ZONALITERASI.ID – Kesultanan Selacau yang berdiri 497 tahun silam bangkit kembali. Kehadiran situs-situs yang menjadi fakta sejarah kesultanan yang sudah berusia ratusan tahun itu kini direkonstruksi secara apik tanpa mengganggu kesakralan sejarahnya. Berkat kecerdikan sang pegiat cagar budaya, Rohidin, S.H., M.H., M.Si., dalam mendesain cagar budaya, kewibawaan Kesultanan Selacau Tunggu Rahayu pun seolah bangkit kembali di tengah kehidupan masyarakat Parahiangan.
Kerja keras Rohidin sebagai pewaris cagar budaya leluhurnya tergolong luar biasa. Ia dibantu warga setempat senantiasa berjibaku sekuat tenaga untuk membangun dan melestarikan cagar budaya sebagai monumen sejarah perjuangan para leluhurnya.
Perjuangan dan kerja keras tidak mengkhianati hasil. Terbukti, Rihidin yang memulai aktivitasnya sejak 2018 nyatanya kini sudah berhasil mempercantik cagar budaya di atas lahan 30 hektare sebagai destinasi wisata religi mandiri yang berdiri tegak di jalur Kabupaten Tasikmalaya bagian Selatan.
Merekonstruksi cagar budaya bukanlah pekerjaan yang gampang. Rohidin, selaku pewaris cagar budaya, hampir tujuh tahun memutar otak untuk mewujudkan pembangunan cagar budaya Kesultanan Selacau. Kerja keras Rohidin tak pernah padam. Ia senantiasa mengerahkan segala kekuatan yang ada pada dirinya untuk mewujudkan pembangunan cagar budaya leluhur yang monumental.
“Kami tengah membangun infrasruktur berupa jalan karena masyarakat sangat membutuhkan. Selama ini kami belum pernah menerima bantuan dari manapun termasuk pemerintah. Pembangunan cagar ini murni hasil jerih payah sendiri ,” ungkapnya, Kamis, 16 Januari 2025.
Membangun akses cagar budaya leluhur Selacau tidak difokuskan pada satu titik bangunan utama (kesultnan), melainkan menyebar di beberapa kecamatan yang berkaitan dengan kesejarahan Kesultanan Selacau. Berdasarkan catatan sejarah, ungkap Rohidin, setidaknya ada tiga desa yang menjadi prioritas utama, yakni Desa Cigunung, Desa Cibungur, dan Desa Kariabakti. Dengan dibuka akses di tiga desa tersebut, diharapkan ke depan perekonomian masyarakat di tiga desa bisa bangkit dan merata sehingga kesejahteraan yang berkeadilan dapat dirasakan bersama.
”Kami melakukan semua ini untuk kepentingan masyarakat bukan untuk kepentingan pribadi,” ujarnya.
Kegesitan Rohidin dalam mengembangkan cagar budaya Selacau sungguh luar biasa. Ia tidak hanya membangun situs utama (kesultanan) akan tetapi semua akses jalan menuju cagar budaya turut menjadi fokus utamanya. Makanya, jangan heran manakala menengok cagar budaya Selacau semua jalan desa yang menghubungkan masyarakat dengan kesultanan kini sudah diaspal sehingga bisa dilintasi kendaraan bermotor.
Konsentrasi pembangunan lainnya yang tengah dirampungkan di antaranya mushola, kamar mandi, pendopo, tempat penjagaan situs, dan pasar mini.
“Pasar mini akan segera dibangun supaya masyarakat setempat dapat menjual makanan dan pernak-pernik (souvenir) khas daerah dan khas kesultnanan,” sebutnya.
Pembangunan tahap berikutnya, lanjut Rohidin, akan segera menghadirkan fasilitas untuk wisata umum berupa kolam renang dan outbound. Dengan adanya dua fasilitas ini diharapkan kehadiran cagar budaya ini dapat membudidayakan masyarakat berupa penyediaan lapangan kerja. Lapangan kerja bagi masyarakat akan semakin terbuka saat rencana pembangunan sektor pertanian dan perikanan sudah dapat terwujud.
