Balijani Festival: Sarat Nilai Sastra Religi

FOTO ARTIKEL 16
Erwan Juhara, (Foto: Dok. Pribadi).

Oleh Erwan Juhara

Kuta! Di sini, di pantaimu, cintaku kerlip kemerlap
bersama Ganggang kumang-kumang.
Di sini, di meja makan restoran dan losmen
cintaku bagai kandil gemerlap yang tiba-tiba mati
dihembus angin laut

Syair liris di atas, dikutip dari bu­ku Gerson Poyk yang berjudul Di Bawah Matahari Bali yang sempat disinetronkan itu. Siapa saja memang bisa segera jatuh cinta kepada Bali, kepada Kuta yang berpantai dan berpasir lembut itu. Bali memang negeri “wisata”, negeri “para dewa”. Bali bahkan memang mempunyai nama besar dibanding Indonesia sendiri sebagai induk se­mangnya di dunia pariwisata.

Selain keindahan Bali dan Kuta secara kasat mata, Bali juga sebenarnya mempunyai keindahan lain yang jadi sumber kekayaan Bali se­cara Imprehensif sebagai negeri “wisata” dan negeri “dewa-dewa”. Keindahan itu bisa kita jelajahi pada wilayah Seni dan Sastra Bali yang tergambar secara audio atau visual lewat tarian, nyanyian, tulisan/buku, cerita, bahkan upacara ritual.

Pengejawantahan Bali sebagai sebuah kehidupan seni budaya diujudkan dalam Festival Seni Bali yang tahun 2022 ini (9-23 Oktober di Taman Budaya Propinsi Bali) memasuki tahun keempat, dalam titel “Balijani Festival IV”. Tema FSBJ 2022 adalah “Air sebagai Kehidupan” merunut topik Sang Ranu; Hulu Amreta: Mengalir Jernih; Merawat Adab; Mewujudkan Visi; Nangun sat kerthi loka Bali dalam judul acara “Jaladhara Sasmita Danu Kerthi” berisi pusparagam seni berupa Adilango/pergelaran; Utsawa/parade; Pawimba/lomba;Timbang rasa/Sarasehan; Megarupa/pameran; Aguron-guron/lokakarya; Beranda Pusaka/bursa buku; Pameran Kartun.

Bali memang negeri para dewa di mana pengaruh Hindu terpancar kuat pada segala aspek seni-sastra di mas­yarakat, bahkan pada bentuk bangu­nan rumah yang khas berbau Bali. Sebagaimana halnya sejarah se­luruh pertumbuhan agama di dunia ini, sejak permulaannya, sastra memang sangat penting peranannya sebagai media agama dalam penye­baran ajarannya pada kehidupan manusia. Itu terjadi karena keduanya (sastra dan agama) memiliki per­samaan fundamental, yakni nilai-­nilai persamaan luhur. Keduanya juga sering dijiwai oleh alam meta­fisik yang terjadi secara berbareng­an. Sehingga tak heran kalau mas­yarakat awam sering mengaburkan dan mencampuradukan nilai-nilai perasaan yang luhur itu sebagai sas­tra agama atau agama sastra. Hal itu tergambar dalam kegiatan Adilango dan Pameran FSBJ IV 2022.

Pada seni-sastra Bali, nyanyian adalah bentuk sastra yang paling mula dijadikan alat oleh manusia dalam mengekspresikan jiwa religi. Nyanyian yang dijadikan alat ek­spresi bagi manusia Bali adalah jalan menuju agama sebagai keyaki­nan manusia Bali yang sangat be­ralasan karena eratnya bentuk seni sastra tersebut dengan kehidupan beragama, karena di dalamnya ter­kandung media suara dan irama se­bagai media konkretnya. Itu merupa dalam Adilango dan Timbang Rasa FSBJ IV 2022.

Menjalani kehidupan di Bali yang identik dengan dunia tradisi baik sastra dan religi, nyanyian yang memiliki media penting suara dan irama sebagai jembatan utama kepada kehidupan berketuhanan diyakini dapat membawa manusia kepa­da suasana khusus yang magis dan khusuk. Suasana seperti itu tentu saja menjadi faktor penting pada setiap kehidupan religius dan ritual.

Nyanyian Para Resi yang kemu­dian dikenal sebagai Rig Weda adalah bentuk sastra yang kemudian diketahui turut mendasari lahirnya agama Hindu di dunia karena ada­nya keyakinan bahwa nyanyian para resi itu dijiwai oleh tenaga alam metafisik (the breath of god).

