ZONALITERASI.ID – Keinginan untuk mengakomodasi keberagaman dan visi untuk mewujudkan masyarakat yang beradab serta berkeadilan, adalah tujuan dari dibentuknya Institut Nalar Jatinangor. Lalu, bagaimana kiprah lembaga yang eksis beraktivitas di Jatinangor, Kabupaten Sumedang sejak 20 Mei 2000 itu? Beragam aktivitas intelektual di lembaga ini selama 23 tahun terakhir, menjadi warna tersendiri di tengah perkembangan Jatinangor yang semakin menggeliat.
KONON, berawal dari keinginan yang sama untuk membuat ruang publik yang bisa mewadahi penghargaan terhadap keberagaman dan mengusung masyarakat yang beradab serta berkeadilan, beberapa pentolan aktivis di Jatinangor berhasrat untuk membuat wadah bernama Institut Nalar Jatinangor.
Berawal dari tekad itu, pada 20 Mei 2000, Hikmat Gumelar, Mona Silviana, Tedi Muhtadin, Nana Suryana, Ariza, Aquarini Prabasmoro, Bonardo Maulana, Heni Irawati, dan Indah Lestari, bersepakat untuk menelurkan gagasan-gagasan kemasyarakatan dalam berbagai program yang dihelat oleh lembaga ini.
“Semula, tempat kami kumpul di Jatinangor berwujud kedai buku. Di sinilah, kami berdiskusi dan bertukar gagasan tentang berbagai persoalan. Intinya, kami berupaya mengakomodasi terbentuknya masyarakat majemuk, egaliter, setara, dan berkeadilan,” kata Direktur Eksekutif Institut Nalar Jatinangor, Hikmat Gumelar, saat ditemui Zonaliterasi.id, di sela-sela aktivitasnya mengembangkan lembaga itu, beberapa waktu lalu.
Seiring berjalannya waktu, dari hari ke hari Institut Nalar Jatinangor semakin tumbuh dan berkembang. Ternyata, lembaga yang semula sekadar dijadikan tempat ngumpul untuk menghilangkan penat dan membuka wawasan itu, semakin mendapat reaksi positif dari berbagai kalangan.
Mahasiswa Universitas Padjadjaran (Unpad) dan perguruan tinggi lain yang memiliki visi yang sama dalam menggairahkan penghargaan terhadap humanisme, terus berdatangan ke Insitut Nalar Jatinangor. Tak jarang, mereka ikut ngumpul bareng di kedai buku dan ngobrol-ngobrol tentang beragam persoalan, mulai sastra, budaya, hingga persoalan kemasyarakatan.
Hikmat mengungkapkan, program-program yang digarap oleh Insitut Nalar Jatinangor kemudian merambah ke berbagai tataran kegiatan, mulai diskusi kecil, diskusi publik, hingga membuat kelas menulis.
Biasanya, kata dia, diskusi kecil digelar setiap dua minggu sekali. Selanjutnya, untuk pelaksanaan diskusi publik dilangsungkan secara periodik. Penyelenggaraan diskusi kerap dikerjasamakan dengan berbagai perguruan tinggi; penerbit seperti Gramedia, Mizan, dan Yayasan Obor; serta komunitas lain.
“Untuk kelas menulis, Institut Nalar Jatinangor memasilitasi semua warga yang berasal dari berbagai kalangan untuk berdiskusi seputar penulisan. Jika ada teori-teori baru seputar penulisan atau rembukan bagaimana cara mengungkapkan ide dalam bentuk tulisan, diwadahi di lembaga ini,” tutur Hikmat. (dede suherlan)***