Cerpen Aliurridha
INI adalah kali ketiga aku menengok jam tanganku. Lumayan lama Kifler meninggalkanku. Katanya mau ke belakang sebentar, tapi ini sudah dua puluh menit berlalu. Aku takut dia kena masalah. Anak itu, tanpa mabuk pun, terkenal suka ribut. Sedikit saja ada yang tidak mengenakkan hatinya, dia akan menantang siapa pun untuk berkelahi. Apalagi dengan suasana hati yang terluka seperti ini.
Mungkinkah dia tersesat? Tidak mungkin. Bar ini tidak begitu besar. Apalagi dia diantar oleh Melisa, pemandu suara, yang menemani kami. Karena takut terjadi apa-apa, aku menyusulnya ke belakang. Dan di pintu toilet itu, di bawah lampu redup yang setiap beberapa detik sekali mati, kulihat dia sedang berpagutan dengan Melisa. Mungkin karena lampu bar terlampau redup, mungkin juga karena pengaruh long island dan beberapa botol bir hitam yang diteguknya, dia dengan begitu galaknya mencumbu wanita yang baru beberapa menit dikenalnya. Bau amoniak, bercampur muntahan para pemabuk tak juga mengganggunya, bibirnya terus saja berdansa dengan bibir Melisa.
Hampir satu menit aku tak berkedip menatapi mereka. Kemudian dengan rasa dongkol di hati kutinggalkan keduanya. Aku benar-benar tak habis pikir dengan kawanku ini. Beberapa menit yang lalu dia adalah pria patah hati yang ingin melampiaskan kekecewaannya atas hubungan yang kandas, mencari-cari sedikit kesenangan di sebuah bar tua. Kini dia tidak lagi mencari sedikit kesenangan, tapi benar-benar tenggelam di dalamnya.
Dua hari yang lalu Kifler datang ke rumahku dengan wajah sembap. Matanya merah dan terlihat sedikit bengkak. Hal itu membuatku bertanya-tanya, mungkinkah lelaki keras hati ini menangis? Rasanya tidak mungkin. Mengingat sifatnya itu, pastilah matanya baru saja kelilipan sesuatu. Namun, aku merasa perlu untuk bertanya padanya.
“Kamu habis menangis?”
“Tidak. Tadi kelilipan debu di jalan.”
Ternyata benar dia baru menangis. Aku telah menciptakan suatu metode untuk mengetahui keadaan hati sahabatku ini. Aku akan bertanya sesuatu yang dalam pikiranku telah kusiapkan jawabannya, dan jika dia menjawab persis seperti yang kupikirkan, yang benar adalah sebaliknya. Aku telah menguji hipotesis ini berkali-kali, dan hasilnya terverifikasi.
“Kamu kenapa?” tanyaku begitu menyadari ada sesuatu yang salah darinya.
“Kamu tahu Nandya?” ia bertanya balik.
Aku mengangguk. Aku telah mendengar akhir-akhir ini dia sedang dekat dengan seorang janda beranak satu yang juga adalah kakak tingkat kami di kampus.
“Saya ketahuan sama pacar saya.”
“Terus kamu diputusin?”
Kifler mengangguk, dan wajahnya terlihat sedih.
“Ah, paling besok juga nyambung lagi,” hiburku.
“Saya nggak akan balikan,” katanya tegas.
Kifler bercerita bahwa dia baru saja disidang oleh keluarga pacarnya. Keluarga pacarnya memperlakukan seperti seorang kriminal. Seluruh anggota keluarga pacarnya berkumpul hanya untuk memojokkannya.
“Pulangi sudah anak saya daripada kamu selingkuhin dia sama janda,” kata ibu pacarnya.
Kifler tersinggung. Setiap mendengar kata janda, ia selalu teringat ibunya.
“Padahal belum juga nikah, sudah disuruh pulang,” kataku menghiburnya.
Kifler tertawa, dan kami pun berdua tertawa.
Kifler kembali dengan senyum menghias bibirnya. Tanpa ragu, tangannya merangkul pinggang Melisa. Langkah terlihat agak sempoyongan. Kurasa dia benar-benar sudah mabuk. Malam itu kami seperti kena sihir, botol-botol kosong tanpa kami sadari memenuhi meja kami. Melisa benar-benar pandai membuat kami menambah botol demi botol, padahal kami sama sekali bukan peminum, dan kami bahkan baru kali pertama datang ke bar.
***
“Nanti malam kita ke sana lagi,” ajak Kifler.
Aku menolak. Uangku menipis, dan uang dia bahkan sudah habis.
“Ayolah! Pinjam dulu di orang tuamu. Aku benar-benar ingin bertemu Melisa. Mungkin aku jatuh cinta,” kata Kifler merajuk.
Aku tertawa. Kifler tidak ikut tertawa. Wajahnya kaku. Tampaknya dia benar-benar serius dengan apa yang baru dikatakannya.
“Bagaimana dengan Nandya?” kataku berusaha mengalihkan pembicaraan. “Kamu sampai putus dengan pacarmu karena dia.”
“Saya sama Nandya cuma teman. Kamu tahu, waktu kita ke Kuta. Dia menyuapi saya seperti ini.”
Kifler mereka ulang adegan yang membuat perutku geli. Nandya menyuapinya seperti seorang ibu yang sedang menyuapi anaknya makan. Saat Nandya menyuapi Kifler, tangan satunya menjaga jika ada nasi yang tumpah dari mulut Kifler.
“Saya akui ada getaran waktu bersama Nandya, ternyata setelah saya pikir-pikir itu karena sosok keibuannya. Di luar itu, saya tidak merasakan yang lainnya. Tapi, dengan Melisa beda lagi.”
Aku akui Melisa memang menarik. Dia asyik diajak ngobrol. Tapi, aku tidak habis pikir dengan Kifler. Bisa-bisanya dia, dengan mudahnya, mengatakan jatuh cinta pada wanita yang baru juga dikenalnya. Aku menolak untuk percaya, tapi aku tak bisa menolak permintaan sahabatku ini.
Malam itu kami kembali ke bar tua untuk minum dan karaokean dengan Melisa.
Belum lama kami open table, Kifler sudah meminta Melisa mencarikan satu temannya untukku. Rupanya dia benar-benar ingin berdua saja dengan Melisa. Mungkin juga dia sudah merasa bahwa Melisa adalah miliknya seorang. Aku katakan padanya bahwa aku tak punya uang untuk memberi tip pada pemandu suara lain. Dia malah mengambil dompetku, membukanya, melihat sekilas dalam remang lampu, dan dengan santainya berkata, “Ini cukup kok.”
Lalu datanglah Halma, duduk di sebelahku. Wanita ini terlihat jauh lebih seksi dari Melisa. Badannya terlihat begitu indah. Tapi, Halma tidak seperti Melisa yang enak diajak ngobrol. Melisa benar-benar tidak memberi kesan wanita malam. Wawasannya sangat luas. Kami berdua sampai terpukau setiap mendengarnya bicara. Banyak sekali hal yang dia ketahui, tidak kami ketahui. Ia terlihat sangat berpendidikan. Halma, agak berkebalikan dengan Melisa, dia lebih pendiam. Jika dia bicara, aku malah dibuat tidak nyaman. Tidak ada yang membuatku ingin menoleh padanya, selain sesekali mengintip belahan dadanya yang terlihat begitu indah seperti mahakarya agung.
Kifler kembali meminta Melisa mengantarnya ke toilet.
“Bukannya kamu sudah tahu toilet di mana?” kataku di telinganya.
Suara berdebum musik membuat kami harus mendekati telinga lawan ketika berbicara.
Kifler berkata, “Biar kamu bisa senang-senang.”
Aku tahu itu hanya alasannya. Di otakku, sudah terbayang adegan demi adegan yang mungkin terjadi di sana.
