Ditulis oleh Mang Andi Espe
INI mah dulu, ketika Saya masih remaja. Suatu ketika bersama teman sebaya pernah ngageuhgeuykeun, ngomongin orangtua masing-masing. Kata si teman, bapaknya kalau marah suka berkata, “éngké karasa siah, mun bapa geus euweuh.” Saya dan teman lainnya tertawa sambil mengiyakan. Kalimat itu memang sering diucapkan para orangtua di puncak kemarahan pada anak. Biasanya diucapkan dengan nada datar dan lemah.
Sekarang, setelah bapak tidak ada, Saya baru membenarkan semua marahnya bapak. Saya akhirya tahu, ternyata banyak langkah bapak untuk Saya, yang tidak Saya ketahui sebelumnya. Hidup bapak terasa begitu besar, begitu berarti, justru di saat bapak sudah tidak ada. Lucunya, sekarang Saya juga acapkali ingin menggunakan kalimat itu, ketika kemarahan Saya pada anak memuncak. Tapi, malu. Ah …
Suatu ketika, Saya membaca novel Masa Bergolak-nya MA. Salmun. Dikisahkan si tokoh cerita sedang menggali kuburan senapan. Dia menemukan surat dari bapaknya, yang berisi sejumlah wasiat untuk para tetangganya. Si tokoh merenung, membenarkan pepatah karuhun, leutik ringkang gedé bugang. Dia membayangkan jika dulu bapaknya tidak ada, entah bagaimana nasib dia dan tetangganya. Tapi dulu dia tidak tahu apa yang dilakukan bapaknya itu. Dia baru tahu ringkang bapaknya yang begitu besar, setelah sang bapak tidak ada, sudah menjadi bugang. Ooh ….
Di lain kesempatan, Saya membaca arsip surat kabar Sipatahunan yang terbit 1938. Salahsatu beritanya mengecam tingkah tiga orang Belanda yang meninggalkan pembantunya yang sakit di tengah hutan, tanpa bekal dan pelindung. Untung ada yang menemukan sebelum orang itu mati. Disebutkan oleh si penulis, tingkah si Belanda biadab itu bertolak belakang dengan mental pribumi Sunda yang sangat menjunjung hidup, menghargai nyawa siapapun. Untung, kata si penulis, Urang Sunda mah masih berpegang pada pepatah karuhun, leutik ringkang gedé bugang. Walau kehidupan seseorang itu rendah tak bernilai, tetap saja nyawanya atau hidupnya harus dihargai.
Iya … Untung kita mah, punya karuhun yang banyak mewariskan kearifan. Warisan yang kadang dipandang tidak bermutu, lalu dilupakan hingga menghilang. Ah … Untung saja persediaan warisannya cukup banyak.
Kearifan yang diwariskan karuhun mah biasanya sederhana, tidak ada bau-bau ilmiahnya. Tapi dampak dan manfaatnya akan terlihat dan terasa sangat besar jika dilenyepan dan ditapakuran. Contohnya, pepatah, manusa mah leutik ringkang gedé bugang tadi téa. Kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia mah, jadi, manusia itu kecil kiprah besar jenazah. Tapi itu mah kan terjemahannya, bukan arti atau tafsirnya.
Kalau maksudnya mah kurang lebih begini; Jika seseorang masih hidup, kiprahnya yang terlihatnya oleh orang lain hanya sebegini. Tapi, jika orang itu sudah mati, kiprah yang hanya sebegini teh akan terlihat membesar jadi sebegitu. Malah banyak kiprah-kiprah lainnya, yang sebelumnya tersembunyi, tiba-tiba saja bermunculan setelah orang itu menjadi janazah. Ya begitulah … Ringkang yang terlihat orang lain mah, hanyalah ringkang semu, bukan ringkang yang sebenarnya.
Tiba-tiba saja hidup seseorang akan terasa lebih penting setelah dia menjadi bugang. Padahal ketika dia masih rumingkang di alam dunya, masih menghirup nafas, sering dianggap leutik ringkang. Hanya dipandang sebagai kelas si itu si éta yang ringkangnya dianggap tidak berpangaruh bagi siapapun.
Karena manusia itu leutik ringkang gedé bugang téa, maka para karuhun mewanti-wanti agar jangan sekali-sekali meremehkan hidup orang lain. Nyawa siapapun, bahkan nyawa musuh sekalipun harus dihargai. Mungkin saja ringkang seseorangtidak begitu berpengaruh bagi si ituh, tapi sangat berarti bagi si inih.
Nyawa perlu dihargai. Apa artinya manusia jika dia sudah jadi bugang. Sebesar apapun kisah tentang kebesaran si bugang itu, dia tetap saja bugang. Tentu jauh lebih berguna jika dia masih hidup, sekecil apapun ringkangnya.
Tapi maaf …! Ini bukan berarti kita boleh merendahkan jenazah. Pepatah karuhun ini mah hanya membandingkan nilai guna manusia, sebelum dan sesudah menjadi jenazah.
Intinya mah pepatah ini téh, menganjurkan pada anak cucu agar jangan sampai menyesal karena tidak menghargai hidup. Hidup itu harus dihargai. Bukan hanya hidup atau nyawa sendiri, tapi juga hidup atau nyawa orang lain. Da lebih jauhnya lagi mah, menghargai hidup téh merupakan upaya mensyukuri modal yang diberikan Tuhan pada manusia. Iya itu, modal nyawa, modal jatah usia. Nyawa itu kan modal besar. Modal untuk meraih keuntungan kelak, setelah manusia menjadi bugang. Dan manusia harus saling bantu menjaga modal itu.
Oh iya … Ini kan bulan Agustus. Bulan yang begitu bermakna bagi kita. Kita tahu, dulu karuhun kita mendirikan suatu kehidupan di bulan ini. Banyak karuhun kita yang kehilangan nyawa, karena ingin nyawa anak-cucu mereka terjaga.
Sekarang mereka sudah menjadi bugang, tapi bugang yang begitu besar dan bermakna. Saya hanya membayangkan, jika bugangnya saja sudah sebesar itu, entah sebesar apa ringkang merekayang sebenarnya. Entah seberapa besar manfaat ringkang mereka, seandainya saja mereka masih hidup hingga sekarang. Ringkang dari generasi yang dianggap masih terbelakang dan belum banyak mengenyam pendidikan. Tapi mampu membangun suatu keadaan agar anak cucunya bisa rumingkang dengan tenang dan m e r d e k a …! ***
Karawang, 8Agustus2021
Mang Andi Espe, penulis, pendongeng, alumni Jurusan Pendidikan Teknik Mesin FPTK IKIP Bandung (UPI).