‘Bandung Dalam Prangko’, Ungkapan Cinta Seorang Penulis untuk Kotanya

Oleh Mahpudi

BANDUNG DALAM PRANGKO
(Foto: Istimewa)

SETIAP orang punya cara masing-masing mengungkapkan cinta kepada tempat tinggalnya. Ada yang menggubah lagu, menuliskan sebuah puisi, atau melukisnya di atas kanvas. Ada pula yang merawat kebersihan kota dengan memunguti sampah yang berserakan sepanjang jalan. Yang lain membanggakannya lewat foto –foto selfie di sejumlah sudut indah yang bertebaran, atau mengunjungi tempat-tempat bersejarah, maupun sekadar menikmati kuliner khas kota itu. Bagaimana dengan saya?

Sejak tahun 1984 saya masuk ke Bandung sebagai anak desa yang ingin melanjutkan pendidikan di IKIP Bandung, kemudian Universitas Padjadjaran, dan lanjut ke ITB. Dan sejak itu pula saya tak pernah jauh-jauh meninggalkan kota nan indah dan berhawa sejuk di ketinggian antara 675-1050 mdpl ini. Kota seluas 167,31 km2 dan bependuduk 2,5 juta jiwa saat ini menjadi ibukota Provinsi Jawa Barat. Kotanya berbentuk seperti mangkuk raksasa, dengan gunung-gemunung menjadi dinding-dinding pelindungnya. Sebagian besar penduduk mendiami dataran rendah di dasar mangkuk raksasa itu, namun dalam perkembangannya mereka juga sudah mulai memadati dinding mangkuk, terutama di wilayah Bandung utara.

Karena saya hanya bisa menulis, maka saya mengungkapkan cinta saya kepada kota Bandung dengan menulis buku. Ya, ini buku bukan sembarang buku, tapi buku tentang sebuah kota dilihat dari prangko-prangko terkait yang pernah diterbitkan. Jadilah buku itu saya beri judul: Bandung dalam Prangko.

Apa isinya? Sebagai pengumpul prangko (filatelis) saya sejak lama tertarik dengan prangko-prangko yang berhubungan dengan Bandung. Hingga tahun 2015 saya menemukan tidak kurang dari 67 kopur prangko tentang Bandung, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan jumlah ini, Bandung menduduki peringkat ketiga setelah Jakarta dan Yogyakarta, sebagai kota terbanyak dimuat di atas prangko.

Mengapa Bandung begitu banyak dimuat di atas prangko? Jawabnya, Kantor Pusat PT Pos Indonesia, operator administrasi pos yang ditugasi memproduksi prangko, memang berada di Bandung, tepatnya di Jalan Cilaki 73 atau sisi timur komplek Gedung Sate. Tak heran para perancang prangko yang ditugasi oleh Pos Indonesia tentu saja banyak terinspirasi alam, budaya, peristiwa, maupun kehidupan kota berjuluk Parijs van Java ini.

Sebenarnya selain prangko ada pula benda filateli lainnya yang berkaitan dengan kota Bandung seperti Sampul Hari Pertama, Kartu pos, Stempel/cap pos, hingga amplop surat bercetakan prangko. Tapi saya saya memutuskan hanya menampilkan prangko saja ke dalam buku ini. Sebagian sahabat filatelis saya menyayangkan keputusan saya itu. Tapi saya tak menyesal, bahkan berharap ada orang lain yang melakukan hal yang sama seperti saya tapi menggunakan kartupos, sampul peringatan, atau stempel cap pos. Anda tertarik?

__________

Maka mulailah saya berkreasi. Untuk memudahkan pengerjaannya, prangko- prangko tersebut saya kelompokkan berdasarkan periode pemerintahan, ada prangko-prangko masa Hindia Belanda, Masa Perang Kemerdekaan, Masa Orde Lama, Masa Orde Baru, dan Masa Orde Reformasi. Selain itu, ada satu bagian yang khusus membahas tokoh-tokoh terkait kota Bandung yang pernah ditampilkan di atas prangko.

Meski Bandung pada mulanya adalah wilayah mandiri yang dihuni penduduk asli yang disebut Urang Sunda, namun Bandung sebagai kota justru ditumbuhkembangkan oleh orang-orang Barat (Belanda, Jerman, dan lainnya) yang mengadu nasib membuka lahan-lahan perkebunan pada awal abad ke-19. Jejaknya dapat ditemukan pada sejumlah prangko yang diterbitkan pada masa kolonial itu, seperti prangko cetak tindih tentang Jaarbeurs, pameran dagang tahunan terbesar di Asia kala itu, prangko tentang pergerakan misi Bala Keselamatan, hingga Destinasi wisata Danau/Situ Aksan yang dulu dipromosikan sampai ke seluruh dunia.

Pada masa Perang Kemerdekaan ada sebuah kopur prangko yang mengabadikan momen heroik Peristiwa Bandung Lautan Api (1946). Prangko memperlihatkan api berkobar membubung tinggi dilator depan terlihat bangunan-bangunan kota Bandung.

