Oleh Drs. Suryatno Suharma
MERDEKA belajar sesuai dengan tanggung jawab semua. Education for all. Tepat waktu untuk menerima realita, ketika pandemi Covid 19.
Belajar kapan dan di mana saja. Guru pun jadi kesempatan untuk semua. Semua harus mengalami mendidik dan mengajar di masa lockdown. Ayah-ibu, kakak, nenek-kakek, dituntut untuk mau dan mampu mendidik. Tanpa harus menolak.
Bukan lagi ruang kelas yang dibatasi empat dinding. Tidak lagi seorang guru mengajar puluhan siswa. Tanpa tawa-tiwi, belajar masa kini penuh dengan pulsa. Butuh listrik, sinyal, dan lainnya. Lalu, cukuplah sabar dan tanggung jawab atas kelangsungan murid belajar?
Semoga, upaya kita sukses mendewasakan warga belajar agar ke depan lebih siap lagi menerima kemajuan. Tanpa keluhan dan ocehan negatif tantangan ini semakin mendesak untuk dihadapi. Jalinan kasih antarkita selalu dinanti, karena sejatinya ilmu itu: bebas dan gratis.
Sekali lagi, wajib mencari ilmu dan wajib menyampaikan ilmu. Tak ewuh pakewuh, memperjualbelikannya. Ilmu itu untuk diamalkan dan tidak dibisniskan.
Tunggu Apa?
Tak harus takut dan juga marah. Anak belajar wajib orang tua mendukungnya. Jika anak macam-macam atau malas, itu jadi bahan evaluasi. Tampaknya ada yang salah dalam operasionalisasi pendidikan. Entah siapa yang salah.
Mungkin, salah satunya, kita kerap salah memandang filosofi sekolah. Tolabul ilmu tak berarti berburu ijazah. Selesai sekolah berburu dollar. Itukah hidup yang tepat? Atau menghamburkan waktu dan didikan sebatas euforia? Prasyarat jabatan dan politik serta kekuasaan?
Hidup itu tak Hitam-Putih seperti itu. Tak pula salah benar. Ada kalanya salah jadi benar atau sebaliknya. Nah, biasanya, karena pengaruh dollar, segalanya menjadi tak jelas. Kesuksesan sebatas dipandang dengan gebyar duniawi materialistis. Mobil mewah, rumah mewah, dan seabrek aksesori lain yang serbawah, jadi ukuran bahwa seseorang pinunjul (menonjol) dibandingkan yang lain.
Mumpung masih pandemi. Bersiaplah meluruskan kurikulum sesuai kebutuhan. Tidak proyek-proyekan. Lebih benar ilmu untuk amal. Bukan sekadar berkoar-koar tentang pentingnya pendidikan, tapi untuk urusan ‘Buanglah sampah pada tempatnya’ saja, sebatas jadi slogan tanpa aplikasi real di lapangan.***
Penulis adalah pensiunan guru SMP Labschool UPI Bandung, kini aktif di Yayasan Atikan Insan Basajan.