BUDAYA  

Cerpen Urusan Lama

Karya Arip Senjaya

Ilustrasi mimpi buruk
(Ilustrasi: Reqnews.com)

DI saat umurku enam, mimpi dihujani batu-batu hitam itu sudah datang dan sering, hingga umur dua belas. Setelah itu hanya datang sesekali. Tetapi, sering atau jarang, mimpi yang sama itu pada dasarnya tetap merupakan teror, dan sangat mencekam pada detik-detik pertama memasukinya dan sama mencekamnya di detik-detik pertama aku lolos darinya. Badanku akan berkeringat saat terbangun penuh ketakutan dan hidup rasanya sendirian, tak seorang pun dapat menolongku.

Batuan jenis begitu dulu sering kubayangkan sebagai salah satu penyusun Neraka Hitam, yakni neraka yang tidak lagi panas, neraka yang para penghuninya sibuk mencari jalan keluar untuk menemukan cahaya.

Sering aku berdiri di samping kamar, menjaga jarak dari kasur, berpegang pada jeruji kayu, dan memandang ke luar, berharap seseorang datang menjadi sahabatku, jika aku terbangun dan takut tidur lagi, dengan piyama putih bergambar sulur atau batik. Aku bersyukur sekali saat pertama kali menyadari tidak ada satu pun piyamaku yang bergambar batu-batu neraka itu. Ibuku tukang jahit, dialah yang menjahit piyama-piyamaku itu dari sisa-sisa bahan pakaian pesanan.

Yang biasa disalahkan ayahku bukan langit yang salah kirim mimpi, seharusnya anak kecil diberi mimpi sorgawi, atau bidadari di atas pelangi, tapi aku sendiri yang masih saja makan mie instan atau jajan es. Aku akan sakit setelah memakannya dan karena sakit maka aku akan mimpi buruk, demikian teori ayah.

Biasanya sampai tiga minggu aku hanya berpiyama, makan bubur, obat-obatan, dan menjerit-jerit diserang mimpi yang sama siang atau malam. Keningku sendiri biasa dikompres lipatan-lipatan kain basah yang pada mulanya dingin kemudian menjadi sama panasnya dengan keningku. Kalau aku tertidur lagi maka di saat bangun aku akan temukan kain-kain itu sudah kering di keningku atau basah oleh keringatku jika pada mulanya kering. Ibuku juga yang menjahit kain-kain potongan itu untuk sakitku yang datang dan datang lagi.

Setelah umurku tiga belas, aku sudah mulai sungguh-sungguh menghindari makanan-makanan yang dilarang. Tidak hanya mie instan, juga makanan-makanan pedas dan dingin. Benar saja mimpi dihujani batu neraka itu jarang datang karena aku jarang sakit. Jarang bukan berarti tidak pernah, dan sekalinya aku sakit karena faktor lain yang bukan makanan, aku akan didatangi mimpi yang sama lagi. Lebih menyakitkan lagi rasanya nasibku ini setelah beberapa kali diserang mimpi yang sama dalam keadaan aku sehat-sehat saja.

Maka di satu hari, saat aku mau naik kelas dua SMA, aku mendatangi Dokter Haji Zen di Rawacina, dia sudah pensiun, kliniknya pun tampak kurang terawat, datang untuk memarahinya. Kukatakan bahwa selama ini aku rida menderitakan gejala tipus, tapi aku tidak rida jika penyakit tersebut dinilainya disebabkan apa yang aku makan, sebab bertahun-tahun ayah-ibuku akan menginterogasiku tentang apa yang aku makan sebelum sakit dan aku masih diserang mimpi yang sama di saat aku sehat dan menjaga diri dari makanan.

“Aku yakin itulah inti penyakitku. Mimpi-mimpi yang samalah yang membuatku demam dan bukan demamku yang mengundang mimpi-mimpi tersebut,” jelasku.

Dokter Haji Zen menatapku dengan kedipan-kedipan pelan yang teratur seakan matanya itu dikendalikan baterai berkekuatan kecil. Lalu perlahan-lahan mulutnya bergerak dan mengatakan bahwa mimpi bukan urusan dia. Sebaiknya aku berkonsultasi ke seorang psikolog.

“Mana ada di wilayah kita psikolog? Bapak pikir kita hidup di mana!” Aku menuntut. “Urusanku ke sini bukan untuk bertanya alamat psikolog. Ini tentang kita! Semua obat yang kumakan sejak kecil, semua obat yang dibayar mahal kedua orang tuaku dari Anda, tidak pernah mampu mengusir mimpi-mimpi itu. Bertahun-tahun Anda menipu kedua orang tuaku yang hidupnya sulit!”

Kata-kataku itu membuat dia bergetar, tak mampu mengatakan apa pun lagi meski mulutnya sudah berusaha mengatakan sesuatu, dan kemudian tampak goyah. Aku yakin dia terjatuh dari kursinya ketika aku berlalu, sebab kudengar suara bergedebug ke lantai setelah pintu kliniknya kututup dari luar. Beberapa hari kemudian tersiar kabar dokter Zen mati dan aku merasa bersalah sebab mungkin saja karena kata-kataku yang kasar itu.

Dan mimpi-mimpi yang sama belum juga pergi dari tidur-tidurku hingga kuputuskan untuk menyibukkan diri dengan bermacam olah raga, berlari ke tepian bukit, berenang di sungai Cimande dan Citarik, bermain bola dengan anak-anak kecil, bolanya kubuat sendiri dari gulungan koran bertali rapia, bulu tangkis dengan kok dari tongkol jagung dan bulu ayam, dan akhirnya masuk klub karate dengan baju dari bahan karung tepung buatan ibuku sendiri, dan akhirnya dapat berkelahi dengan siapa saja yang kukira pantas kulawan, hingga di satu siang yang terik seorang sopir angkot yang menghalangi gerbang sekolahku kupukul juga setelah ia kuingatkan beberapa kali sebelumnya, dan ia membalasku dengan menabrakkan angkotnya itu hingga seragam yang kupakai robek-robek tergores aspal dan batu-batu tajam sisi aspal. Aku berguling-guling di satu ruas jalan dan menjadi trauma beberapa minggu.

Setiap kulihat angkot, angkot warna apa saja, rasanya angkot itu akan menabrakku dan tidak jarang aku berteriak karenanya. Sering aku bersumpah ke Gusti Allah jika kelak aku menjadi bupati, aku akan membuat jalur khusus, trotoar yang tinggi, buat anak-anak sekolah yang berjalan kaki ke sekolahnya.

Setelah kelas dua dan sembuh dari trauma, aku mencari-cari sopir angkot hijau tersebut, dan baru kutemukan dia di satu perempatan sedang terbujur. Seorang sopir ojeg bilang dia tadi dikeroyok beberapa sopir angkot kuning, entah karena apa, biasanya karena terlalu berani mengantarkan penumpang ke jalur angkot kuning. Aku pun menunggunya sampai siuman, dan saat ia sadar dan kembali ke angkotnya, aku masuk diam-diam hingga tiba di tempat sepi yang aku dapat membalaskan dendamku. Belum aku memukulnya, dia sudah menghentikan laju angkotnya, loncat dari angkot itu, berguling-gulingan ke lereng berbatu-batu, dan sesampainya di bagian yang datar dia berteriak-teriak menatapku sambil mengepalkan tangan.

Aku tidak tahu apa yang dia katakan. Betapa kuatnya dia berguling-gulingan di atas lereng berbatu-batu itu, bahkan seakan dapat menyerap energi panas matahari yang saat itu menciptakan fatamorgana.

Kubalas kepalan tangannya dengan kepalan tanganku sambil berteriak “Pengecut! Anjing buduk! Monyet!” dan akhirnya “Kepala batuuu!” meskipun yakin dia tidak akan mendengar kata-kataku karena jarak kami yang terlalu jauh.

Beberapa hari kemudian aku kembali bermimpi dihujani batu-batu yang sama, dan kukepalkan tangan untuk menghancurkan satu demi satu. Sebagian besar batu itu dapat kuhancurkan dengan mudah ternyata, namun sebagian lainnya dapat menghindariku karena ada manusia-manusia yang mengendalikannya di belakang batu, tapi aku tidak dapat melihat siapa saja yang menunggangi batu-batu itu, mereka seperti para pemain selancar yang hebat mengendalikan papan selancar di atas ombak.

