Literasi Digital, Respons atas Revolusi Industri 4.0

FOTO LITERASI 8
Kabid Kurikulum & Bahasa, Disdik Kabupaten Bandung Barat, Dadang A. Sapardan, (Foto: Istimewa).

Oleh Dadang A. Sapardan

BERKENAAN dengan kebijakan pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah, Kementeraian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebagai pemegang otoritas kebijakan pendidikan terus mendorong setiap sekolah untuk dapat mengimplementasikan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Langkah tersebut dilandasi dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter dan implementasi teknisnya diperkuat dengan lahirnya regulasi turunan yaitu Permendikbud Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan Formal.

Mengacu pada Permendikbud seperti disampaikan di atas, Penguatan Pendidikan Karakter adalah gerakan pendidikan di bawah tanggung jawab satuan pendidikan, dalam hal ini sekolah untuk memperkuat karakter siswa melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga dengan pelibatan dan kerja sama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat sebagai bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental (RNRM).

Salah satu langkah implementasi PPK yang harus dilakukan oleh setiap sekolah adalah memberi ruang dan kesempatan dengan seluas-luasnya kepada seluruh siswa untuk dapat memilki kompetensi literasi sehingga dengan kepemilikan kompetensi yang mumpuni tersebut, para siswa diharapkan dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya. Kemampuan literasi seluruh siswa sebagai subjek pendidikan, harus mendapat perhatian serius dalam bentuk program sekolah dengan nuansa pengembangan literasi. Hal itu perlu disadari dan dilakukan oleh sekolah karena kemampuan literasi dari setiap siswa dapat menjadi pemicu pengembangan wawasan ilmu pengetahuan yang dimiliki siswa.

Dilihat dari maknanya, literasi merupakan istilah yang merujuk pada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Dari pengertian tersebut, literasi tidak dimaknai secara sempit yang mengarah pada kemampuan reseptif semata, tetapi mengarah pula pada kemampuan produktif. Dengan demikian, individu yang tergolong literat dimungkinkan memiliki wawasan luas dan memiliki kemampuan untuk memproduksi berbagai pemahamannya dalam bentuk karya.

Dalam kebijakan pendidikan di Indonesia, implementasi literasi oleh setiap sekolah dikemas melalui Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Berkenaan dengan GLS ini, terdapat enam kemampuan literasi dasar yang harus dimiliki oleh setiap siswa, yaitu literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, serta literasi budaya dan kewarganegaraan. Keenam literasi tersebut harus dapat dimiliki oleh setiap siswa malalui fasititasi yang diberikan oleh sekolah melalui berbagai kegiatan kurikuler. Karena itu, setiap sekolah harus mampu memformulasi implementasi keenam kemampuan literasi tersebut sehingga menjadi program yang efektif dan efisien dalam rangka mendorong seluruh literasi tersebut menjadi kompetensi yang dimiliki setiap siswa.

Salah satu dari keenam kompetensi literasi tersebut adalah literasi digital. Literasi ini merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap siswa. Kebijakan tersebut didorong untuk dapat diimplementasikan oleh sekolah karena masuknya kehidupan pada era revolusi industri 4.0. Dengan demikian, ranah pendidikan—mau tidak mau dan siap tidak siap—harus merespons dengan kebijakan yang abai akan fenomena era kehidupan ini. Sebagai salah satu domain kehidupan yang harus menyiapkan generasi penerus pada masa depan, pendidikan harus berada pada garis terdepan dan menjadi ujung tombaknya. Pendidikan harus merespon secara proaktif akan fenomena yang terjadi, termasuk menyikapi perubahan pada era kehidupan ini.

Literasi Digital dalam Konteks Persekolahan

Seiring dengan perjalanan waktu, pranata dan pola kehidupan masyarakat selalu mengalami perubahan. Perubahan dalam kehidupan merupakan fenomena yang tidak dapat disangkal dan dihindari, tetapi harus direspons dengan penyikapan bijak dari seluruh masyarakat. Penyikapan yang dimaksud di antaranya dengan mengikuti dan merespons setiap dinamika perubahan tersebut.

Sedikitnya sampai saat ini terdapat empat titik tolak yang menjadi pemicu perubahan dalam kehidupan di muka bumi ini. Keempatnya merupakan titik radikal yang serta merta mengubah budaya kehidupan masyarakat. Perubahan tersebut berangkat dari fenomena kehidupan industri. Keempat perubahan yang berdampak pada perubahan budaya kehidupan masyarakat tersebut adalah revolusi industri 1.0 (mekanik), revolusi industri 2.0 (listrik), revolusi industri 3.0 (computer/internet of human), serta revolusi industri 4.0 (computer/internet of things).

Sampai saat ini kehidupan manusia sudah berada pada era revolusi industri 4.0 dengan diwarnai oleh fenomena pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi yang mampu memobilisasikan entitas pengetahuan secara cepat, murah, dan masiv. Era ini melahirkan fenomena disrupsi pada sebagian besar tata kehidupan masyarakat. Pada revolusi industri 4.0 terjadi lompatan besar teknologi dengan adanya symptom pemanfatan teknologi informasi dan komunikasi secara masiv dan optimal di kalangan masyarakat.

Sejalan dengan itu, ranah pendidikan—dengan memosisikan sekolah sebagai ujung tombaknya—harus meresponnya melalui penerapan strategi kebijakan yang tepat, sehingga langkah yang diambil tidak menihilkan fenomena perkembangan kehidupan yang terjadi pada saat ini dan masa datang. Sebagai salah satu ranah kebijakan yang harus mempersiapkan generasi pada masa depan, kebijakan pendidikan harus berada pada garis terdepan dan ujung tombak yang respons atas perubahan tersebut.

