Oleh Catur Nurrochman Oktavian
SELURUH guru Indonesia baru saja merayakan hari ulang tahunnya yang ke-76. Ucapan tahniah dari berbagai kalangan mulai dari Kepala Negara hingga kalangan masyarakat bawah mengalir sebagai tanda penghormatan pada para guru. Para guru bersuka cita memperingati hari lahirnya organisasi profesi PGRI sebagai rumah besar. Namun gegap gempita dan suka cita tidak dapat dinikmati utuh oleh semua guru. Masih banyak para guru yang memendam asa di balik riuhnya euforia perayaan hari jadi mereka. Salah satunya guru-guru yang sudah bersertifikat pendidik dari Satuan Pendidikan Kerjasama (SPK).
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dan Permendikbud Nomor 31 tahun 2014 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan oleh Lembaga Pendidikan Asing dengan Lembaga Pendidikan di Indonesia bahwa pendidikan bertaraf internasional adalah pendidikan yang diselenggarakan setelah memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan standar pendidikan negara maju. Sekolah SPK merupakan sekolah yang menyelenggarakan pendidikan kerja sama dengan kurikulum internasional untuk memajukan pendidikan nasional. Pada penerapannya, sekolah SPK pun memperkaya proses pendidikan yang mendukung pendidikan nasional, dengan mengadakan mata pelajaran Agama, Bahasa Indonesia, dan PPKn. Dalam penilaian delapan standar nasional pendidikan (SNP), sekolah SPK pun memperoleh nilai A.
Sudah hampir dua tahun ini, guru-guru sekolah SPK dihentikan penyaluran Tunjangan Profesi Guru (TPG) dengan terbitnya Peraturan Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Persekjen Kemendikbud Ristek) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Penyaluran Tunjangan Profesi dan Tunjangan Khusus bagi Guru Non Pegawai Negeri Sipil. Persekjen Kemdikbud Ristek ini merupakan pengganti dari Persekjen Kemdikbud Nomor 6 Tahun 2020. Pasal 6 Ayat (b) mengecualikan pemberian tunjangan profesi kepada guru non-PNS yang menjalankan tugas di SPK. Sekitar 400-an guru terdampak kebijakan ini yang dihentikan haknya mendapatkan TPG sejak 2019.
Kebijakan ini dipandang para guru SPK merupakan diskriminasi atau pembedaan perlakuan terhadap guru bukan Pegawai Negeri Sipil (Non-PNS). Ada beberapa catatan kritis yang disoroti dalam beleid Kemendikbud Ristek terhadap guru-guru SPK ini.
Pertama, sesuai Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Guru SPK sebagai guru Non-PNS merupakan tenaga pendidik yang berkualifikasi sebagai guru dan tenaga profesional yang menjalankan tugas pada jenjang pendidikan usia dini, dasar, dan menengah.
Kedua, TPG merupakan implementasi dari UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan PP Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, Perdirjen GTK Nomor 5745/B.B1.3/HK/2019 tentang Petunjuk Teknis Penyaluran Tunjangan Profesi dan Tunjangan Khusus Guru Bukan Pegawai Negeri Sipil bahwa Guru Non-PNS yang memiliki sertifikat pendidik berhak memperoleh TPG.
Sebanyak 421 guru SPK sudah mengikuti program sertifikasi guru dalam jabatan dan memiliki sertifikat pendidik sebagai bukti formal pengakuan guru sebagai profesi. Atas pengakuan formal negara terhadap profesi pendidik itu, maka diberikanlah Tunjangan Profesi sebagai penghargaan negara terhadap profesionalitas dalam menjalankan tugas. Dengan memiliki sertifikat pendidik, maka para guru SPK berhak memperoleh tunjangan profesi sesuai anggaran yang ditetapkan pemerintah. Mereka secara formal sudah mengikuti ketentuan dan mengikuti proses yang dipersyaratkan dalam memperoleh sertifikat pendidik.
Kata “pengecualian” pada beleid yang dikeluarkan Sekjen Kemendikbud Ristek nyata menuai polemik di kalangan guru SPK hampir selama dua tahun ini. Walaupun sudah berkali-kali para guru SPK mempertanyakan hal ini melalui berbagai jalur komunikasi sesuai konstitusi, dan di media cetak maupun online, namun faktanya pengambil kebijakan tetap bergeming. Pengecualian pemberian tunjangan profesi guru bagi guru SPK yang didasarkan penilaian lima prinsip (efisien, efektif, transparan, akuntabel, dan manfaat) pun tidak pernah teruraikan secara spesifik dalam penjelasan maupun lampiran peraturan tersebut.
Sungguh ironis, di balik meriahnya perayaan Hari Guru Nasional terselip noktah diskriminasi terhadap guru-guru SPK. Para guru SPK ini tidak menuntut terlampau banyak dan berlebihan. Mereka hanya memperjuangkan kemerdekaan hak TPG mereka yang sudah lama dihentikan. Entah sampai kapan asa mereka itu terpenuhi. Perjuangan para guru SPK mendapatkan kembali hak mereka nampaknya masih panjang. Yang jelas, guru-guru SPK sebagai anak bangsa berhak untuk merdeka dalam mendapatkan haknya di negeri mereka sendiri. ***
Penulis adalah Ketua Departemen Penelitian dan Pengabdian Masyarakat PB PGRI.