Malam itu kami pulang lebih mabuk dari kemarin.
***
Selang beberapa menit HP Kifler tidak henti berbunyi. Pesan demi pesan masuk ke HP-nya. Dengan terburu-buru dia membalas setiap pesan yang masuk. Senyum tersungging di bibirnya. Saat itu kupikir dia sudah balikan dengan mantannya, karena seperti itulah wajahnya di masa-masa awal ia berkenalan dengan wanita itu.
Ketika aku menanyakannya, dia mengatakan bahwa dia tidak mau lagi berhubungan dengan perempuan posesif itu.
“Saya sudah dapat penggantinya,” katanya bangga.
Kuakui ada sedikit rasa cemburu di dada begitu aku mengetahui dia bertukar pesan dengan Melisa. Kifler, beberapa kali, mengajak Melisa ketemuan di luar bar. Tapi, Melisa selalu menolaknya dan mengajaknya kembali ke bar tua itu lagi. Dia lagi-lagi memintaku meminjam uang agar bisa kembali minum-minum dengan Melisa. Aku tak bisa membantunya, uangku sudah habis. Uang yang kupinjam dari orang tuaku juga sudah habis. Kifler tidak menyerah dan mencari pinjaman sana-sini. Malam itu dia kembali ke bar itu. Sendirian.
Hubungan Kifler dan Melisa semakin dekat. Melisa kemudian bercerita padanya, yang juga diceritakan ulang oleh Kifler padaku, bahwa Melisa sebenarnya dijebak untuk bekerja di bar itu. Melisa dijanjikan sebuah pekerjaan sebagai pelayan oleh temannya di salah satu restoran di pulau kecil tempatku tinggal ini. Tergoda oleh bujuk rayu bisa bekerja di sebuah pulau eksotis yang sedang naik daun sebagai destinasi wisata, Melisa langsung setuju. Ia tidak menyangka kalau ia harus menjadi pemandu suara di sebuah bar tua tempat kami bertemu dengannya. Dari Melisa juga Kifler tahu bahwa banyak perempuan seperti dirinya, dijebak, ditawarkan pekerjaan sebagai pelayan di sebuah restoran, tapi malah menjadi pemandu suara atau bahkan lebih buruk lagi.
“Dia mau diajak keluar.” Kifler berteriak girang. “Aku akan menyatakan perasaanku kali ini. Aku akan mengajaknya serius.”
“Kamu yakin? Coba kenal lebih dekat dulu,” saranku padanya. Tapi, apa yang kukatakan tidak sampai di telinganya. Menasihati orang yang sedang jatuh cinta memang perbuatan sia-sia.
Pulang berkencan, Kifler langsung ke tempatku. Kuduga dia ingin memamerkan cerita-cerita yang akan membuat telingaku panas. Namun aku merasa aneh, kenapa wajah Kifler tidak secerah kemarin?
“Kamu kenapa?” tanyaku.
“Mungkin karena lampu bar terlampau redup, mungkin juga karena saya terlalu mabuk,” kata Kifler menjelaskan.
Bukannya menjelaskan, jawaban Kifler membuatku semakin bingung.
“Saya tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Mungkin ini bisa lebih menjelaskan,” kata Kifler sambil memperlihatkan sebuah akun Facebook padaku. Akun Facebook itu milik Melisa. Rupanya Kifler mencari tahu akun Facebook Melisa setelah melihat wajahnya dengan begitu jelas di bawah terang sinar matahari.
“Dia bahkan sudah lulus SMA sebelum saya lahir,” kata Kifler lesu.
Mendadak perutku geli. Aku ingin tertawa. Untung aku masih bisa menahan diri. ***
Sandik, Januari 2021
(Jawa Pos, 04 Desember 2021)
***
Aliurridha, penerjemah dan pengajar TOEFL. Menulis esai, opini, dan cerpen. Aktif bergiat dalam komunitas Akarpohon.
Sumber: Ruangsastra.com