“The revolution is the dictatorship of the exploited against the exploiters”. Fidel Castro
Ungkapan di atas seolah membenarkan anggapan sebagian kalangan bahwa revolusi yang digagas dan diperjuangkan Fidel Castro di Kuba dengan menggulingkan diktator militer Fulgencio Batista telah melahirkan diktatorisme baru.
Gelombang kebangkitan rakyat Kuba yang dipicu kolektivitas kesadaran akan penderitaan dan ketertindasan mereka oleh tangan-tangan rezim militer Batista disimpulkan dalam sebuah perjuangan yang dipimpin Fidel dan bermuara pada kemenangan revolusi.
Kemenangan ini adalah awal dibangunnya sistem masyarakat baru yang dicita-citakan dan jelas bertentangan dengan rezim menindas sebelumnya. Sistem itu dibangun di atas sebuah landasan yang sebelumnya berhasil menggerakan rakyat menumbangkan rezim diktator, yaitu kesadaran akan ketertindasan mereka. Ya, semangat anti-penindasan dan kesadaran itu harus hidup selama bangunan negara baru berdiri.
Dari sini logikanya terbangun bahwa demi menjaga keberlangsungan kesadaran dan semangat anti-penindasan atau sering diistilahkan “melindungi revolusi” maka diambil beberapa kebijakan yang kemudian dituding berbau diktatorisme. Jika diperhatikan di beberapa negara komunis seperti Kuba, dianut sistem satu partai politik.
Hanya satu partai politik berkuasa yang diizinkan, kalaupun ada yang lain itu tidak boleh keluar dari garis merah yang sudah ditetapkan negara terutama dari sisi ideologi. Mengapa, semata-mata demi menjaga dan melindungi revolusi, tapi sangat berisiko melahirkan diktatorisme baru.
Joseph Schumpeter tahun (1976) dalam bukunya “Capitalism, Socialism, and Democracy” mendefinisikan partai politik sebagai, “… is a group whose members propose to act in concert in the competitive struggle for power…” maka partai-partai itu jika di negara seperti Kuba, bekerja merebut kekuasaan sepanjang koridor yang tidak mengancam keberlangsungan revolusi.
Di negara lain pun ternyata demikian, demi menjaga bangunan ideologi negara, asas organisasi di Indonesia sempat dipaksakan asas tunggal Pancasila. Di Iran yang katanya menganut demokrasi agama, partai-partai politik banyak, hanya berasas kurang lebih sama, tidak boleh keluar dari yang sudah ditentukan konstitusi negara.
Semua semata-mata agar kesadaran yang terkolektivitas sejak awal sehingga bisa menumbangkan diktator tetap terjaga. Di sisi lain dalih ini bisa menjadi guillotine yang siap kapan saja memutus segala sesuatu yang dianggap membahayakan fondasi bangunan negara. Maka selalunya negara-negara yang mengklaim menerapkan demokrasi dihadapkan pada dilema kebebasan atau pembatasan kebebasan. Bebas sepanjang tidak mengganggu “keutuhan negara”, itu ukurannya.
Berkaca dari Fidel Castro yang dituding menjadi diktator baru oleh Barat, kita mencoba mencari alternatif apakah ada cara yang lain yang bisa digunakan untuk “melindungi revolusi” atau “menjaga fondasi negara” yang paling sedikit berpotensi menciptakan diktatorisme baru tentunya.
Tidak seperti di tempat lain, di Barat Fidel dituduh sebagai tiran yang berkuasa selama lima dekade di Kuba dan memerintah dengan tangan besi, dan menginjak-injak hak rakyatnya, dan setelah kematiannya, rakyat Kuba dapat melihat masa depan demokrasi yang lebih cerah.
Memang pasca-tumbangnya Uni Soviet dan terpecah menjadi beberapa negara, Kuba di bawah Fidel Castro mengalami krisis ekonomi akut atau situasi yang disebut Castro sebagai “periode istimewa”. Di negara yang ciri sistem ekonomi sosialis sangat kentara ini, sekarang sekitar 80 persen tenaga kerja bekerja di sektor pemerintah dan 20 persen lainnya di sektor swasta, investasi dibatasi dan harus mendapat pesetujuan pemerintah.
Namun Fidel sendiri mengatakan bahwa sistem perekonomian negara ini harus diubah, yang pasti bukan oleh sistem ekonomi kapitalis Barat yang terbukti gagal atau ekonomi sosialis yang semua serba terpusat di pemerintah.
Lebih dari itu semua yang harus kita perhatikan adalah transformasi Kuba sebagai hasil dari revolusi yang dipimpin Fidel Castro. Harus diakui terdapat sejumlah banyak prestasi yang berhasil diraih negara ini pasca-revolusi, di antaranya,
Kuba, menurut data UNICEF adalah satu-satunya negara di Amerika Latin yang tidak memiliki anak-anak kekurangan gizi. Menurut UNICEF juga, Kuba adalah negara satu-satunya di Amerika dengan tingkat kematian anak terendah. Sekolah-sekolah kedokteran di Kuba berhasil menghasilkan 130.000 lulusan sejak tahun 1961.
Penyedia data statistik Knoema menyebut Kuba sebagai negara yang berhasil menghapus tunawisma. 54 persen anggaran nasional Kuba digunakan untuk pelayanan sosial. Di Amerika Latin sistem pendidikan terbaik adalah milik Kuba. Kuba mengirim ratusan dokter dan perawat untuk misi kesehatan ke 158 negara dunia. Badan Kesehatan Dunia, WHO mengumumkan bahwa Kuba adalah satu-satunya negara yang sukses menghapus penularan virus HIV Aids dari ibu ke anak.
Stasiun televisi Telesur juga merilis data kesuksesan yang dicapai Kuba pasca-revolusi, di antaranya, negara pertama yang menandatangani dan negara kedua yang meratifikasi konvensi menentang diskriminasi terhadap perempuan. Kuba, kata TV berbahasa Spanyol itu, adalah negara yang berhasil memproduksi vaksin Meningitis-B pada tahun 1985, kemudian memproduksi vaksin untuk Hepatitis-B dan demam berdarah.
Kuba adalah negara yang menerapkan pelayanan kesehatan gratis, 99 persen penduduknya bebas dari buta huruf dan pada tahun 2014 dinyatakan sebagai negara yang berhasil menekan tingkat pengangguran sampai 2,7 persen.
Jelas ada kaitan signifikan antara semua prestasi yang diraih Kuba itu pasca-revolusi dengan kesetiaan rakyatnya “melindungi revolusi” tanpa perlu melahirkan diktatorisme baru atau membuka kemungkinan-kemungkinan untuk itu. Karena rakyat menyaksikan dengan mata kepala sendiri dan menikmati hasil-hasil revolusi, sulit rasanya untuk berkhianat atau merusaknya.
Maka negara yang sebelum revolusi 26 Juli dikenal sebagai negara diktatorial, satu rezim digulingkan rezim baru seperti juga rezim Fulgencio Batista yang naik tahta setelah menggulingkan rezim sebelumnya, Gerardo Machado, setelah kedatangan Fidel Castro dengan segudang prestasinya pasca-revolusi tidak bisa lagi disebut diktator.
Fidel bukanlah diktator ia hanya melawan neo-imperialisme dan neo-kolonialisme Barat, ia melawan gurita kapitalisme dunia di saat komunisme runtuh pada tahun 1991, Fidel berkata, “Capitalism has neither the capacity, nor the morality, nor the ethics to solve the problems of poverty,” (The Guardian, 26 November 2016). Sikap Fidel itu mendapat penentangan keras dari kubu imperialisme dunia terlebih Amerika Serikat yang kemudian memperketat sanksi ekonomi atas Kuba.
Ia dimusuhi dan dituduh diktator karena sampai akhir hayatnya bertekad melanjutkan revolusi sehingga identitas baru Kuba hingga detik ini masih diterima rakyatnya. Berlanjutnya revolusi ala Fidel adalah peningkatan kesejahteraan rakyat yang berhasil diraihnya dan dapat disaksikan dari indikator-indikator di atas.
Kesejahteraan rakyat adalah bukti yang harus ditunjukkan untuk menjamin terlindunginya revolusi dan tetap berdiri kokohnya fondasi negara, tanpa harus melahirkan diktatorisme baru dengan dalih menjaga keberlangsungan hidup revolusi. Kemandirian dan berdikari memang pilihan yang harus dibayar mahal, termasuk risiko pembunuhan karakter dan dikucilkan dari pergaulan dunia, namun tetaplah tegak melawan, karena tak mau didikte asing adalah hak kita yang mesti diperjuangkan. ***
Herry Supryono, pemerhati masalah sosial-politik.