Sungguh Dunia yang Luar Biasa!

Oleh Didin Tulus

f202411231321198
Ilustrasi fenomena ketidakadilan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. (Foto: Indonesiana.id)

DUNIA tempat kita tinggal saat ini sering kali menyuguhkan berbagai peristiwa yang menantang hati nurani dan akal sehat. Di balik kemajuan teknologi, akses informasi, dan peluang yang melimpah, tetap saja kita dihadapkan dengan kenyataan pahit tentang berbagai ketidakadilan, kekerasan, serta permasalahan sosial yang seolah tak pernah selesai. Ada kalanya kita bertanya-tanya, apakah dunia telah kehilangan arah?

Baru-baru ini, sebuah insiden tragis terjadi di sebuah pesantren, di mana seorang remaja meninggal dunia akibat dugaan perundungan dan penganiayaan yang dilakukan oleh seniornya. Kasus ini memperlihatkan bagaimana kekerasan bisa tumbuh subur di lingkungan yang seharusnya menjadi tempat belajar, tempat menanamkan nilai-nilai kebaikan. Alih-alih menjadi rumah bagi pengembangan moral dan intelektual, pesantren ini justru menjadi arena kekejaman. Di manakah pengawasan dan tindakan tegas dari pihak otoritas? Bukankah sudah seharusnya lembaga-lembaga pendidikan, termasuk pesantren, melindungi anak-anak dan remaja dari ancaman kekerasan fisik maupun mental?

Sementara itu, masalah lalu lintas yang kacau di kawasan Puncak, Jawa Barat, menjadi contoh klasik dari bagaimana ketidakteraturan bisa berdampak luas terhadap masyarakat. Dalam keadaan macet parah, seorang gadis penjual kue keliling yang baru berusia 14 tahun kehilangan nyawanya. Kematian ini bukan hanya karena kecelakaan, melainkan akibat dari sebuah sistem yang gagal memberikan perlindungan kepada mereka yang paling rentan. Gadis tersebut meninggal setelah bertahun-tahun menjalani kehidupan yang keras, menghadapi kemiskinan, dan pada akhirnya, hancur oleh kerasnya realitas hidup. Di tengah hiruk-pikuk kemacetan, hidupnya terampas begitu saja.

Namun, di mana pihak berwenang saat semua ini terjadi? Sayangnya, sering kali mereka terlihat lebih sibuk mengurus hal-hal yang jauh dari kepentingan publik. Seperti kepala kepolisian yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat, namun lebih sering terlihat mendampingi pejabat-pejabat tinggi dalam acara seremonial yang tampaknya lebih prestisius. Ke mana perginya keberanian dan komitmen untuk menegakkan keadilan? Ketika ketidakadilan terjadi di depan mata, mereka tampak absen, seolah-olah tanggung jawab itu bukan milik mereka.

Di balik semua kekacauan ini, cerita-cerita yang lebih pribadi dan mengguncang hati tetap bermunculan. Seorang anak bernama Nirjum kabarnya harus menjalani dua kali aborsi. Ketika masyarakat kita masih menganggap isu-isu seperti kehamilan di luar nikah sebagai aib yang harus ditutupi, korban-korban seperti Nirjum justru semakin terpuruk. Tak ada ruang bagi mereka untuk mencari pertolongan, apalagi mendapatkan keadilan. Di mana peran kita sebagai sesama manusia dalam mendukung dan melindungi mereka yang jatuh dalam jurang keputusasaan?

Kita hidup di zaman di mana teknologi dan media sosial memberikan sorotan besar pada hal-hal yang mungkin sepele, namun berhasil menarik perhatian banyak orang. Seperti kabar tentang bayi Shahirini, yang meskipun wajahnya tidak pernah diungkap ke publik, tetap menjadi bahan perbincangan warganet. Masyarakat terus-menerus dibombardir dengan informasi yang, meski tidak esensial, tetap menarik karena rasa penasaran kita akan kehidupan pribadi orang-orang terkenal. Namun, apakah ini yang seharusnya kita prioritaskan?

Lalu ada juga kisah mertua penjual rujak, Kiki Shahiputri, yang tiba-tiba menjadi anggota komite audit sebuah lembaga penting. Banyak yang meragukan kelayakan dan kualifikasinya, menimbulkan pertanyaan apakah posisi-posisi strategis di negeri ini telah menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan. Ketidakadilan yang terjadi di level pemerintahan ini hanya memperparah rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem.

Ironisnya, dalam suasana yang penuh ketidakpastian ini, kita masih mendengar tentang individu-individu yang menggunakan kekuasaan mereka untuk mempermalukan orang lain, menekan mereka yang lebih lemah. Seperti seorang kepala bangsal yang diduga menipu bidan di sebuah rumah sakit. Tindakan ini semakin memperlihatkan bahwa kekuasaan sering kali disalahgunakan oleh mereka yang seharusnya melindungi dan melayani. Tidak ada tempat yang aman, bahkan di rumah sakit sekalipun, di mana pasien dan staf medis seharusnya dapat bekerja sama demi kesehatan dan keselamatan bersama.

Apakah dunia sudah gila? Pertanyaan ini, meskipun terdengar retoris, mungkin mengandung lebih banyak kebenaran daripada yang kita bayangkan. Dunia ini memang sedang mengalami krisis nilai dan kemanusiaan. Ketika kita terlalu sibuk melayani kebutuhan duniawi, kita sering kali lupa untuk memperhatikan hal-hal yang lebih esensial dalam hidup: empati, keadilan, dan tanggung jawab sosial.

Di tengah hiruk-pikuk ini, ada satu hal yang bisa kita pegang: harapan. Meskipun tampaknya tidak ada yang bisa diharapkan, kita harus percaya bahwa dengan doa, impian, dan tindakan nyata, dunia ini bisa menjadi tempat yang lebih baik. Namun, harapan ini hanya akan terwujud jika kita, sebagai individu dan bagian dari masyarakat, tidak hanya berpangku tangan, melainkan bergerak aktif untuk menciptakan perubahan.

Ya, sungguh dunia yang luar biasa. Luar biasa dengan segala keindahan dan kekurangannya. Namun, jangan biarkan diri kita tenggelam dalam pesimisme. Tetaplah berjuang, karena mungkin saja perubahan besar dimulai dari langkah kecil yang kita ambil hari ini. ***

Didin Tulus, penggiat buku, tinggal di Cimahi.