Tenaga alam metafisik (the breath of god) tersebut misalnya bisa kita nikmati pada bait pertama tembang basur yang berbunyi,

“Pakulan Hyang Kawiswara, Miwah Sang Hyang Saraswati, Tembe hyang ngawe gita, Wong abian liu mengutus, Minta gita tetangisan, Dewa Aji Lesiang titiang cantula”

Tembang Basur memberi inspira­si manusia memohon kepada Tuhan lewat ujud Saraswati agar tak menemui kendala dalam kehidupan. De­wa Aji, Lasia titiang tan cantula (Oh Tuhan, semoga hamba tidak mendapat hambatan)”.

Seorang seniman di Bali, Ny­oman Tusthi Edhi, meyakini semua itu dan lebih lanjut menjelaskan bahwa nyanyian sebagai bentuk sastra, yang paling awal dalam kehi­dupan religius manusia diperkuat kutipan dari The World’s Great Re­ligion yang berbunyi, “Thousand of years ago before Moses or Budha or Christ had lived, sages stood on India’s river banks and sang. Their song, Hindu’s say, were inspired “by the breath of god”, Out of these chants there were more than 15.000 stanzas in the sarlist collection. Known as the rig Weda and out of the wisdom and spiritually of the sages since, has grown the religion known as Hinduism”. Itu akan digambarkan dalam kegiatan Megarupa dan Aguron-guron FSBJ IV 2022.

Eratnya hubungan seni sastra di Bali dengan kehidupan beragama tampak dalam kitab suci Dharma­pada yang di dalamnya pula ter­himpun kelompok-kelompuk vagga (syair) ajaran suci Sang Budha.

Kehidupan seni sastra menjadi bagian penting yang langsung ber­adaptasi dalam agama Hindu dan Budha yang tampak pada bacaan dan ajaran pada seluruh isi Rig We­da dan Dharmapada pada setiap langkah kehidupan masyarakat Bali. Pada nyanyian sebagai bagian dari seni sastra religi masyarakat Bali hampir selalu hadir pada setiap up­acara-upacara ritual, terutama upacara ritual agama Hindu Bali. Nyayian khusus dan suci pada agama Hindu Bali kemudian dikenal isti­lahnya sebagai “vargasari”. Vargasari kemudian menjadi sakral seba­gai nyanyian khusus yang isinya bersifat menunjang makna upacara yang dilaksanakan secara bertahap di setiap Pura. Vargasari sebagai seni sastra Bali mempunyai nilai yang begitu suci pada kehidupan dan ajaran religi di Bali sehingga se­lalu diajarkan berbarengan dari ge­nerasi ke generasi. Itu juga akan digambarkan dalam kegiatan Megarupa dan Aguron-guron FSBJ IV 2022

Kesusastraan Bali klasik yang juga mengenal puisi “Kekawin” atau “Wirama” yang di dalamnya ba­nyak mengandung ajaran-ajaran moral religius menjadi bagian dari ajaran beragama pula di Bali, terutama segi-segi praktisnya dalam men­jadi kehidupan bermasyarakat dan beragama, maka di Bali lahir konvensi masyarakat bahwa jika ma­nusia akan mendalami ajaran religi, manusia itu harus berawal dari “Ke­kawin” karena sebelum manusia jauh memasuki alam religi sebaik­nya manusia membenahi dirinya sendiri, membina sikap, dan pandangan religiusnya. Hal ini berarti bagi masyarakat Bali, karya sastra demikian penting fungsinya sebagai media praktis ajaran kehidupan bermasyarakat dan bergama.

Nilai nyanyian sastra di Bali yang memiliki makna dalam setiap perkembangannya dan dipandang ting­gi sehingga tidak bisa dianggap sebagai sastra belaka semakin mengidentikan sastra bukan saja sebagai me­dia religi tetapi sudah menjadi bagi­an religi, halnya nyanyian para resi pada Rig Weda atau Vagga-Vagga dalam Dharma Fadda di bawah ini, “Purusa evedem sarvam, yad bhu­tam yac ca bhav yam, uta mrtatvasyesano, yadan nena tirohati.