Salah satu respons yang harus dilakukan oleh penentu kebijakan pendidikan adalah memberi ruang dan kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh siswa untuk mengembangkan potensi melalui kegiatan literasi. Dalam konteks Revolusi Industri 4.0 ini, literasi yang harus didorong adalah salah satu dari keenam kompetensi literasi yang harus dimiliki siswa, yaitu literasi digital.

Melalui formulasi kebijakan pendidikan yang salah satunya mendorong implementasi literasi digital, seluruh siswa dimungkinkan untuk dapat melakukan akselerasi percepatan kepemilikan wawasan ilmu pengetahuan. Hal itu dimungkinkan karena berbagai pengetahuan dan informasi dapat secara cepat dan mudah diperoleh mereka dari internet dengan perangkat digital yang dimilikinya. Melalui upaya tersebut, setiap siswa diharapkan dapat mengimbangi persaingan kehidupan masa kini dan masa depan yang diwarnai dengan fenomena maraknya digitalisasi pada hampir semua sektor kehidupan.

Mengacu pada Wikipedia, literasi digital dimaknai sebagai pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkan secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan demikian, seluruh siswa harus dipandu dan diberi pemahaman oleh sekolah untuk menjadi sosok yang memiliki kompetensi seperti diungkapkan di atas. Langkah yang harus dilakukan adalah menyusun program literasi digital yang terintegrasi dengan litarasi lainnya dalam GLS.

Pengenalan siswa oleh sekolah terhadap kompetensi digital ini tidak bisa ditawar-tawar lagi karena kehidupan masa depan siswa akan banyak diwarnai dengan berbagai aktivitas berbau digital. Karena itu, kewajiban sekolah adalah menyiapkan siswa agar dapat survive dalam kehidupan masa kini dan masa depan. Langkah yang memungkinkan dapat dilakukan sekolah adalah melakukan digitalisasi manajemen pengelolaan sekolah dan manajeman pembelajaran. Dengan kedua langkah tersebut, siswa akan dapat intens dengan perangkat digital dalam mengikuti pembelajaran. Bahkan bukan itu saja, langkah tersebut akan pula berimbas pada orang tua siswa dan masyarakat sekitar.

Namun, yang harus dicatat oleh setiap pemangku kebijakan sekolah adalah melakukan pengontrolan yang ketat terhadap siswa sehingga mereka dapat memanfaatkan perangkat digital. Melalui langkah tersebut, siswa dapat memanfaatkan perangkat digital hanya untuk hal-hal positif semata, terutama dalam upaya menambah wawasan pengetahuannya. Upaya ini harus ditekankan karena perangkat digital yang telah berada pada genggaman siswa bisa berdampak negatif ketika dimanfaatkan oleh mereka untuk kegiatan negatif. Kesalahan pemanfatan perangkat digital tidak menutup kemungkinan akan berdampak negatif bagi pengguna serta lingkungan sekitarnya. Kebermanfaatan perangkat digital akan bergantung pada siswa itu sendiri dalam menyikapi dan memanfaatkannya. Karena itu para pemangku kebijakan satuan pendidikan harus bersinergi dengan orang tua siswa dan masyarakat guna mendorong siswa agar dapat memanfaatkan perangkat digital dalam upaya implementasi literasi digital.

Simpulan

Perubahan era kehidupan harus disikapi dengan bijak oleh setiap pemangku kepentingan dengan penerapan berbagai kebijakan yang respons atas perubahan tersebut. Mengacu pada tahapan-tahan era kehidupan dengan revolusi industri sebagai tonggaknya, saat ini sudah masuk pada era revolusi industri 4.0 (computer/internet of things). Kehidupan era ini diwarnai dengan fenomena pemanfaatan teknologi digital yang mampu memobilisasikan entitas pengetahuan secara cepat, murah, dan masiv sehingga melahirkan fenomena disrupsi pada sebagian besar tata kehidupan masyarakat. Fenomena tersebut tidak saja menyentuh pada satu ranah kehidupan semata, tetapi menyentuh pada hampir sebagian besar ranah kehidupan.

Sebagai ujung tombak dari implementasi kebijakan pendidikan, sekolah harus berada pada barisan paling depan untuk merespons perubahan tersebut. Respon yang dilakukan adalah menerapkan berbagai kebijakan yang mengarah pada mendorong kompetensi literasi digital pada setiap siswanya. Dengan demikian, para siswa tidak akan memiliki kesiapan untuk memanfaatkan perangkat digital dalam kehidupan masa kini dan masa depan.

Langkah strategis yang dapat dilakukan oleh sekolah adalah dengan menyusun formulasi program. Penyusunannya paling sedikit mengarah pada dua hal yaitu melakukan digitalisasi manajemen pengelolaan sekolah dan manajeman pembelajaran. Kedua program tersebut dimungkinkan menjadi stimulus bagi siswa untuk aware terhadap fenomena kehidupan yang berbau digital. Bahkan bukan untuk siswa saja, kebijakan demikian dapat pula menyentuh sebagian besar warga sekolah, dalam hal ini orang tua siswa dan masyarakat sekitar.***

Dadang A. Sapardan, Kepala Bidang Pembinaan SD Disdik Kabupaten Bandung Barat.

Respon (170)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *