Oleh Catur Nurrochman Oktavian
KASUS yang dialami oleh organisasi profesi bidang medis dengan munculnya organisasi tandingan, serupa tapi tak sama dengan apa yang dialami organisasi profesi (orprof) guru. Secara legal formal dalam Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran telah menetapkan satu wadah tunggal organisasi profesi Kedokteran di Indonesia. Hal tersebut dipertegas dengan putusan MK tahun 2017, yang menyatakan bahwa IDI merupakan satu-satunya organisasi profesi kedokteran di Indonesia. Selain itu, 82 organisasi profesi medis yang bernaung di bawah IDI telah tegas mendukung keputusan MK tersebut (suaramerdeka.com, 30/4/2022). Dengan demikian telah jelas keberadaan wadah tunggal organisasi profesi Kedokteran. Demikian pula dengan profesi advokat yang telah jelas keberadaan wadah tunggal orprof sebagaimana amanat pasal 32 ayat (4) dan pasal 28 ayat (1) UU Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat. Dibandingkan kedua profesi tersebut, keberadaan dan keharusan adanya wadah tunggal orprof guru dalam kehidupan berorganisasi para pendidik masih belum jelas perintah hukumnya dalam hukum positif, masih sebatas kerangka hukum yang dicita-citakan (Ius Constituendum).
Sebenarnya wadah tunggal organisasi profesi guru telah ada sejak berdirinya Republik Indonesia, yaitu Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). PGRI dengan 2.5 juta anggotanya yang terdiri dari pendidik dan tenaga kependidikan selama 77 tahun ini telah dikenal publik keberadaan dan kiprahnya bagi negara dan bangsa ini. Infrastruktur organisasi dapat ditemui di 34 provinsi hingga tingkat ranting. Sejak lama organisasi guru sedunia telah mengakui kiprah PGRI hingga kini. PGRI-lah yang membawa harum nama Indonesia dalam berbagai forum internasional yang diselenggarakan organisasi guru tingkat dunia. Berdasarkan catatan sejarah pendidikan Indonesia, PGRI merupakan hasil fusi puluhan organisasi guru di masa sebelum Republik Indonesia (RI) ada.
Sejak bergaungnya reformasi dan terbitnya Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, mulai bermunculan bermacam-macam organisasi yang mengatasnamakan profesi guru. Hingga awal tahun 2022 ini kurang lebih sekitar 60 organisasi guru selain PGRI dengan beragam jenis ada yang berbentuk organisasi guru, asosiasi profesi berdasarkan disiplin ilmu, organisasi penyelenggara pendidikan, maupun organisasi rumpun jabatan. Anehnya, semua diaku dan mendapat perlakuan sama sebagai organisasi profesi guru dalam undangan resmi kegiatan yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Faktanya, tidak semua organisasi tersebut mapan secara keanggotaan, forum-forum organisasi, dan infrastruktur jejaring organisasi di seluruh wilayah RI.
Bermunculannya puluhan organisasi yang mengatasnamakan profesi guru sebagai konsekuensi logis dari tidak tertulis secara Letterlijk dalam batang tubuh maupun penjelasan pasal di UU 14/2005 sebuah organisasi profesi sebagai wadah tunggal bagi guru dan pendidik. Berbeda dengan IDI dan Advokat yang telah secara jelas disebut sebagai wadah tunggal organisasi profesi dalam peraturan yang sah sebagai produk hukum negeri ini. Dalam rancangan Undang-Undang Sistim Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang sedang disusun pun, tidak ada satu pun pasal yang secara ekplisit menegaskan adanya satu wadah tunggal organisasi profesi guru. Selain itu, kewenangan organisasi profesi dalam mengeluarkan sertifikat profesi pun perlu diberikan kepada orprof guru sebagaimana dilakukan orprof medis hingga saat ini.
Peran Pemerintah
Dengan banyaknya organisasi tersebut sebenarnya bukan pekerjaan mudah bagi pemerintah dalam mengatur dan menata kelola guru dan tenaga kependidikan. Pemerintah pun menyadari bahwa jika hal ini terus berlarut dan dibiarkan tentu memberikan pekerjaan berat dan effort besar dalam mengaturnya. Tahun 2020, pernah dilakukan upaya penataan dengan membentuk tim Pengembang Tata Kelola Organisasi Profesi Guru, namun pekerjaan tim tersebut belum ditindaklanjuti pemerintah hingga kini dan belum jelas keberlanjutannya. Pemerintah berperan penting untuk menyederhanakan banyaknya organisasi tersebut bahkan menjadikan satu wadah tunggal sebagai rumah besar para guru dalam berorganisasi sebagaimana profesi Kedokteran dengan IDI-nya dan profesi Advokat dengan Peradi-nya.
Pertanyaan sederhananya, dengan banyaknya organisasi tersebut apakah menguntungkan bagi guru dan pemerintah itu sendiri? Kalau memang dirasa tidak menguntungkan, maka sebaiknya penataan serius dan komprehensif perlu dilakukan. Pemerintah harus berada di tengah sebagai fasilitator yang memfasilitasi dengan regulasi untuk menata kelola beragam organisasi tersebut agar efisien dan efektif dalam tugasnya menjadi mitra strategis pemerintah meningkatkan kualitas dan kesejahteraan para guru. Harus dibedakan mana organisasi profesi guru, asosiasi profesi, organisasi penyelenggara pendidikan, dan perkumpulan jabatan sejenis. Idealnya, organisasi guru meniru seperti IDI yang merupakan wadah tunggal organisasi profesi dan ada puluhan organisasi profesi bidang medis yang bernaung di dalamnya.
Mengapa pentingnya ada satu wadah tunggal organisasi profesi bagi pendidik (guru, dosen, dan instruktur)? Jelas, dengan adanya satu wadah tunggal organisasi profesi pendidik akan memudahkan jalinan komunikasi dan kerja sama antara pemerintah dengan profesi dalam rangka meningkatkan kompetensi, profesionalisme, perlindungan, dan kesejahteraan para anggotanya. Selain itu, dunia pendidikan perlu ada kesatuan langkah, dan gerak bersama dari para pelakunya agar tugas yang maha berat dalam mencerdaskan anak bangsa dapat berjalan dengan baik.
Jika kita menelisik sejarah, kondisi banyaknya organisasi guru saat ini sebenarnya serupa dengan apa yang dialami sebelum Indonesia merdeka. Ketika di zaman pemerintah Hindia Belanda banyaknya organisasi guru dan pendidik dengan beragam latar belakang bermunculan. Kemudian dengan semangat persatuan dan kemerdekaan Indonesia, semua organisasi dengan beragam latar belakang itu sepakat melebur dan menyatu dalam PGRI sebagai satu wadah tunggal organisasi guru pada 25 November 1945. Jadi jika bersikukuh banyaknya organisasi guru seperti saat ini dengan dalih kebebasan berserikat, maka sebenarnya kita mengalami kemunduran seperti keadaan sebelum tahun 1945, dan itu sebenarnya kontra produktif. Ibarat jika kita terlalu banyak memiliki rumah, maka lebih sulit merawatnya, dan tentu mengeluarkan cost yang tidak sedikit untuk memeliharanya, dibandingkan memiliki satu rumah saja. ***
Catur Nurrochman Oktavian, Anggota Tim Pengembang Tata Kelola Organisasi Profesi Kemendikbudristek tahun 2020/Guru SMP Negeri 1 Kemang, Kabupaten Bogor.