Karya Beni Setia
DENGAN konteks Timuriah, sesuai fakta kami orang Jawa, rumusan yang lebih tepat itu: dukun. Yang menguasai energi tersembunyi dengan kata, mantera, dan dengan energi itu mengubah kenyataan riil jadi sesuatu yang sesuai keinginan. Cuma kata-kata, tak pakai ajimat. Aku tahu, ia punya kenangan yang ingin dihadirkan (lagi) di alam nyata, di masa kini, tapi tak kesampaian, karenanya makin ekspresif mengolah kata-kata, melulu untuk kepuasan berkata-kata tentangnya-tentang hal yang tak mungkin mengujud jadi yang diinginkan, sekaligus untuk menyerapahi apa yang mustahil terujud sesuai keinginan. Satu-satunya hal yang dimungkinkan sebagai seorang guru matematika, yang selalu mempunyai banyak murid les, agar nilai mereka di rapot memenuhi syarat di atas minimal bagi siswa jurusan (ilmu) pasti-dan setelah pensiun, ia kurang laku. Karenanya, meski sia-sia, ia tak berhenti mengusahakan kepastian.
Hanya pelafalan ekspresif, dilengkapi dengan gesture sangat kuat, memancarkan kehendak, maka semua orang minimal akan terdiam. Satu sukses kepastian orang eksakta, yang bilang 1 itu 1 dan bila 1 + 1 maka akan bermakna 2-setidaknya selama tidak ada keberatan muatan positif atau negatif dari angka, atau ada kurva dengan pembatas garis bilangan, dan seterusnya. Si orang politik akan mendefinisikan tindakan itu dalam dua versi, yang diuntungkan menyebutnya sebagai tokoh kharismatik, dan si yang dirugikan akan menyebutnya sebagai tokoh otoriter. Tapi energi inti dari semua itu, kehendak kuat, keinginan yang mustahil dikompromikan, serta kata-kata yang tak boleh dibantah. Berkali-kali, hari demi hari, diucapkan. Karenanya, perlahan, aku terjebak kondisi psikologik paranoid-aku telah berubah, berkeinginan agar dunia, yang abadi dalam kenangan, berubah dan menjelma sesuai keinginan.
……
ANAK-ANAK telah ke luar. Masa pensiun menyebabkan aku harus selalu ada di rumah serta berhadapan dengan ketiadaan pilihan-misalnya, aku ingin beraerobik tapi ia malah ingin belanja, maka aku harus beraerobik ke pasar, tapi itu tidak menarik kalau di setiap dua hari aerobik di pasar. Menyebalkan.
Karenanya, aku memasuki dunia digital, menyerbu cakrawala Facebook dan bertemu dengan banyak orang-meski sebenarnya bermula dari ingin mencari teman masa SMP, lebih dari 50 tahun yang lampau. Bertemu dengan Sonari. Riang berbagi cerita, membuka kenangan sambil tetap menyimpan yang paling rahasia dari masa muda. Meski (tak bisa tidak) kami saling mengerti, sebab kami hidup dengan sepenggal kenangan yang sama, yang terus dirahasiakan dalam hati dan terus berjanji akan bertemu-semacam kencan terakhir sebelum waktu habis dan kami meninggal. Tapi kencan apa yang bisa dilakukan pasangan renta? Apa aku harus mengalami luka traumatik lagi setelah bertahun hidup dengan istri paranoida yang jadi tukang sihir?
……
JUMAT pagi, setelah istirahat, seusai perjalanan kereta api 12 jam, aku mengeluarkan sepatu olahraga, baju olahraga, dan menggambar-dalam angan, semacam lintasan aerobik di kota yang tak pernah dijelajahi selama 30 tahun (aku malah enggan singgah di masa Lebaran, bahkan mengabaikannya setelah orang tua, di kota ini, meninggal). Bergerak melintas, diagonal, ke titik utara alun-alun, belok, riang merasuk ke utara mengikut belokan jalan, dan menekah di lamping perbukitan yang jadi pemakaman umum. Melingkari sebagian kaki bukit, sampai di sulur bukit dipotong sungai, dengan si jembatan-dalam ingatan selalu antik, ujudnya masih sesuai tampakan masa kanak. Dulu ada penjaja cendol, di bawah beringin, sebelum mulut jembatan kayu dengan atap rumbia. Kini ujud lampau jembatan itu telah tiada, meski di titik itu aku dan Sonari akan bertemu nanti-dulu, pernah janjian akan bertemu di sana tapi tak kesampaian.
