Buku Sebagai Jembatan, Perjalanan Hidup Melintasi Batas

Catatan: Didin Tulus

a7c60ebd 30d8 41df 9a4e 53c825756ef4
Ilustrasi "Buku Sebagai Jembatan, Perjalanan Hidup Melintasi Batas". (Foto: Didin Tulus)

HIDUP saya, seperti sebuah buku yang terus terbuka lembar demi lembar. Dari rumah kecil di Malka, yang awalnya terasa sunyi tanpa kehadiran orang tua, saya menemukan jalan untuk menjelajahi dunia melalui buku. Bukan hanya cerita yang saya temukan di dalamnya, tetapi juga pergaulan, pemikiran, dan tokoh-tokoh hebat yang sebelumnya hanya ada dalam bayangan. Saya menyadari bahwa buku bukan sekadar kumpulan kata, melainkan jembatan yang menghubungkan dunia saya yang sederhana dengan dunia luar yang penuh warna.

Saya masih ingat betul masa-masa awal di rumah Malka. Sapardi Djoko Damono adalah nama pertama yang mencuri perhatian saya. Saya mengenalnya bukan melalui langsung, tetapi melalui diskusi buku yang diadakan di sana. Karya-karyanya tentang hujan, cinta, dan keabadian, menjadi semacam pengantar bagi saya untuk mengenal keindahan sastra. Di Bandung dalam diskusi-disksi buku itu pula, saya bertemu dengan Arie Tamba, Kang Maman Suherman, seorang penulis dengan perspektif yang tajam. Kehadiran mereka membuat saya semakin terpesona dengan dunia kata-kata.

Namun, perjalanan saya tidak berhenti di Malka. Ada Ultimus, sebuah toko buku yang memperkenalkan saya pada pemikiran-pemikiran yang lebih tajam dan berani. Di sana, saya bertemu dengan para pengarang kiri yang menggugah cara pandang saya terhadap dunia. Buku-buku mereka membuka mata saya tentang perjuangan, ketidakadilan, dan keberanian menyuarakan kebenaran. Saya mulai melihat bahwa buku tidak hanya untuk menghibur, tetapi juga mengubah.

Pergaulan saya semakin luas saat saya sering nongkrong di toko buku Bacabaca. Di sinilah, secara tak terduga, saya bertemu dengan Andrea Hirata, yang pada waktu itu bukunya belum diterbitkan. Dia hanya seorang lelaki sederhana yang sering datang ke toko untuk berbagi cerita. Dari obrolan kami, saya melihat semangatnya yang begitu besar untuk menulis. Siapa sangka, kelak dia akan menjadi penulis besar dengan karya-karya seperti Laskar Pelangi yang menginspirasi banyak orang.

Kesendirian di rumah membuat saya punya banyak waktu untuk bergaul dengan para pecinta buku. Saya merasa hidup saya, yang mungkin bagi orang lain tampak sepi, justru begitu ramai dengan kehadiran tokoh-tokoh hebat ini. Saya bertemu Andrenaline Katarsis, seorang penulis muda yang penuh gairah; Indra Pray Ana dengan cerpen-cerpen surealisnya; dan Sigit Susanto, seorang penulis yang tinggal jauh di Jerman, namun tetap rajin berbagi cerita tentang petualangannya. Di toko buku Ultimus saya kenal Bilven, Mas Gun’s, Sangdenai, Ujiato, dll. Semua orang ini saya kenal berkat buku, berkat pergaulan di toko-toko buku kecil yang menjadi oasis bagi jiwa-jiwa yang haus akan pengetahuan.

Ajip Rosidi adalah salah satu nama besar lainnya yang saya kenal, namun tidak ujug-ujug begitu saja. Perkenalan saya dengannya melalui proses panjang yang diawali dari membaca karya-karyanya. Dari buku, saya belajar tentang sosoknya yang begitu gigih memajukan sastra Indonesia. Melalui Ajip, saya semakin menyadari bahwa sastra adalah perjalanan panjang, bukan sesuatu yang instan.

Perjalanan saya melalui buku tidak hanya berhenti di Indonesia. Buku juga membawa saya melintasi benua, mengenal pengarang-pengarang dunia seperti James Joyce dari Irlandia dengan Ulysses-nya yang monumental, atau Leo Tolstoy dari Rusia yang mengajarkan saya tentang makna kehidupan melalui War and Peace. Dari Bali, saya mengenal AA Panji Tisna, seorang sastrawan yang karyanya melampaui generasi hingga cucunya.

Malaysia juga menjadi bagian dari perjalanan sastra saya. Saya pertama kali mengenal nama-nama besar seperti Usman Awang dan Ahmad Kamal Abdullah, atau yang lebih dikenal sebagai Dato’ Kemala, melalui karya-karya mereka. Pertemuan saya dengan Dato’ Kemala di Malaysia adalah salah satu momen yang tidak pernah saya lupakan. Berkat undangan SISMI17, saya berkesempatan bertemu langsung dengannya. Ia bukan hanya seorang penyair besar, tetapi juga seorang manusia yang begitu hangat. Beberapa karyanya yang diberikan kepada saya menjadi harta karun yang akan selalu saya simpan dengan bangga.

Dari perjalanan ini, saya belajar bahwa buku tidak pernah hanya sekadar benda mati. Ia adalah teman, guru, dan bahkan jembatan yang menghubungkan kita dengan dunia luar. Dengan buku, saya bisa melewati batas-batas yang sebelumnya terasa tak terjangkau. Buku membawa saya dari sunyi di rumah Malka ke Ultimus, dari Bacabaca ke Malaysia, dari Indonesia ke dunia.

Bagi saya, buku adalah sebuah perjalanan yang tak pernah selesai. Ia mengajarkan saya bahwa meski kita mungkin merasa sendirian di dunia ini, selalu ada tempat untuk bertemu dan berbagi. Perjalanan saya belum usai. Masih banyak halaman yang belum terbuka, masih banyak nama yang belum saya kenal, dan masih banyak cerita yang menunggu untuk ditemukan. Dan saya yakin, selama ada buku, saya tidak akan pernah benar-benar sendiri. ***

Didin Tulus, editor, penulis, penggiat literasi di Kota Cimahi.