ZONALITERASI.ID – Dalam memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia, Sarekat Hijau Indonesia (SHI) Jawa Barat mengambil langkah tegas dengan mengusung tema “Bergerak Bersama Perempuan Melawan Kejahatan Seksual.”
Melalui siaran pers di laman resmi shi.or.id, penyiaran ini bertujuan untuk mendorong kesadaran akan pentingnya hak perempuan dan melawan segala bentuk kekerasan seksual yang masih terjadi, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia.
Menurut Pengurus SHI Jawa Barat, Yulia Ramdan, motivasi utama SHI dalam mengangkat tema ini adalah tingginya angka kekerasan terhadap perempuan yang terus meningkat.
“Hampir setiap hari kita mendengar berita kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai bentuk. Perempuan sering kali menjadi objek kejahatan kemanusiaan. Ini memerlukan perhatian serius dari negara karena merupakan tanggung jawabnya untuk melindungi warga negara tanpa terkecuali,” kata Yulia.
Tingginya angka kekerasan seksual yang terus terjadi di berbagai ranah, mulai dari ruang publik hingga dunia kerja menjadi sorotan, hal ini menggarisbawahi semakin pentingnya perlindungan hak-hak perempuan sebagai bagian tak terpisahkan dari HAM.
Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2024, terjadi 401.975 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2023. Dari jumlah tersebut, 289.111 kasus merupakan kekerasan berbasis gender (KBG) terhadap perempuan. Di ruang publik, kekerasan seksual menjadi isu dominan dengan 1.451 kasus yang tercatat terjadi di tempat umum, dunia pendidikan, tempat kerja, dan ranah digital.
Di Indonesia, meskipun Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah disahkan, implementasinya masih terhambat. Yulia menyoroti beberapa kelemahan dalam pelaksanaannya, baik di tingkat nasional maupun lokal.
“Kurangnya pemahaman di kalangan penegak hukum menyebabkan kasus kekerasan seksual sering kali diproses dengan undang-undang lain seperti KUHP, UU Pornografi, dan UU ITE,” jelas Yulia.
Dilansir dari Narasi.tv, Bahrul Fuad, Komisioner Komnas Perempuan menjelaskan bahwa kasus kekerasan seksual kini menjadi jenis kekerasan tertinggi yang dilaporkan, melampaui kekerasan fisik. Ia menambahkan, data ini puncak dari fenomena gunung es.
Menurut Yulia, banyak korban yang enggan melapor karena stigma dan budaya victim blaming. “Bahkan dengan adanya UU TPKS, kendala seperti minimnya pemahaman aparat, kurangnya aturan turunan, dan pembuktian ilmiah yang mahal masih menjadi hambatan besar,” imbuh Yulia.
Untuk memastikan pelaksanaan UU TPKS lebih efektif, SHI mendukung usulan dari Komisi Nasional (KOMNAS) Perempuan. Usulan tersebut antara lain mencakup pelatihan bagi aparat penegak hukum, penyediaan layanan dan pendampingan korban, serta pengawasan dan evaluasi kebijakan yang komprehensif.
“Kami juga mendesak kerjasama antara semua pihak terkait dan pengawalan implementasi UU TPKS oleh publik untuk memastikan perlindungan yang maksimal bagi korban kekerasan seksual,” ujar Yulia.
Di Indonesia, diskriminasi terhadap perempuan juga terlihat dalam kebijakan daerah. Menurut Komnas Perempuan, terdapat 450 kebijakan diskriminatif, dengan 56% di antaranya merugikan perempuan. Kebijakan ini mencakup kontrol tubuh, pembatasan kebebasan beragama, hingga kriminalisasi perempuan terkait ketertiban umum. Komisioner Komnas Perempuan, Mariah Ulfah Anshor, menjelaskan bahwa diskriminasi ini seringkali berakar pada ideologi yang mengatur perilaku sosial.
Budaya patriarki yang masih kuat di Indonesia menjadi hambatan utama dalam upaya perlindungan perempuan.
“Ada anggapan bahwa perempuan hanya berfungsi untuk melayani laki-laki. Pandangan ini sudah mengakar dan diturunkan dari generasi ke generasi,” tutur Yulia.
SHI menegaskan bahwa edukasi masyarakat sangat penting untuk mematahkan stigma ini. “Masyarakat harus memahami bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran HAM dan tidak boleh ada toleransi untuk itu,” tandasnya.
Sebagai langkah konkret, SHI mengajak masyarakat dan pemerintah untuk bergotong-royong dalam menciptakan dunia yang lebih aman dan berkeadilan bagi perempuan dan anak.
“Mari bersama kita dorong perubahan, mendukung perempuan untuk mendapatkan haknya, dan wujudkan masa depan yang lebih adil bagi semua,” ajak Yulia. (M. Mastiar)