Sebenarnya aku ingin mereguk segelas cendol, butir lunak kehijauan dari gumpalan kanji yang dipekatkan, ditampung di dalam gelas langsing dengan larutan gula enau berpengharum durian, dengan hiasan serutan kelapa memanjang dan butiran es batu. Terbayang itu dikocek dengan sendok bergagang panjang, lalu diteguk dalam kehausan di kerimbunan ketika matahari teraling canopy beringin. Bahkan di sore hari, dengan matahari di deretan perbukitan barat, dengan angin pesawahan yang lewat mengacak-acak jangat di antara suara riuh anak bergegas naik tebing, pindah ke atas jembatan, lantas meloncat ke lubuk di antara lereng berbatu karang pejal-di mana badan jembatan dibaringkan, sekaligus ditumpu perancah, yang memiring dari liang buatan penstabil di karang di kedua sisi. Konstruksi meragukan tapi terus bertahan dalam kesederhanaan naifnya-mungkin karena jembatan itu tak pernah menanggung beban yang lebih berat dari gerobak sapi dan hanya orang berjalan kaki.
……
MUNGKIN keriangan masa kanak itu yang sebenarnya ingin dikunjungi lagi, sesuatu yang berkaitan dengan kegembiraan-meski untuk begitu aku harus berjalan satu jam kurang dari rumah lama, rumah keluarga. Lain kali, setiap sore, hanya berkumpul di alun-alun kota, bermain sepak bola, atau cuma kasti di pojok lapangan. Keriangan melampaui sengatan selepas asar, yang makin lama semakin teduh, seiring udara makin sejuk, lalu semua bubar ketika bedug di masjid dipukul dan azan magrib berkumandang-aku tak gegas pulang, melangkah abai setengah jam. Sesuatu yang hanya ada dalam ingatan, sebab kota telah berubah–jalan tak lagi lamban, tak lagi memiliki keramahan lamban kampung, tapi berubah jadi ketergesaan, penuh ketegangan dari yang tertinggal, dan itu pelan jadi amarah, diperam kemacetan meski jalur telah dibuat searah.
Berusaha mencapai pojok utara alun-alun, lalu naik di jalan mendaki ke arah barat. Nanti berbelok di pertigaan. Dari sana mendaki sambil mengikuti lereng bukit. Di mana pesawahan terjal, dari lereng itu, menghampar dan kemudian dipotong alur sungai-di seberang, bersisikan tebing dari lereng tinggi sawah tadah hujan. Alur sungai itu membentuk kelokan, meski kaki utaranya tidak sepanjang kaki selatan. Berbelok ke utara, lalu belok lagi ke barat hampir sejajar, lantas ke utara lagi dan lurus ke arah timur. Meski ingin menelusurinya, aku merasa tak akan kuat menelusurinya, jadi aku hanya menarik nafas, dan rindu pun sampai di lereng seberang-meski kini teraling pekampungan-dan membayangkan jembatan rawayan-sebelum sungai berkelok ke timur- meninggalkan ladang bambu dengan jalan tanah yang selalu remang. Meniti jembatan yang berayun-ayun bila dilalui. Merentang ke tepi landai di kiri muara anak sungai, yang selalu kering di musim kemarau, lalu mendaki ke utara dan bertemu dengan jalan lain.
Sekarang semua itu pasti bukan jalan tanah lagi. Bahkan, itu kini jadi jalan yang bisa dilalui mobil–kata Bengras, keponakan, serta Hegar, cucu. Ihwal yang mungkin tidak ingin aku rusak dari dalam kenangan.