Selain pada syair, pada prosa pun kehidupan sastra yang religius sa­ngat besar pengaruhnya di masyarakat Hindu Bali. Misalnya, pada ce­rita/kisah-Watugunung dan Lubda­ka, memberi keyakinan yang kuat bagi masyarakat Bali untuk meng­ikuti perilaku Lubdaka yang melek (tidak tidur) sehari penuh agar dosa­-dosanya diampuni para dewa dan sembahyang mengimbangi Lubdaka tersebut seharian secara ritual me­nunjuk jalan penebusan dosa yang paling diyakini, Meski banyak jalan menebus dosa bagi masyarakat Bali perilaku cerita Ludaka adalah peri­laku yang paling banyak diajarkan dan dilakukan sebagaimana halnya mereka melakukan upacara “Pitra Yadnya” (Upacara Ngaben) yang merupakan satu bentuk upacara penghormatan pada keluarga yang meninggal dengan jalan dibakar un­tuk mengembalikan jasadnya ke un­sur asalnya. Sehingga di dalam reali­tasnya, sastra kemudian bukan saja sebagai media dan bagian dari agama, tetapi sudah menjadi penggerak atau pendukung kehidupan beraga­ma yang demikian dominan.

Kalau kita mau melongok ke seni tari Bali pun di sana sudah demikian dominan muncul syair-syair dan refleksi ajaran keagaman yang tampak pada kehidupan masyarakat Bali, misalnya kita bisa melihat domina­si kehidupan manusia dan dewa pa­da tari kecak, masyarakat proletar dan borjuis dalam tari Gambuh, bahkan kesan magis dan sakral pada tari Buris yang sering ditampilkan pada upacara Mukur di pantai Sanur, Bali. Itu akan digambarkan dalam kegiatan Utsawa dan Pawimba FSBJ IV 2022.

Sekarang mari kita bertanya, adakah keinginan kita menjaga Bali, pada dimensi religi dan sastra di te­ngah kecemasan masyarakat Bali sendiri akan kehancuran tradisi re­ligi karena desakan modernitas yang kian melindas kehidupan me­reka yang alami dan indah dengan dalih mobilisasi devisa? Demikian pertanyaan trenyuh sang seniman Bali melihat Bali dan bayang-ba­yang langkah “dewa” yang pergi dari Kuta. Ini persoalan sekaligus sempalan untuk memikirkan lebih dalam bagaimana kekuatan kita menjaga tradisi karya-karya daerah sebagai sastra Nusantara yang me­nopang kehidupan sastra Indonesia kita. Pada posisi menjaga nilai-nilai luhur tersebut Balijani Festival IV 2022 hadir menandai dinamika budaya Bali.

Sebab di dalam kehidupan seni dan sas­tra mereka banyak terkandung keindahan tentang Bali sebagai negeri Para “dewa”. Sebagaimana halnya Leo Kristi begitu cinta dan rindu ­lewat syairnya tentang Bali dalam link, “Nikah lari Kertagosa, Rama­yana KLK 290590”: “Nemucapa nemucapa rindikum­ba, suasuvu topeduta, suasuvu ti­peduta, iyo yo kamo, simaiina ma­rinemo, siapa. bilang tidak kurindu juga terapi jauh, kurindu juga tetapi jauh… “

***

Biodata Penulis/Pengarang

Erwan Juhara, lahir di Bandung 5 Januari 1968.  Pernah Studi di FPBS IKIP Bandung dan Fasa PPS Unpad Bandung. Dia Menulis Puisi, Cerpen, Artikel, Esai, Buku, dll. Pernah bekerja sebagai jurnalis dan editor di beberapa penerbitan/penerbit di Jakarta, Bandung, Jogjakarta serta ghostwriter beberapa pejabat/tokoh di Indonesia. Kini menjadi Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMAN 10 Bandung dan Dosen MKU Bahasa Indonesia dan MKU Sejarah Kebudayaan Indonesia Akademi Bahasa Asing (ABA) Internasional Bandung, setelah sebelumnya menjadi Guru di SMAN 1 Maja dan SMAN 1 Sukahaji-Kabupaten Majalengka dan Dosen di Universitas Andalas (Unand) Padang. Kini tinggal di Jalan Sukapura 79- B Gang Anggrek RT 01 RW 02 Kiaracondong-Bandung 40285  dan Jalan Sukapura, Kampung Lemah Hegar No. 4 RT 06 RW 04 Gang Mesjid Fathurrohman Kiaracondong Bandung 40285 Jawa Barat  Hp. 08122305043, 089628414580 (WA) Email: garudaj88 @gmail.com