Catatan Guru, Menelisik Arti Sekolah Saat Corona Datang

FOTO ARTIKEL 60
Ilustrasi, (Foto: Halloriau.com).

Oleh Faika Muhammad A.

“SEKOLAH hari ini ini benar-benar sepi”. Itulah yang saya pahami ketika saya harus piket di hari Senin dan lebih mengambil uang honor kelebihan jam mengajar di sekolah saya.

Ketika itu, di sekolah hanya bersisa beberapa orang yang harus piket dan mungkin beberapa guru yang harus menyelesaikan berbagai hal yang tidak bisa diselesaikan di rumah. Itu pun tetap dengan catatan menjaga jarak. Dalam situasi ini, saya dan para guru bergurau bahwa sekolah sudah mirip seperti kota mati.

Kenapa seperti kota mati? Terang saja, sekolah yang biasanya saya lihat tidak seperti sekolah yang hari ini (dengan penuh rasa sedih) saya datangi. Saya terbiasa akrab dengan pemandangan lapangan yang penuh dengan siswa bermain bola di waktu jam pelajaran olahraga, kelas yang dipadati oleh anak didik dan guru yang sedang bercerita, kantin yang biasanya penuh dengan siswa yang mabal pelajaran (dan kemudian diusir oleh piket) atau pun ruang guru, tempat saya istirahat yang biasanya penuh dengan guru-guru yang tidak mengajar hari ini kosong melompong.

Tempat parkir motor siswapun demikian, memang tidak kosong, tapi tiba-tiba disulap oleh anak-anak sekitar menjadi “Stamford Bridge” untuk main bola. Satu-satunya ruangan sekolah yang tidak kosong hanya ruang TU untuk piket dan pos satpam.

Situasi ini membuat saya berpikir “Apalah arti sekolah tanpa guru dan keberadaan siswa?” Ya, mungkin cuma tempat orang tua yang nongkrong sambil main catur dengan yang lainnya.

Saya merasa Corona sukses membuka mata pada siapapun mengenai arti sebuah sekolah; bukan sekadar bangunan, tapi sebuah tempat. Guru dan siswa adalah dasar dari sebuah sekolah yang sebenarnya dan hubungan guru dan siswa adalah jati diri sekolah sebenarnya. Kondisi tersebut dibuktikan dengan tidak bisa digantinya kehadiran guru oleh aplikasi-aplikasi les yang sekarang begitu banyak bermekaran seperti bunga di bougenvile.

Ketika siswa diminta untuk diam di rumah dan belajar, tetap saja tidak seefektif dengan tatap muka. Perkembangan teknologi mungkin bisa mengubah banyak hal tapi tidak dengan mengubah guru dan siswa. Mereka tetap perlu bertemu karena untuk mendidik dibutuhkan pertemuan.

Dalam esensi pertemuan itu terlihat siswa mana yang sedang sakit, yang bersemangat. Bahkan, bagi saya seorang guru, pertemuan itu penting karena terkadang keberadaan mereka membuat mood saya membaik dan selalu awet muda (meskpun perbedaan usia saya dengan siswa hanya sekitar 8 tahun).

Pertemuan di sekolah bukan cuma untuk pendidikan formal, tapi juga pengalaman relasi, termasuk guru menjadi pengalaman pada siswa untuk bekerja lebih baik, siswa pun mencari pengalaman dari guru dan memilah yang baik untuk dirinya dan yang tidak sepatutnya dia contoh. Ketika virus ini datang, semua terhenti tepat begitu saja, seperti air keran yang mengalir kemudian ditutup.

Mendidik dari Rumah

Situasi merebaknya Corona ini membuat saya dan tentu guru lain terpaksa mendidik dari rumah, sekalipun rasanya ibarat bikin mie tanpa bumbu -ada sesuatu yang hilang, tetap saja harus dilakukan. Namun, saya sampai detik ini berusaha untuk tidak memberi tugas terlalu banyak dan mendidik mereka untuk tenang dan waspada.

Awalnya, saya memberi tugas sejarah esai berupa sekitar proklamasi. Namun, seorang ketua murid protes kepada saya yang intinya dia meminta tugas untuk diringankan karena terlalu banyak. Sampai-sampai dia juga bingung untuk mengerjakan mana dulu, bahkan dia bercerita(agaknya hiperbolik), kalau dirinya menjadi migren karena tugas yang banyak itu.

Kemudian, saya tarik kesimpulan, siswa tidak boleh stres dalam situasi ini dan itu bagian dari mendidik. Ditakutkan siswa stres di rumah dan berujung pada buruknya kesehatan mereka.

Di sisi lain, saya juga melihat, kalau saya memporsir diri saya terlalu ekstrem, bisa-bisa saya juga ikutan stres dan memperburuk situasi. Jadi tugas yang gampang adalah the middle ways untuk sistem pendidikan di rumah. Bahkan bagi saya sendiri seharusnya tidak perlu ada tugas yang dikumpulkan dalam waktu jarak dekat. Berikan saja bentuk proyek yang dikumpulkan semisal 14 atau 20 hari kemudian, sehingga siswa bisa fokus pada kesehatannya.

Percayalah, belajar di rumah itu bisa. Lagipula, dalam kondisi seperti ini, istirahat dan fokus pada kesehatan lebih penting. Istirahatkanlah sejenak trigonometri dan teman-temannya. Cukup berikan tugas paling dasar sehingga guru bisa fokus pada kesehatannya karena ia tidak melakukan gerakan berlebih dan istirahat cukup. Begitu juga dengan siswa.

Jadikan belajar dari rumah ini membuat guru dan siswa sehat, bukan malah menurun tubuhnya karena urusan-urusan administrasi. Corona sih mungkin tidak kena, tapi masih banyak penyakit lain yang harus diantisipasi lainnya bukan? Masuk angin misalnya.

“Siswa dan guru harus sehat ketika mereka kembali ke sekolah, karena sekolah tanpa mereka hanyalah bangunan yang tidak pantas untuk dikenang.”***

Faika Muhammad A., Guru Sejarah Honorer yang bersyukur masih diberi kesehatan oleh Tuhan yang Maha Esa.

Respon (176)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *