Literasi, Numerasi Kurangi Penderita Diskalkulia

Oleh Agus Nurjaman, S. Pd.

numerasi1 5f6cf92b097f36485a335582 760x400 1
Ilustrasi, (Foto: Kompasiana.com).

SISTEM pendidikan “Merdeka Belajar” yang menekankan pada tiga unsur penting yaitu literasi, numerasi, dan survei karakter menjadi sebuah terobosan baru dalam dunia pendidikan saat ini. Literasi merupakan kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis. Sedangkan numerasi secara sederhana dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengaplikasikan konsep bilangan dan keterampilan operasi hitung di dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu numerasi juga merupakan kemampuan untuk menginterpretasi informasi kuantitatif yang terdapat di sekeliling kita. Di samping itu, kemampuan ini juga merujuk pada apresiasi dan pemahaman informasi yang dinyatakan secara matematis, misalnya grafik, bagan, dan tabel. Pada zaman sekarang sering sekali kita menemukan siswa yang tidak memahami hitungan secara matematika, gejala seperti ini disebut dengan istilah diskalkulia. Melalui dasar pembelajaran yang mengutamakan numerasi sangat diharapkan bisa mengurangi penderita diskalkulia tersebut di kalangan peserta didik.

Diskalkulia sering diartikan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam mengolah informasi matematika, terutama dalam hal aritmatika. Anak penderita diskalkulia biasanya ditandai dengan lemahnya kemampuan terkait beberapa hal seperti: memory, visual-spatial, serta resoning and logical thinking.

Dalam hal memori, anak dengan diskalkulia seringkali mengalami kesulitan dalam hal memahami simbol-simbol matematika dan cara mengoperasikannya. Dalam hal visual-spatial anak dengan diskalkulia akan kesulitan untuk membedakan dan mengingat bentuk angka serta mengartikannya. Dalam hal logika dan penalaran anak diskalkulia merasa bingung ketika dihadapkan pada penghitungan yang mudah, seperti hitung mundur misalnya, atau memahami orientasi waktu, seperti mengartikan kata “kemarin,” “besok,” “lusa,” dan sebagainya, juga kesulitan memahami bentuk benda. Kesulitan-kesulitan yang dialami penderita diskalkulia tersebut berbanding lurus dengan kemampuan berhitung yang rendah. Meskipun memiliki kemampuan berhitung yang rendah, namun hal ini tidak bisa dijadikan indikator bahwa penderita diskalkulia memilki tingkat IQ yang juga rendah.

Dalam kehidupan sehari-hari, ketika berbelanja atau merencanakan liburan, meminjam uang dari bank untuk memulai usaha atau membangun rumah, semuanya membutuhkan numerasi. Dalam kehidupan bermasyarakat, kita perlu memahami informasi-informasi, misalnya mengenai kesehatan dan kebersihan. Dalam kehidupan bernegara, informasi mengenai ekonomi dan politik tidak dapat dihindari. Semua informasi tersebut biasanya dinyatakan dalam bentuk numerik atau grafik. Untuk membuat keputusan yang tepat, mau tidak mau kita harus bisa memahami numerasi. Adanya penekanan belajar pada tiga unsur tersebut di atas sangat diharapkan bisa menjadi solusi alternatif bagi para penderita diskalkulia di negeri ini.

Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi diskalkulia dengan melakukan remedial atau mengulang kembali pemahaman atau pelajaran tentang angka dan simbol-simbolnya, dengan metode belajar yang lebih baik daripada sebelumnya. Cara lain mengatasinya dengan melakukan konseling ke psikolog, terutama saat anak sudah dalam tahap stres karena nilai matematikanya selalu jelek, dan anak mengalami buli karena nilai matematikanya yang jelek. Hal ini tentu tidak boleh dibiarkan tetapi harus segera dicari penyelesaiannya. Namun dengan sedikit kemauan dan perjuangan berlatih numerasi sederhana secara rutin akan membebaskan siswa dari penyakit tersebut. Sebagaimana kita ketahui perhitungan dalam segala hal memang sangat diperlukan guna mendapatkan hasil yang diinginkan.***

Penulis adalah Guru Bidang Studi Bahasa Inggris di SMPN 1 Pasirjambu Kabupaten Bandung.

Respon (182)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *