Dampak “Omnibus Law” pada Dunia Pendidikan

FOTO LITERASI 17
(Ilustrasi: Warta Prima)

Oleh Agus Nurjaman, S.Pd.

DITETAPKANNYA UU Omnibus law oleh DPR RI beberapa hari lalu masih menyisakan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Isu ini merebak mulai kalangan politisi, akademisi, juga para praktisi ikut berbicara tentang apa yang akan terjadi jika UU yang masih mengundang polemik ini tetap dijalankan. Sedangkan secara sederhana pengertian dari Omnibus law adalah gabungan atau kompilasi dari beberapa aturan yang sudah pasti tentunya akan menyentuh dunia Pendidikan. Rasanya tidak masalah jika aturan itu berpihak pada sistem pengelolaan Pendidikan sehingga berdampak pada ketercapaian tujuan Pendidikan itu sendiri. Akan tetapi jika aturan itu justru akan memperburuk preseden Pendidikan itu sendiri harus segera direvisi dan dipikirkan ulang. Jangan sampai maksud baik berbuah keburukan.

Padahal, klaster pendidikan dan kebudayaan sebelumnya dijanjikan pemerintah dan DPR dihapus, karena dinilai bertentangan dengan esensi pendidikan. Sebagaimana kita mengacu pada UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), untuk mendirikan pendidikan formal dan nonformal dibutuhkan izin dari pemerintah pusat atau daerah. Kemudian, pada Pasal 62 menyebut untuk mendapat izin, pendiri harus memenuhi beberapa syarat.

‘Syarat-syarat untuk memperoleh izin meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidikan dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan,’ demikian tertulis pada Ayat (1) Pasal 62 UU Sisdiknas tersebut.

Pada saat draf final UU Cipta Kerja beredar tak lama setelah diketok palu pada petang tersebut, pasal pendidikan masih tertulis nyata pada Paragraf ke 12. Hal tersebut pun membuat praktisi dan pemerhati pendidikan kebingungan. Dikutip dari sebuah pernyataan Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru yaitu Satriwan Salim: “Masih bertahannya pasal yang akan menjadi payung hukum kapitalisasi pendidikan di atas, menjadi bukti bahwa anggota DPR sedang melakukan sebuah lelucon terhadap dunia pendidikan termasuk pegiat pendidikan,”

Bukan hanya dari kalangan praktisi pendidikan, di kalangan DPR pun terjadi kebingungan mengenai masuknya pasal pendidikan dalam Omnibus law UU Ciptaker yang sebelumnya sudah disepakati untuk dihapus. Aturan terkait pendidikan yang diatur pada Paragraf 12 sendiri hanya satu, yakni pada Pasal 65 paragraf 12. Yang diatur terkait perizinan pada sektor pendidikan yang dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha.

‘Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini,’ tulis Ayat (1) pada pasal dalam draf Omnibus Law Ciptaker yang telah disahkan jadi Undang-Undang tersebut.

‘Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah,’ lanjut Ayat (2).

Sementara itu, Pasal 1 UU Cipta Kerja menjelaskan Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. Jika demikian maka akan muncul rasa kekhawatiran dari penggunaan Perizinan Berusaha itu bakal memungkinkan komersialisasi pendidikan. Sebagaimana kita ketahui bahwa sekolah bukanlah pabrik atau perusahaan yang mengutamakan keuntungan seperti halnya bisnis. Sedangkan kalau sudah memiliki komersialisasi maka tidak akan tertutup kemungkinan hasilnya akan dihitung untung ruginya. Menilik hal demikian, maka sama saja membolehkan Pendidikan dijadikan sebagai komoditas perdagangan. Terus lama kelamaan bisa saja berubah menjadi pasar bebas. Pada akhirnya tujuan Pendidikan yang tercantum dalam Undang-Undang menjadi bias dan jauh panggang dari api.

Mengacu pada UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), untuk mendirikan pendidikan formal dan nonformal dibutuhkan izin dari pemerintah pusat atau daerah. Kemudian, pada Pasal 62 menyebut untuk mendapat izin, pendiri harus memenuhi beberapa syarat. Tentu saja ini menjadi syarat demi kualitas hasil Pendidikan nantinya. Dan semua persyaratan itu mutlak harus dipenuhi. Bukan sebuah penawaran yang tidak ada pengecualiannya. “Syarat-syarat untuk memperoleh izin meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidikan dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan” demikian tertulis pada Ayat (1) Pasal 62 UU Sisdiknas tersebut. Jika ketentuan ini dilanggar, pendiri dapat dikenakan sanksi pidana dengan penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1 miliar.

Perubahan pada Pasal 8 dan Pasal 45 UU Nomor 14 Tahun 2005 memungkinkan instansi pendidikan tidak mewajibkan guru dan dosen dari negara lain memiliki sertifikat pendidikan jika ingin mengajar di Indonesia. Namun masih diwajibkan bagi guru dan dosen dari dalam negeri. “Sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak wajib dimiliki oleh guru yang berasal dari lulusan perguruan tinggi lembaga negara lain yang terakreditasi” tulis Pasal 8 ayat (2) pada draf RUU Omnibus law kala itu. Pada aturan sebelumnya seluruh guru dan dosen wajib memiliki sertifikat pendidik, kompetensi, kualifikasi akademik, serta sehat jasmani dan rohani. Draf RUU Omnibus law juga sempat berwacana menghapus kewajiban kampus asing memprioritaskan dosen dan tenaga pendidik asal Indonesia. Itu mengubah pasal pada UU Dikti. Selanjutnya omnibus law Ciptaker menghapus ketentuan pidana untuk setiap orang yang melakukan pemalsuan atau penipuan ijazah, sertifikat kompetensi, maupun gelar akademik. Ini sebelumnya diatur pada Pasal 67 ayat (1) UU Sisdiknas, “di mana tiap orang, organisasi atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik tanpa hak, akan dipidana penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda maksimal Rp 1 miliar”

Jika hal ini benar-benar tejadi maka disinyalir akan banyak ijazah, sertifikat dan lain-lain palsu yang beredar, secara tidak langsung hal tersebut sama saja menjadi legalitas melakukan tindakan kecurangan. Masalah itulah mungkin yang menyebabkan beberapa praktisi akademisi menjadi gundah. Pada akhirnya menjadi sebuah polemik di kalangan masyarakat luas. Semua pihak yang sangat memperhatikan kondisi pendidikan dipastikan akan bergejolak jika keputusan Omnibus law yang masih mencantumkan aturan pendidikan yang sangat tidak sesuai dengan hati nurani masyarakat. Sekolah merupakan tempat yang netral dari berbagai pengaruh seperti ekonomi dan politik. Sekolah bukanlah sebuah pabrik yang memproduksi manusia secara komersial. Tetapi merupakan wahana penentuan karakter bangsa yang senantiasa memelihara tata krama dan norma dalam kehidupan sosial serta selalu menjunjung nilai budaya ketimuran.***

Penulis adalah Guru Bahasa Inggris SMP Negeri 1 Pasirjambu Kabupaten Bandung