu Jakarta, Tri Puspitarini mengatakan, banyak ditemukan kasus penyandang disabilitas perkembangan pada anak yang mesti berpindah-pindah sekolah.

Bahkan beberapa kasus menunjukkan adanya penolakan untuk masuk sekolah, baik dari orang tua siswa lain maupun para guru.

“Hambatan dalam pendidikan tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak tantangan yang dihadapi penyandang disabilitas. Tantangan lainnya adalah adanya stigma negatif yang dilekatkan kepada mereka, hingga perundungan,” kata Tri saat berbicara pada webinar Daewoong Social Impactor 2022, Selasa, 31 Mei 2022.

“Secara akademik juga biasanya mereka bermasalah. Tidak bisa mencapai tuntutan akademik di sekolah. Kemudian mendapatkan penolakan, tidak hanya dari pergaulan, tapi orang tua yang ada di sekolah itu,” tambahnya.

Tri menuturkan, terdapat sejumlah definisi mengenai disabilitas perkembangan. Asosiasi Psikolog Amerika mendefinisikan disabilitas perundungan sebagai gangguan kognitif dan juga fisik yang terjadi sebelum berumur 22 tahun.

Gangguan tersebut menyebabkan keterbatasan fungsional sekaligus kemampuan beradaptasi pada kehidupan sehari-hari anak.

Kemudian, Committee on Nervous System Disorders in Developing Countries Board mendefinisikan disabilitas perkembangan sebagai anak berkebutuhan khusus yang memiliki keterbatasan dalam fungsi-fungsi kehidupannya.

“Keterbatasan itu disebabkan oleh gangguan yang terkait dengan perkembangan fisik dan sistem saraf anak. Beberapa bentuk gangguan saraf dan fisik itu bisa berupa gangguan intelektual, gangguan komunikasi, autism spectrum disorder, attention deficit/hyperactivity disorder (ADD/HDD), dyslexia, dysgraphia, dyscalculia, dan lainnya,” ujarnya.

Tri menyebutkan, secara umum, penyandang disabilitas berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2018 bervariasi menurut umur. Pada umur 5-9 tahun, terdapat 2,5 persen penyandang disabilitas. Pada umur 10-14 tahun sebanyak 3,5 persen, 15-17 tahun sebanyak 4,2 persen.

Untuk data penyelenggaraan pendidikan bagi penyandang disabilitas, terdapat sekitar 2.270 sekolah untuk level SD, SMP dan SMA berdasarkan data Pusdatin 2019-2020.

Adapun siswa berkebutuhan khusus terdapat 144.102 siswa. Dalam periode 2019-2020, siswa baru berkebutuhan khusus tumbuh 33.955 orang.

Menurut Tri, penyandang disabilitas baru mencapai pendidikan di SD sederajat. Bahkan yang tidak lulus SD juga masih menempati proporsi yang sama dengan yang lulus SD.

“Bahkan yang tidak pernah merasakan sekolah pun masih menempati porsi yang cukup besar. Makin jenjangnya makin tinggi, makin sedikit lagi proporsinya. Apalagi perguruan tinggi,” tuturnya. (des)***

Sumber: Pikiran-rakyat.com