Pada masa Orde Lama, menampilkan momen bersejarah Konferensi Asia Afrika (1955), Balap sepeda yang pertama kali digelar di Asia, Tour de Java (1958), hingga pesona Gunung Tangkuban Parahu yang eksotik (1961). Ada pula tentang Badak Jawa yang pernah hidup di hutan-hutan sekitar kota Bandung, serta Obervatorium Bosscha di Lembang. Sedangkan pada masa Orde Baru makin banyak prangko yang menampilkan kota Bandung lebih beragam, seperti keberadaan industri pesawat terbang, Gedung Sate yang menjadi landmark kota, hingga cerita rakyat Sangkuriang Pada masa reformasi terdapat prangko tentang museum-museum penting seperti Museum Geologi, Museum Sri Baduga, juga tentang seni wayang golek dan seni angklung. Yang menarik tentu saja prangko peringatan 200 Tahun Kota Bandung. Seri ini bagi saya sungguh istimewa, karena saya pribadi dilibatkan dalam pemilihan landmark kota yang layak ditampilkan.

Pada bagian tokoh, ternyata ada begitu banyak tokoh nasional yang memiliki hubungan erat dengan Bandung yang tampil di atas prangko. Sebut saja Soekarno, Sutan Syahrir, Abdul Moeis, Dewi Sartika, Djuanda, Setiabudhi, Habibie, tanpa terkecuali sejumlah seniman seperti W.R. Supratman, Ismail Mardjuki, Popo Iskandar, Sunaryo, hingga Affandi. Termasuk pula tokoh rekaan yang menjadi ikon Harian Pikiran Rakyat, Mang Ohle.

__________

Setelah prangko-prangko berhasil dikompilasi, maka pekerjaan berikutnya adalah membaca segala informasi tentang tema-tema yang terungkap pada prangko-prangko tersebut. Ini pekerjaan menyenangkan. Selain membaca buku-buku, majalah, juga tulisan-tulisan di internet tentang topik-topik tersebut. Sekali lagi, ini yang hal mengasyikkan. Saya seperti dibawa berkeliling kota Bandung dalam terowongan waktu, maju mundur ke masa silam hingga ke masa datang. Bertemu berbagai tokoh dan karyanya. Mereka-reka bagaimana Abdul Moeis yang diasingkan ke kota Garut menyelesaikan novel Salah Asuhan yang legendaris itu. Atau membayangkan Wage Rudolf Supratman menciptakan lagu Indonesia Raya dari rumahnya di Cimahi. Atau ketika Bung Karno berpidato dengan berapi-api di Gedung Merdeka dalam pembukaan Konferensi Asia Afrika. Tak jarang, saya menyempatkan untuk berjalan mengunjungi tempat-tempat bersejarah dan menarik itu, hanya sekadar mendapatkan suasana atau menangkap nuansa dan memancing inspirasi.

Tentu saja, tidak melulu tentang peristiwa dan tokoh, ada juga tentang bangunan-bangunan indah dan bersejarah seperti Gedung Sate, Gedung Merdeka, Gedung Kampus ITB, Kampus Unpad. Ada pula patung pemain sepakbola karya seniman Nyoman Nuarta di sudut jalan Tamblong sebagai penghormatan atas prestasi klub sepakbola kebanggan bobotoh, Persib. Hal menarik lainnya, prangko tentang Jalan Braga yang klasik dan Jembatan Pasupati yang modern, hingga cerita tentang tiga tanaman yang membentuk kota Bandung, yakni teh, kopi, dan kina. Atau prangko yang menampilkan dua maskot flora dan fauna kota Bandung. Anda tahu?

__________

Demikianlah setelah meraup banyak kisah dan data, pekerjaan yang tak kalah menyenangkan adalah menuliskan kembali informasi tersebut. Satu demi satu tulisan itu berhasil diselesaikan. Butuh waktu setahun untuk menyelesaikannya, tentu selain studi yang memerlukan waktu, saya menuliskan di sela-sela pekerjaan saya sebagai redaktur beberapa majalah di Bandung. Naskah di-cek dan cek ulang agar datanya se-akurat mungkin. Setelah yakin dengan data dan tulisannya, naskah buku tersebut saya serahkan kepada penerbit.

Bersyukur, buku ini diberi pengantar oleh dua tokoh yang saya hormati; Mochammad Ridwan Kamil (sekarang Gubernur Jawa Barat), Walikota Bandung dan Gilarsi W.Setijono, Direktur Utama PT Pos Indonesia kala itu. Buku diluncurkan bertepatan dengan penyelenggaraan World Stamp Exhibition 2017 yang digelar di Bandung pada 3-7 Agustus 2017. Peluncuran yang berlangsung pada Pameran Buku Bandung di Landmark Building itu dihadiri langsung oleh Ketua Perkumpulan Filatelis Indonesia, Letjen TNI (Purn) Soeyono. Beruntungnya lagi, buku setebal 245 halaman itu diganjar medali perunggu untuk kategori Philatelic Literature dalam kompetisi bergengsi ini. Alhamdulillah.

Jadi, setiap orang punya cara masing-masing mengungkapkan cintanya kepada tempat tinggalnya. Bagaimana dengan Anda?***

Mahpudi, penulis buku Bandung Dalam Prangko. Kini mengemban amanah sebagai Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Jawa Barat 2021-2026.