Terabaikannya Pendidikan Moral dalam KBM Daring

FOTO ARTIKEL 34
Ilustrasi, (Foto: Istimewa).

Oleh Aan Robiana

PANDEMI Covid-19 belum juga berakhir. Wabah ini melumpuhkan segala bidang. Termasuk bidang pendidikan yang dipaksa tidak boleh ada kegiatan secara tatap muka. Sehingga, dengan keterpaksaan, para pendidik harus memutar otak untuk menyampaikan materi ke peserta didik dengan cara pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) daring.

Dalam menyelenggarakan KBM daring ini, kendala yang kerap disebut-sebut antara lain terkait tidak terjangkaunya akses internet, terutama di pelosok perkampungan. Akibatnya, peserta didik tidak maksimal mengikuti KBM daring.

Namun bukan hanya itu. Selama KBM daring ini, realitas di lapangan menunjukkan, sebagian besar peserta didik tidak mempunyai handphone berbasis android. Ini menjadi kendala terbesar dan tantangan para pengajar di sekolah.

Di sisi lain, pembelajaran di masa pandemi Covid-19 ini juga terkesan tidak lengkap atau tidak sempurna. Sebab, dengan sistem KBM daring, pembelajaran moral peserta didik menjadi terbengkalai. Padahal, pembelajarn itu bukan hanya menuntut ilmu atau menstransfer ilmu saja, tapi sekolah menjadi tempat pembentukan moral.

Nah, pembentukan moral itu bukan hanya melalui penyampaian materi teoritis melainkan harus dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari, baik di sekolah maupun di rumahnya masing masing.

Bisa dikatakan dengan KBM daring, materi pembelajaran bisa tersampaikan karena peserta didik biasa mencari kebutuhan materi di internet. Namun, mengenai moral, peserta didik tidak akan menemuinya di internet. Itu hanya bisa dilakukan di sekolah.

Sementara itu, seiring diterapkannya KBM daring ini, beban orang tua peserta didik bertambah. Orang tua harus mengeluarkan biaya dua kali lipat dibandingkan biasanya karena orang tua dituntut harus membeli kuota untuk KBM daring anaknya.

Sedihnya lagi, orang tua merasa kewalahan dalam membimbing anaknya saat belajar. Terkadang yang mengerjakan materi dari gurunya bukan anaknya melainkan orang tua anak tersebut. Jadi, yang pintar siapa?

Terakhir, untuk solusi menghadapi dinamika KBM daring ini, untuk mengefektifkan moda pembelajaran, penentu kebijakan harus mempertimbangkan kondisi di lapangan. Jangan sampai, visi penyelenggaraan KBM daring tak tersentuh karena kendala-kendala teknis yang tidak bisa segera dicarikan solusinya.

Lalu, kepada pihak yang terkait dengan pendidikan, kami mengharapkan adanya kebijakan yang mengatur pembelajaran yang ada kaitannya dengan moral atau akhlak peserta didik. Jangan sampai siswa tidak punya tata krama dan sopan satun karena tergilas oleh masa pandemi Covid-19 ini.

Apalah arti siswa pintar tapi tidak berakhlak. Dengan berakhlak generasi penerus bangsa menjadi ujung tombak yang disiapkan oleh negara menjadi lebih mantap ke depannya. Tetapi siswa yang tidak berakhlak akan merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.***

Penulis adalah Guru SMPN 2 Cikoneng, Kabupaten Ciamis.