Sinergitas dengan Alam di Masa Pandemi Covid dalam Konteks Falsafah Tri Hita Karana (2, Bersambung)

FOTO ARTIKEL 53
(Foto trihitakaranabali.org)

Oleh Ni Putu Sri Jayanti Warma Dewi

BALI sendiri memiliki banyak kebudayaan, adat-istiadat serta tradisi yang berkembang di masyarakat. Dalam pandemi Covid-19, masyarakat Bali memiliki tradisi sendiri dalam memutus rantai penyebaran virus ini. Budaya dan tradisi yang diwariskan oleh leluhur tetap ajeg sampai saat ini sehingga tradisi maupun adat istiadat yang berlaku di Bali nantinya akan menjadi sebuah tradisi yang unik dan menarik.

Kita melihat bahwa banyak ditemukan di wilayah Indonesia termasuk juga Bali, warisan atau peninggalan budaya masa lampau tersebut, yang banyak berasal dari warisan Bali kuno dan menjadi salah salah satu cara hidup sekelompok masyarakat yang masih tradisional dan menjadi sesuatu hal yang sangat menarik untuk diketahui, tidak hanya bagi wisatawan, bahkan juga bagi warga lokal. Sehingga warisan inilah yang menjadi daya tarik wisatawan domestik dan wisatawan mancanegara berkunjung ke pulau Bali.

Sejumlah tradisi unik yang dipentaskan dan disuguhkan menjadi sebuah atraksi dan sebagai suguhan bagi wisatawan yang melakukan perjalanan liburan ke pulau Bali. Budaya serta tradisi tersebut masih ajeg (berdiri dengan kokoh) dan berkembang, ini dikarenakan masyarakat tetap melestarikan sampai saat ini. Tradisi, adat-istiadat, serta budaya yang ada di Bali ini sangat berkaitan dengan keyakinan masyarakat tentang proses ritual atau prosesi yang terbungkus dalam sebuah tradisi.

Keyakinan masyarakat akan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat pada sebuah desa pekraman (unit pemerintahan yang dikelola oleh masyarakat adat dan mempunyai hak untuk mengurus wilayah [hak ulayat]). di Bali, berdasarkan keyakinan masyarakat setempat, seperti keyakinan akan terjadi musibah jika tradisi atau ritual tersebut tidak dilakukan, atau karena berhubungan dengan keyakinan beragama untuk penghormatan kepada Tuhan ataupun pada leluhur, sehingga menjadi sebuah budaya bagi masyarakat di pulau Bali. Sama seperti halnya dengan kebudayaan yang sempat mengalami degadrasi harus perlu dibangkitkan lagi agar budaya tersebut tidak hilang ditelan bumi. Sehingga generasi penerus dapat melihat betapa kayanya Indonesia terutama Bali yang memiliki banyak tradisi, adat-istiadat serta ritual agama yang akan mereka jaga nantinya.

Menurut kepercayan masyarakat Bali dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini, banyak ritual atau upacara yang dilakukan, seperti halnya masyarakat Bali membuat penangkal menggunakan daun pandan berduri ditusuk yang dilengkapi dengan benang tridatu (merah, putih dan hitam), pamor (kapur sirih), jinah bolong (uang kepeng), bawang dan cabai tersebut diletakkan di pekarangan rumah. Konon katanya hal tersebut mampu menghindari hal negatif yang memasuki pekarangan rumah. Karena bahan-bahan yang digunakan sarat akan manfaat dan makna dimana bawang sendiri berfungsi sebagai penangkal virus atau bakteri, kemudian kesuna (bawang putih), cabai, mesui, pandan, benang tridatu menyelesaikan secara sekala maupun niskala.

Secara sekala virus dilemahkan oleh bawang putih yang memiliki zat antioksidan, kemudian cabai dan mesui sebagai kekuatan Dewa Brahma yang bersifat panas akan membakar virus dan bakteri. Pandan berfungsi sebagai tameng atau garda untuk menangkal kekuatan black magic (ilmu hitam). Selanjutnya benang tridatu sebagai niasa kekuatan tiga dewa (Brahma, Wisnu, Siwa) yang berfungsi mengembalikan ke asalnya agar virus ini segera hilang dan masyarakat dapat beraktifitas secara normal. Pembuatan pandan berduri ini berdasarkan atas pawisik dari berbunyinya kulkul Pajenengan di Puri Klungkung yang dikabarkan mesuara (besuara) yakni pada pukul 03.00 pagi waktu Indonesia Bagian Tengah yang bertepatan dengan hari raya umat Hindu yaitu hari raya Nyepi.

Di samping itu masyarakat Bali selain membuat sarana dari daun pandan berduri, masyarakat Hindu di Bali juga melaksanakan rangkaian upacara nunas ica (meminta permohonan kepada Tuhan agar diberi keselamatan untuk terhindar dari virus corona ini), sebagai bentuk upaya niskala (Gaib) pencegahan Covid-19. Seluruh desa adat di Bali harus melaksanakan dan meminta kepada Ida Bhatara Sasuhunan untuk keharmonisan alam, krama serta budaya Bali. Salah satu di antaranya adalah haturan (persembahan) yang dibuat oleh krama adat Bali adalah segehan wong-wongan (ritual masyarakat Hindu di Bali yang memiliki bentuk beraneka ragam, sesuai keperluannya)atau dengan kata lainnasi yang ditata dalam bentuk manusia.

Segehan ini dilengkapi dengan ulam (daging), bawang, jahe serta garam dan diletakkan atau ditata di atas daun pisang tentunya mengikuti ketentuan yang dikeluarkan oleh Dinas Pemajuan Masyarakat Adat Pemerintah Provinsi Bali sesuai dengan hasil pertemuan lembaga Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali yang menekankan kepada masyarakat Hindu di Bali pada Kamis (2/4/2020) agar secara serentak melakukan ritual tersebut di depan rumah (lebuh umah).***

Penulis adalah guru di SMA N 1 Kuta Selatan, Bali.