BUDAYA  

Cerpen Undangan Makan Malam

Karya Rudianto

FOTO SASTRA 9
Ilustrasi, (Foto: Istimewa).

SENJA itu istri dan anak-anakku merajuk, meminta agar aku mau berkunjung ke kampung halamanku untuk menemui ibuku. Iya, ibu kandungku.

“Kalian masuk dulu ke kamar!” kataku kepada ketiga anakku.

Mereka anak yang soleh dan penurut. Segera mereka meninggalkan kami berdua, aku dengan istriku.

“Kamu ngerti, ga? Aku ini cape baru pulang kerja! Urusan nengok orang tua ko harus melibatkan anak-anak untuk berdemo? Sepenting apa sih?” kataku agak membentak istriku.

“Kita sudah lama tidak menengok ibu, Mas.” istriku perlahan sambil menunduk.

“Iya, aku tahu itu. Tapi pekerjaan di kantor sedang membutuhkan aku. Ke kampung nanti saja kalau lebaran.” kataku lagi agak keras.

“ Lebaran tahun kemarin kita juga tidak menengok ibu. Mas menghadiri open house kolega bisnis.” Istriku mulai terisak sambil menunduk.

“Sudahlah jangan bahas itu lagi! Aku cape!” kataku sambil meninggalkan istriku di ruang tengah.


Seminggu, sebulan, bahkan beberapa bulan berlalu. Aku lupa dengan permintaan istri dan anak-anakku. Pekerjaanku di kantor sebagai manajer memang membutuhkan perhatian ekstra. Sebagai karyawan yang berpendidikan S2 Manajemen dari penguruan tinggi bergengsi memang telah mengantarkan aku berkarir bagus di kantor. S2 adalah satu-satunya warisan orang tuaku sebelum bapa meninggal.

Selama ini tidak ada apa-apa dengan ibuku di kampung. Dia baik-baik saja. Dia sehat dan bahagia mengurusi ayam dan ikan di kolam. Kebutuhannya sudah terpenuhi oleh uang pensiunan Bapak. Sementara aku punya kesibukan yang lebih penting di sini.

Hari-hari kulalui dengan kesibukan mengurusi pekerjaan demi anak-anakku dan keluargaku. Iya demi masa depan keluargaku.

Sampai suatu hari aku ditugaskan oleh perusahaan untuk survay lokasi pengembangan perusahaan yang tidak jauh lokasinya dari tempat tinggal ibuku. Karena waktunya cukup lama, aku diberikan fasilitas hotel dan dibolehkan membawa keluarga. Kebetulan anak-anak sedang libur sekolah.

Kami pun berangkat menggunakan trasfortasi yang difasilitasi oleh perusahaan. Tidak terasa lama perjalanan dengan fasilitas nomor satu.

Menjelang ashar kami sudah sampai di hotel. Agak terkejut juga aku, setibanya di hotel. Ternyata di kota kecil yang tadak terlalu jauh dari kampungku, kini ada hotel yang cukup mewah dan berkelas. Ah! Aku memang sudah lama tidak punya waktu untuk mengitari kampungku dan sekitarnya. Kalau aku pulang lebaran paling hanya dua atau tiga hari. Bahkan sering berangkat malam lebaran, setelah solat duhur di hari raya Idul Fitri sudah kembali lagi ke kotaku.

Tidak menunggu lama kami sudah menempati kamar termewah di hotel tersebut. Sebetulnya, tidur di hotel bukan hal istimewa bagiku. Kami diberikan dua kamar. Satu kamar untukku dan istri. Satu lagi untuk anak-anak. Kebetulan ketiga anakku lelaki semua.

“Mas, bolehkah kalau malam ini ibu dijemput untuk ke sini?” istriku berbicara ragu-ragu.

Aku yang sudah rebahan di tempat tidur, kembali duduk. Aku menatap istriku. Dia menunduk semakin dalam.

“Emang kamu mau menjemput ibu? Aku cape sekali.” kataku. Aku pindah duduk di sofa sambil menyalakan TV.

“Boleh, Mas? Aku dan Ibay yang akan jemput.” istriku girang menatapku.

Ibay adalah anak sulungku.

“Terus ibu mau disuruh tidur di mana?” tanyaku sambil menikmati kopi yang sudah dibuatkan oleh istriku.

“Sama anak-anak juga mau, bahkan pasti seneng.” istriku tampak berbinar.

Lewat magrib istri dan anakku baru kembali ke hotel. Mereka sudah biasa ke luar rumah pulang pada malam hari, jadi aku tidak mencemaskannya.

“Kasih tahu anak-anak, nanti jam 7 kita siap! Kita makan malam di luar. Katanya ada rumah makan enak tidak jauh dari sini.” kataku saat istriku masuk ke kamar.

“Ibu diajak, kan, Mas?” tanya istriku menunggu jawaban.

“Boleh.” Kataku singkat.

“Siap, komandan!” istriku centil.

Aku senang dengan situasi seperti ini. Istriku dan anak-anakku tampak bahagia dan menikmatinya. Inilah kepuasan dalam hidupku.

Tepat pukul 19.00 aku dan istriku meninggalkan kamar menuju mobil yang disediakan perusahaan. Aku lihat anak-anak dan seorang ibu tua sudah menunggu di mobil. Iya ibu tua, dia ibuku, ibu kandungku. Semakin dekat, tampak anak-anakku bermanja-manja kepada neneknya. Mereka tampak bahagia sekali. Ibuku tampak berbinar wajahnya. Mereka tidak menyadari kami datang.

“Ayo kita berangkat!” kataku mengagetkan semuanya.

“Siap!” serempak anak-anak menjawab.

“Anakku.” Ibuku menghampiriku.

“Ibu, sehat?” tanyaku.

Wajah ibuku berbinar, berkaca-kaca. Dia menghampiriku. Memegang pundakku. Mengusapnya berkali-kali.

“Ya, Alloh, berikanlah kesehatan dan keberkahan kepada anakku yang saleh ini!” ibuku berucap sambil berkaca-kaca, ada bulir bening di kelopak matanya. Kata itulah yang selalu terucap dari mulutnya seingatku sejak aku kecil.

Aku menjadi kaku. Ibuku masih menganggapku anak kecil.

“Iya, Bu. Ayo kita berangkat!” kataku lagi.

Mobil meluncur meninggalkan hotel. Tidak terlalu lama, mobil sampai di rumah makan yang sederhana, tapi terasa nyaman.

Kami menempati sebuah meja yang cukup lebar. Aku duduk bersebelahan dengan istriku. Ibuku duduk di depanku diapit oleh anak-anakku. Mereka tampak dekat sekali dengan neneknya. Ibuku tampak bahagia sekali.

“Mas, mau pesan apa?” tanya istriku sambil menyodorkan daftar menu.

“Kau saja yang tentukan!” kataku.

“Ibu mau makan apa?” tanya istriku kepada ibuku sambil menyerahkan buku daftar menu yang diterima oleh Iam, anakku yang kedua.

“Ada apa saja?” tanya ibuku.

Sepontan Iam membacakannya satu persatu.

Tiba-tiba ingatanku beralih ke Bapak yang sudah tiada. Aku teringat ketika sekali-kalinya Bapak mengajak kami, aku dan ibuku, makan di sebuah rumah makan. Aku teringat, ibuku membacakan daftar menu untukku karena aku belum bisa membaca saat itu. Bahkan ibuku membacakan sambil menjelaskan makanan tersebut satu-persatu. Iya, ibuku yang kini ada di depanku.

Ibu dengan kasihnya memilihkan makanan yang pasti kusukai. Bahkan ibuku yang menyuapiku makan saat itu dengan kasih sayang. Sementara dia makan setelah aku kenyang.

Iya, dia ibuku yang kini ada di depanku yang selalu memperlakukanku dengan lembut.

Iya, dia ibuku yang selalu menenangkanku ketika aku berkelahi dengan kawanku.

Iya, dia ibuku yang selalu melindungiku ketika aku dimarahi Bapak.

“Ayah ke kamar kecil dulu.” Kataku sambil pergi.

Ada bulir jernih menghalangi pandanganku. Aku tidak mau terlihat meneteskan air mata oleh istriku, anak-anakku, dan ibuku. Meskipun sebenarnya baju ibuku sering basah oleh air mataku ketika aku kalah bermain dengan kawanku.

Aku agak lama di kamar mandi untuk menenangkan emosi.

“Maafkan aku ibu!” aku berteriak di dalam hati.

“Kau begitu baik kepadaku. Maafkan aku karena aku jarang membahagiakanmu.” Bisikku kepada cermin.

Aku kembali ke meja makan. Ternyata semua makanan sudah terhidang.

“Ayo kita makan!” kataku.

Segera aku berdiri. Kuambil piring ibukku. Aku ambilkan makanan kesuakaan dia. Aku masih ingat semuanya ketika aku kecil.

“Ibu makan yang banyak, ya, biar sehat!” kataku sambil menyodorkan piring kepadanya.

Aku lihat ibu menangis. Aku ambilkan segelas air untuk ibu. Tetiba semuanya diam, bengong. Segera aku kembali duduk.

“Mas!” istriku lirih sambil memeluk tangan kiriku erat sekali. Ada bulir jernih di sudut matanya.

“Ayo kita makan!” kataku agak keras sambil senyum memecahkan keheningan.

Karena memang sangat lapar, kami semua mulai menyantap yang tersaji. Aku lihat ibu, dia tampak sangat bahagia.

Lama ibu terdiam, menyaksikan kami makan. Aku tersadar.

“Kenapa berhenti, Bu? Ayo makan yang banyak!” kataku kepada ibu. Semua berhenti makan, melihat kepada ibu.

“De (panggilan sayang ibu kepadaku), terima kasih, ibu sudah diajak makan bersama. Ibu bahagia sekali. Selama ini ibu selalu makan sendiri. Kini melihat kalian makan, ibu bahagia sekali.” kata ibu berkaca-kaca.

“Kalau ibu suka, nanti kita makan bersama lagi.” kataku sambil menatap ibu lalu menatap istriku. Istriku mengangguk.

“Ibu setuju! Tapi ibu yang menentukan waktu dan tempatnya. Ibu yang bayar. ” Kata ibu yakin.

“Siaaaaap!” anak-anakku kompak sambil tertawa riang.

“Nomor teleponmu tidak ganti, kan? Nanti ibu suruh Sumi mengabari waktu dan tempatnya.” Kata ibu. Sumi adalah saudara yang sering membantu ibu.

Sementara mataku kembali berkaca-kaca. Aku berpikir, saking inginnya makan bersama, ibu yang akan mentraktir kami.

Selama tiga hari tugas, akhirnya aku bolak-balik ke hotel dan ke rumah ibu. Ibu hanya malam pertama di hotel dan dia bilang tidak bisa tidur. Dia bilang lebih enak tidur di rumah. Aku sempatkan setiap hari untuk menemui ibu.

Aku kembali dekat dengan ibu. Memoriku kemabali ke masa lalu. Ibu sangat mengasihiku.

Tugasku sudah selesai. Sebelum pulang ke kota, aku kembali mampir ke rumah ibuku. Kami pamit. Aku salami, dan aku cium tangan ibuku, kebiasaan yang sudah lama aku tinggalkan. Ibuku memelukku sambil menangis. Ribuan, bahkan jutaan doa keluar dari mulut ibuku dengan ikhlas. Inilah sebenarnya yang sudah membuat aku sukses seperti sekarang. Aku tidak kuasa menahan tangis.

Akhirnya aku kembali ke kota dan kembali berakhtivitas.

Dua minggu berselang, aku, istriku, dan anakku yang nomor dua dan tiga, Iam dan Bon, kembali menemui ibuku di akhir pekan. Tentu saja ibuku kaget. Aku bawakan makanan kesukaan ibu dan beberapa potong baju dan mukena. Ibu menerimanya sambil menangis.

Aku kembali ke kota. Di rumah dan di tempat kerja, kini aku sering teringat ibu. Namun tiga minggu aku tidak bisa pulang menengok ibu. Perusahaanku, pada akhir tahun selalu sibuk dengan pekerjaan. Aku merencanakan akan menengok ibu pada awal tahun, minggu pertama.

Hari menunjukkan pukul 11.45. Aku bersegera menuju ke masjid untuk salat jumat. Seharian ini aku di kantor sementara istriku berbelanja karena rencananya besok kami akan menengok ibu.

Selepas solat jumat, aku segera ke kantor untuk menuntaskan pekerjaan agar bisa pulang lebih cepat. Kutengok handphon. Ada beberapa kali panggilan tak terjawab dari nomor tidak dikenal. Aku coba telepon balik. Belum sempat aku telepon, teleponku bergetar. Aku kaget. Segera aku angkat telepon.

“A Ade, Ibu meninggal………” aku tidak mendengar suara berikutnya.

Dunia serasa terbalik. Siang berubah menjadi gelap. Kantor yang mulai ramai serasa hening. Entah. Tepat pada hari Jumat, 3 Januari 2020, ibu meninggal dunia.

Sebulan lebih aku masih tidak terima kenyataan ini. Istriku yang telah membantu aku segera bangkit dari keterpurukan. Akhirnya aku menjalani rutinitas bekerja. Namun kini aku sering meneteskan air mata bila terkenang ibu. Aku sibukkan dengan pekerjaan untuk mengobati kepiluanku. Akhirnya aku bisa.


Setelah hampir tiga bulan ibu meninggal, HP-ku berdering dari orang yang tidak dikenal. Kebiasaanku kalau nomor tidak dikenal, aku tidak akan angkat. Telepon berbunyi sampai tiga kali dari nomor yang sama. Akhirnya aku angkat.

“Halo! Selamat siang! Ini dengan Pak Anto?” dari balik sana.

“Betul. Ada apa, ya?” tanyaku malas.

“Mohon maaf, Pak. Bapak sekeluarga, sebanyak lima orang, mendapat undangan makan malam pada hari Sabtu tanggal 18 April 2020 pukul 19.30 di hotel Patra cabang Semarang.” kata si penelepon.

“Undangan dari siapa? Ko jauh sekali? Saya tinggal di Cirebon, Mas. Kami tidak mungkin ke sana. Apalagi sekarang sedang Pandemi Covid 19.” kataku agak kesal.

“Undangan istimewa, Pak. Kalau Bapak berkenan, makan malamnya bisa dipindahkan ke hotel Patra Cirebon. Waktunya tetap. Bagaimana, Pak?” si penelepon menawarkan.

“Saya akan ngobrol dulu dengan keluarga.” kataku.

“Baiklah, Pak. Besok siang saya menelepon lagi. Terima kasih banyak, Pak.” kata si penelepon.

Aku pulang agak sore. Setelah agak santai, aku sampaikan dengan malas tentang undangan makan malam tersebut kepada istriku dan anak-anakku. Tentu saja anak-anakku kegirangan. Istriku menyarankan hadir saja, barangkali undangan dari kolega bisnis. Aku pikir benar juga.

Sesuai jadwal, Sabtu, 18 April 2020, pukul 19.45 (agak terlambat) kami sampai di hotel Patra Cirebon. Kami menuju ke restoran. Kami diarahkan ke meja super VIP.

“Wah ini pasti undangan dari rekan bisnis.” pikirku.

“Mana yang mengundang kami? Belum datang?” tanya saya kepada salah seorang yang melayani kami.

“Katanya beliau tidak datang.” kata pelayan.

Saya bingung. Begitu juga istriku dan anak-anak.

“Sebenarnya ini undangan dari siapa?” istriku kini bertanya.

Pelayan menyodorkan sebuah kertas. Selembar nota pemesanan.

Di bawah nota tersebut tertulis nama pemesan : SUWATI. Iya, Suwati. Dia ibuku.

Tiba-tiba dunia menjadi beku.***

Cerita ini diadaptasi dari cerita inspirasi yang dibacakan di Radio Republik Indonesia pada 25 Mei 2020.

Rudianto, Pengawas SMP Disdik Kabupaten Cirebon.