……
TAK ada Sonari di jembatan itu-tak ada penjaja cendol. Tidak ada jembatan kayu-berubah jadi konstruksi beton-tapi aku tetap menyeberanginya. Meniti semua masa kanak sekaligus melupakannya dengan memastikan seluruh kenangan tentangnya itu luruh. Termangu di tepian lain. Berjalan di sepanjang pendakian, berkelok ikut palung sungai ke barat, lantas menjauhi palung sungai dan membuat kurva mengikuti alur sungai di bawah. Aku tak terus berjalan. Aku berbalik dan tegak menyawang tegakan jembatan dari ketinggian-tanpa teraling kerimbunan. Aku menyawang kampung di punuk tebing lain sungai, di seberang jembatan-yang atap dan rupa arsitekturnya membuatku seperti tersedot, dan merasa pulang. Tapi, nyatanya, kini disesatkan fatamorgana kemajuan. Ada di mana? Apa yang salah dengan hidup? Jawabannya mungkin ada pada usia 62 tahun, dan tak bisa dieksploitasi pekerjaan lagi, dan diusir dengan dikasih uang lelah, pensiunan.
Aku memandang lagi jembatan itu dari kejauhan, dengan merangkum semua latar-tapi tetap tidak bisa memotret keceriaan masa kanak, yang muncul dalam ingatan. Apa itu akan jadi satu momenti terakhir sebelum mati: dengan mengejar romantika kencan bersama Sonari. Apa itu wajar? Atau aku sudah mendapat firasat akan selesai, karenanya terdorong untuk impulsif berusaha menuntaskan penasaran di masa muda? Aku memejam. Pilu. Beranjak berjalan balik dengan amat berharap bertemu Sonari. Tapi apa yang bisa diharapkan dari seorang perempuan berusia 62 tahun, yang tidak mungkin meninggalkan rumah dengan berpura-pura beraerobik, agar bisa bertemu dengan bekas pacar curi-curi pandang di masa SMP? Aku tahu, perempuan tetap perempuan-meski tiga kali menikah, punya delapan anak dan 15 cucu-dan meski agresif di Facebook: ia itu tetap si kikuk generasi kelahiran 1948.
Sedang memaksa cucunya untuk mengantarnya jalan ke jembatan, rikuh. Sekaligus takut ancaman encok, saat diam-diam menyelinap serta berjalan setengah jam dari rumah di dekat alun-alun itu-di mana kami dulu sering kencan ruhani dalam kepergok tidak sengaja dalam keriuhan olahraga di alun-alun. Apa aku harus agresif mampir setelah terpuaskan dengan tangkapan panoramatik ini-yang menancap sangat kuat dalam ingatan. Semacam teriakan: aku telah pulang-sekaligus membagikan rasa kehilangan dari sebuah pulang karena kota kelahiran telah berubah dari ketenteraman masa kanak era 1960-an.
……
DI kios colenak, di alun-alun yang gersang dan bising oleh angkot yang bergegas lewat atau sengaja stop menunggu pernumpang: aku menelepon Cangra-istriku-serta bilang bahwa kota telah berubah, dan tidak menemukan masa lalu selain perubahan yang mengusirku (untuk balik) ke pengembaraan. Cangra tertawa-rumah keluarganya digusur oleh pelebaran jalan kota, dan bersama itu lantas muncul tampilan kemegahan planologi kota baru, sehingga seluruh ikatan emosi dengan kotanya, dengan masa kanaknya, berantakan, hingga di setiap tahun ia tak pernah menemukan nikmatnya mudik Lebaran. Yang memaksanya selalu berlebaran di pengembaraan, sebab kalau melakukan mudik ke sini: urat ketahanan ekonomi akan tercekik, karenanya amat jarang kami berlebaran di sini. Sesuatu yang memaksa kami menerima fakta yang amat pahit: kampung Lebaran kami ada di pengembaraan, karenanya harus mati di pengembaraan sebagai kanak dari masa kini-yang masa lalunya tergusur, dan paranoid menghadirkan impian masa lalu, dengan sihir, dengan kata-kata.