“Kami ingin mengelola situs ini secara profesional seperti tempat wisata religi lainnya yang sudah sukses memperdayakan masyarakat dan pemerintah setempat,” tuturnya.
Berdiri pada 1527 Masehi
Kesultanan Selaco Selacau Tunggul Rahayu berdiri pada 1527 Masehi. Kesultanan ini didirikan oleh Kanjeng Gusti Prabu Surawisesa Raja Padjajaran, putra dari Prabu Siliwangi yang dipimpin oleh Sultan Patrakusumah.
Kesultanan Selacau Tunggul Rahayu merupakan kesultanan berdaulat di masanya. Kesultanan yang terletak di Kampung Nagara Tengah, Desa Cibungur, Kecamatan Parung Ponteng, Tasikmalaya ini sebagai kesultanan yang tidak pernah menyerahkan kekuasaannya kepada VOC atau Kerajaan Mataram. Karenanya, Selacau dipandang sebagai satu-satunya kesultanan yang berdaulat penuh dalam menjalankan aturan-aturan kesultanannya.
Eksistensi Kesultanan Selacau, satu-satunya kesultanan di Parahiangan, bukan isapan jempol belaka. Fakta sejarah kesultanan ini tercatat di Mahkamah Internasional yang menyatakan bahwa Kesultanan Selacau sebagai kerajaan berdaulat di masanya.
Fakta sejarah lain menunjukkan bahwa Kerajaan Selacau tercatat sebagai Culture Heritage Selaco Federation dengan nomor lisensi: 78965.32.32 UNDP-56-XX.56.89.2018. Selain itu, Kemenkumham RI Nomor: AHU-0006177.AH.01.07 Tahun 2018 menyatakan Kesultanan Selacau atau Selagodon Kingdom dinyatakan sebagai perkumpulan cagar budaya kesultanan Selaco Tunggul Rahayu.
“Fakta sejarah lainnya berupa legalisasi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2018, bahwa Selacau sebagai warisan budaya peninggalan Kerajaan Padjajaran masa kepemimpinan Raja Surawisesa,” terang Sultan Rohidin, keturunan kesembilan dari Raja Padjadjaran Surawisesa dengan gelar Sultan Patra Kusumah VIII.
Sebagai destinasi wisata religi mandiri, Kesultanan Selacau sudah siap untuk memanjakan para pengunjungnya. Di tempat wisata ini pengunjung selain bisa menikmati keindahan alam, hutan perawan, dinginnya tiupan angin pegunungan, juga dimanjakan oleh bangunan kesultanan mulai pintu gerbang utama, hingga ke pernik-pernik artefak yang hingga kini masih terjaga keasliannya. Di dalam dan belakang istana kesultanan terdapat situs berupa makam para pejabat kesultanan seperti makam KGP Surawisesa Parungponteng, Raja Komala Selaco Parungponteng, makam Sultan Agung Patrakusumah Sodong hilir, makam Eyang Raksaniti Parungponteng, makam R. Suryadiningrat Parungponteng, makam Dipasajaya Parungponteng, makam Kiayi Wastapajaya Parungponteng, situs makam Rd. Mahmudsyah Sacataruna Sodong hilir, makam Kgp SusukTunggal Parungponteng, dan makam Syeh Syaripudin Parungponteng.
Pembangunan cagar budaya menuju destinasi wisata religi mandiri memang tidaklah mudah. Untuk itu, Rohidin senantiasa membuka diri bagi siapapun yang berhasrat untuk membantu pembangunan cagar budaya termasuk dari unsur pemerintahan.
“Kami berencana membuka jalur transportasi khusus kesultanan untuk antar jemput pengunjung dari satu situs ke situs lainnya. Tidak menutup kemungkinan kami menggandeng Dishub untuk memberikan kenyamanan pada pengunjung. Pengelolaan dilakukan secara profesional dan kesultanan tetap sebagai penanggung jawab,” pungkas Rohidin. (dono darsono)***