HARI itu, saya tidak langsung pulang ke rumah. Alih-alih, motor saya meluncur ke Pasteur. Di WhatsApp, istri mengabari bahwa transfusi darahnya sudah selesai. Sekarang hanya tinggal menunggu dokter untuk memastikan semuanya baik-baik saja sebelum pulang.
Jam menunjukkan pukul lima sore ketika saya kembali ke jalan, berjibaku dengan kemacetan yang semakin menggila. Gunungbatu, terutama di sekitar terowongan menuju Sarijadi, selalu menjadi titik macet yang menjebak. Seperti biasa, suara klakson bersahutan, kendaraan merayap, dan panas mesin motor merambat ke kaki. Hampir satu jam saya terjebak di sana, sabar tapi gelisah, ingin segera sampai ke rumah sakit tempat istri dan anak menunggu.
Sesampainya di kamar inap, saya dan anak sulung duduk menanti dokter datang memberi izin pulang. Ruangan itu terasa akrab meskipun tetap asing—sebuah persinggahan sementara yang melelahkan. Wajah istri tampak lebih segar setelah transfusi, meskipun masih ada sisa kelelahan di matanya. Saya menggenggam tangannya sebentar, isyarat tanpa kata bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Menjelang magrib, izin itu akhirnya datang. Kami pun bersiap-siap pulang, kembali ke rumah setelah hari yang panjang. Namun, perjalanan pulang bukan berarti bebas dari perjuangan. Kemacetan di Pasteur sudah menunggu, lebih padat dibandingkan sebelumnya. Lampu-lampu kendaraan membentuk lautan merah dan putih yang berkedip-kedip di kejauhan. Jalanan penuh sesak, dan kami harus beringsut pelan-pelan melewatinya.
Di tengah perjalanan, kami mampir di Gunungbatu untuk membeli pecel lele. Perut mulai terasa lapar, dan warung tenda sederhana itu tampak seperti oasis di tengah padang kemacetan. Aroma sambal terasi menyambut begitu kami mendekat. Saya memesan seporsi untuk masing-masing dari kami, tidak lupa dengan nasi hangat yang mengepul. Makanan sederhana ini entah kenapa selalu terasa istimewa setelah hari yang melelahkan.
Begitu sampai di rumah, magrib hampir berlalu. Saya menunaikan salat dengan tubuh masih terasa panas akibat perjalanan. Setelahnya, saya duduk di ruang tamu, membuka ponsel dan membaca beberapa pesan yang masuk. Namun, perhatian saya teralihkan oleh sesuatu yang lain—beberapa lembar koran lawas yang saya bawa dari warung makan tadi.
Ternyata, saat menunggu pesanan pecel lele dibungkus, mata saya tertumbuk pada lembaran-lembaran koran yang tergeletak di meja. Itu bukan sembarang koran, tapi Kompas cetak lawas, yang biasanya digunakan pedagang sebagai bungkus makanan. Secara refleks, saya membolak-balik tumpukan kertas itu, mencari sesuatu yang menarik.
Saya menemukan satu halaman hari Minggu yang memuat cerpen berjudul “Ronda”, karya Ratna Ayu Budhiarti. Entah kenapa, ada sensasi nostalgia yang menyeruak. Cerpen-cerpen di koran Minggu adalah bagian dari masa lalu yang sering saya nikmati, tapi belakangan ini semakin jarang saya baca. Saya bertanya pada tukang warung apakah boleh mengambil satu lembar. Dia malah menyuruh saya mengambil lebih banyak. Saya hanya memilih yang edisi Minggu, karena itulah yang saya cari—cerpen.
Malam semakin larut. Setelah salat Isya, saya kembali ke kamar, berniat membaca cerpen tadi sebelum tidur. Namun, begitu kepala menyentuh bantal, tubuh yang lelah tidak memberi kesempatan. Mata saya terasa berat, dan sebelum menyadarinya, saya sudah terlelap.
Hari itu berakhir seperti kebanyakan hari lainnya—dengan kelelahan yang tak terhindarkan, dengan rutinitas yang terkadang terasa menjemukan. Tapi di antara kemacetan, kecemasan menunggu istri pulang dari rumah sakit, mampir membeli pecel lele, dan menemukan cerpen lawas di tumpukan koran bekas, ada kehidupan yang tetap mengalir. Ada cerita kecil yang mungkin sepele, tapi justru membuat hari itu terasa berbeda.
Kadang, hidup bukan tentang momen-momen besar yang dramatis. Justru hal-hal kecil seperti ini—menunggu di kamar inap, melawan macet, menikmati pecel lele di pinggir jalan, dan menemukan selembar cerpen lawas—yang diam-diam menjadi bagian dari kenangan yang paling melekat. ***
Didin Tulus, penggiat buku. Tinggal di Cimahi.