Sejak itu aku tak pernah lagi terlalu takut diserang mimpi yang sama, hingga lambat laun batu-batu itu makin berkurang dan akhirnya tidak pernah ada lagi, langit menjadi kosong, dan tinggal bintang-bintang di kejauhan. Entah takut entah bahagia, setiap mimpi memasuki suasana kosong tanpa batu jatuh dari langit lagi, aku merasakan kekosongan yang parah, sehingga kuperlukan seseorang ada di sampingku, seorang teman, seorang sahabat, atau seorang apa saja.

Maka di kelas tiga, aku pun tidak sendirian lagi, sering pulang dengan seseorang yang kulitnya hitam manis, rambutnya seperti ekor kuda poni, bau badannya berasal dari ketiaknya sendiri, dan wajahnya dipenuhi jerawat seindah bintang-bintang malam. Aku tak pernah bisa mentraktirnya kecuali sebungkus es kalau ia kehausan, atau semangkuk mi instan kalau dia kelaparan. Aku dan dia sama-sama jarang sekali naik angkot karena tak pernah cukup uang.

“Lagi pula, sudah ada beberapa anak sekolah yang jadi korban pemerkosaan sopir-sopir kurang ajar itu!” kataku menghiburnya suatu hari.

Lama-lama dia pun mengatakan rasa sukanya kepadaku, suka karena di matanya aku anak pelajar yang mau prihatin, tidak malu jalan sendiri atau bersama dia berangkat dan pulang sekolah, ya, sering dia katakan itu. Tapi aku suka dia karena suka saja sehingga aku yakin itu cinta sejati yang tidak usah kukatakan dengan kata cinta itu sendiri, apalagi sekadar kata suka.

Dialah Poniyah, biasa kupanggil Empon, lahir di hari pasaran Pon, yang sepanjang mengenalnya membuatku tak takut lagi memasuki mimpi buruk mana pun, tak gentar melawan musuh di jalanan yang mungkin ingin menguji kemampuanku berkelahi; yang di hari kelulusan tidak dapat mengambil ijazahnya karena tidak punya uang untuk membayar beberapa biaya administrasi terakhir, dan di hari itu dia terkena kecelakaan, tertabrak angkot, dan meninggal di tempat.

Saat itu aku meminta dia tidak cepat-cepat pulang, tapi dia memilih buru-buru pulang karena akan berusaha keras mencari pinjaman ke saudara-saudara ibunya. Sementara aku mencari-cari bantuan dari sejumlah teman dan guru agar dapat membantu Poniyah menalangi seratus-lima-belas-ribu-rupiah, dia pun tertabrak. Aku berlari mengejarnya saat ijazah itu kudapatkan dari uang iuran teman-teman kami yang baik hati, tapi yang kutemukan adalah keramaian di jalan: ah, cinta sejati betapa singkat. Ia terbujur di sisi jalan, tertutup selapis kardus mie instan, darah segar masih keluar dari kepalanya.

Menurut pemilik kios yang menutup jasadnya dengan kardus itu, yang menabrak Poniyah adalah angkot kuning, sopirnya punya tato kalajengking di tangan kiri dan tato mawar di lehernya, dan banyak bekas tindik di kedua telinganya; tidak salah lagi dialah yang dulu menabrakku dengan angkot hijau.

Jika kalian tahu di mana rumah orang dengan ciri-ciri macam itu, atau menemukannya sedang mengendarai angkot kuning atau hijau, atau boleh jadi sekarang dia mengendarai angkot hitam ke jalur kabupaten lain, tolong beri tahu aku. Ini bukan lagi tentang kematian Poniyah yang harus kubalas, kini aku sangat yakin dialah salah satu penghuni Neraka Hitam yang menjebol dinding bebatuannya dan berhasil terlepar kembali ke bumi untuk mencari cahaya. Ini urusan lamaku yang belum kupecahkan. ***

Serang, 2022

Arip Senjaya, dosen sastra dan filsafat di Untirta. Karya-karyanya dimuat di berbagai media nasional dan internasional.