Ihwal yang membuat istriku jadi yang simbolik mengekspresikan semua keinginannya-bahkan mungkin pedih kehilangan masa lalu-dengan kata, yang diharap jadi mantera pengubah, hingga dunia jadi tampakan yang sesuai dengan keinginan. Tapi apa sesungguhnya keinginan Cangra itu?
Mungkin satu lancongan hari tua ke zona masa kanak, berharap menemukan apa yang dulu tak sempat dilampiaskan, agar semua kepenasaranan masa muda dituntaskan. Kenyataannya, kini, tak ada lagi tempat macam itu baginya-Tata Kota telah zakelijk merampas kenangan masa kanak. Yang ada cuma kekecewaan kehilangan. Tapi apa yang tidak hilang dari masa lalu? Sementara tanah kelahiran ini, ternyata hanya tanah pengembaraan dari Bapak dan Ibu? Sehingga kenangan hanya cara instingtif mengekalkan sesuatu, yang hakikatnya otomatis telah terlepas dari genggaman? Aku menelan ludah. Menatap gerbang rumah sakit, mencari yang tidak ada sebab rumah sakit telah berganti arsitektur dan dirombak total atas nama efisiensi dan efektivitas pelayanan medis. Dan semua, di kota ini, dalam kenangan, tak lagi persis seperti dahulu, karenanya terus mencemoohkan aku yang hidup di masa lalu.
Bahkan apa yang kini ada, di mana pun, tak pernah dihadirkan dan disediakan buat mengekalkan masa lalu-demi seseorang dari masa lalu-tapi melulu disediakan bagi si pendatang dan yang akan datang. Karenanya, kita sedang diusir, kita harus selalu terusir. Diusir perubahan-yang melulu dibangun untuk memanggil kedatangan yang baru.
……
PEUYEUM bakar yang diiris-iris serta disiram larutan gula enau dengan parutan kelapa kasar memanjang itu meninggalkan rasa asing, tidak seakrab dengan yang di masa kanak-mungkin karena telah dingin. HP berdering, Bengras mengabarkan: Nini Sonari meninggal dunia jam 07.30, barusan. Aku mengiyakan-mengucapkan Inna lillahi … Menanyakan rumah duka, waktu prosesi pemakaman. Sekaligus mengajaknya ber-takziah setelah salat Jumat. Lebih tepatnya: aku ingin mengabarkan bahwa aku telah datang di jembatan itu, dan meski secara fisikal tak bertemu, tapi mungkin secara batin kami telah bertemu dan merasakan hilangnya aroma kuno kota dan masa lalu. Bahkan, kini aku juga kehilangan jangkar terakhir, yang menghubungkan dengan kota ini, dan karena itu harus bergegas pulang-12 jam dengan kereta api. Lantas berserah diri pada waktu, pada takdir harus ada di pengembaraan, beristrikan Cangra, serta beranak tiga, dan seterusnya.
……
KETIKA membeli tiket kereta, aku dalam keadaan suci, punya wudu. Karena itu, aku merasa siap untuk apa pun sepanjang 12 jam perjalanan ke timur ini. Pulang ke keasingan yang harus diakrabi setelah diasingkan oleh keakraban masa kanak-yang coba dipertahankan dalam kenangan. Karena tahu, pada dasarnya, yang bisa dimiliki itu hanya kehilangan, serta selama hidup kita cuma berlatih supaya terbiasa dengan kehilangan. Lalu apa yang tak benar-benar akan hilang dari diri kita? Apa? Dan sebagai pensiunan KUA yang terbiasa dakwah di mana-mana, aku tahu jawabannya.***
*) Sebuah lagu dari Donovan
Sumber: Koran Tempo, 3 Juni 2018
Beni Setia lahir di Bandung pada 1954. Ia menulis cerpen, puisi, dan esai sosial-budaya. Tinggal di Caruban, Jawa Timur