Camat sebagai Bridging Aspirasi dan Kebijakan

Oleh Dadang A. Sapardan

Gambar1 10
Dadang A. Sapardan, Camat Cikalongwetan Kabupaten Bandung Barat. (Foto: Dok. Pribadi)

PADA satu waktu berkesempatan ngobrol ringan dengan beberapa teman yang bergerak dalam organisasi kepemudaan di Cikalongwetan. Obrolan yang dilakukan di sela-sela perhelatan kegiatan Temu Karya Karang Taruna Kecamatan Cikalongwetan mengarah pada pemosisian kecamatan berdasarkan regulasi yang berlaku. Obrolan mengarah pada miskonsepsi masyarakat tentang posisi kecamatan saat ini. Miskonsepsi ini harus terus disosialisasikan kepada berbagai elemen masyarakat sehingga mereka benar-benar memahami posisi sebenarnya dari kecamatan dengan camat sebagai pimpinannya. Dalam obrolan itu disampaikan bahwa status camat bukanlah pemimpin wilayah seperti yang berlangsung dan dipahami berbagai elemen masyarakat. Camat merupakan pimpinan kecamatan. Camat adalah kepanjangan tangan bupati atau walikota pada wilayah kecamatan. Pemberian pemahaman demikian harus terus dilakukan terhadap berbagai elemen masyarakat sehingga mengurangi kesalahan penafsiran terkait keberadaan Camat dan Kecamatan.

Keberadaan regulasi menjadi pondasi bagi para pemangku kepentingan untuk menentukan berbagai kebijakan yang diambilnya. Demikian pula dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2018 tentang Kecamatan yang memosisikan kecamatan sebagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD) pemerintah kabupaten/kota. Dalam kedua regulasi tersebut tidak secara eksplisit terungkap bahwa camat adalah pemimpin kewilayahan seperti yang selama beberapa puluh tahun ke belakang ditafsirkan oleh berbagai elemen masyarakat.

Selama puluhan tahun ke belakangan, camat disimbolisasikan sebagai pemimpin wilayah kecamatan. Kecamatan menjadi sentral organisasi berbagai kebijakan dalam konteks wilayah kecamatan dengan camat sebagai pemimpin kewilayahan. Dalam pemahaman camat sebagai pemimpin wilayah mengarah pada upaya antisipasi terhadap berbagai fenomena yang terjadi di wilayahnya.

Berkenaan dengan kenyataan pada regulasi dimaksud, seorang camat terposisikan sebagai pimpinan OPD yang memfasilitasi kebijakan pemerintah daerah dengan tugas atributif dan tugas delegatif sebagai tugas pokok dan fungsinya. Tugas atributif adalah tugas umum pemerintahan. Akan halnya dengan tugas delegatif adalah pelimpahan sebagian wewenang dari bupati atau walikota kepada camat. Penmberian kedua tugas tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik, dan pemberdayaan masyarakat desa/kelurahan.

Posisi kecamatan sebagai OPD kabupaten/kota sekaligus penyelenggara urusan pemerintahan umum. Sebagai perangkat daerah kabupaten/kota, camat melaksanakan sebagian kewenangan bupati/wali kota yang dilimpahkan melalui regulasi yang diberlakukan, sedangkan sebagai penyelenggara urusan pemerintahan umum, camat secara berjenjang melaksanakan berbagai tugas pemerintah pusat atau daerah di wilayah kecamatan yang dipimpinnya.

Pelimpahan sebagian kewenangan bupati/wali kota kepada camat dilaksanakan untuk mengefektifkan penyelenggaraan pemerintahan daerah di kecamatan serta mengoptimalkan pelayanan publik di kecamatan. Langkah demikian diambil karena kecamatan menjadi OPD yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Dengan posisi demikian, berbagai kebijakan pemerintahan kabupaten/kota dapat dengan cepat diimplementasi. Bahkan, berbagai aspirasi atau tuntutan masyarakat dimungkinkan dapat terfasilitasi dan tersampaikan pada pemangku kepentingan pada level kabupaten/kota. Camat menjadi bridging (jembatan) berbagai aspirasi masyarakat untuk tersampaikan pada para pemangku kepentingan, sekaligus sebagai bridging kebijakan kebijakan pemerintah kabupaten/kota kepada masyarakat melalui desa/kelurahan.

Pemahaman akan tugas pokok dan fungsi camat dan kecamatan harus dimiliki oleh berbagai elemen masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. Dengan pemahaman yang baik, diharapkan tidak terjadi conflic interest di wilayah kecamatan yang akan mengakibatkan ketidakharmonisan dalam melaksanakan penugasan.

Sekalipun demikian, secara kontekstual, camat masih terposisikan sebagai pemimpin kewilayahan. Pemosisian demikian didasari kenyataan bahwa berbagai aktivitas kemasyarakatan di wilayah kecamatan, masih menempatkan camat dalam posisi demikian. Masyarakat dan para pemangku kepentingan di kecamatan masih memosisikan camat sebagai pemimpin kewilayahan yang secara legalitas formal tidak memiliki dasar yang kuat. Memperhatikan penugasan atributif yang disandangnya, camat sebagai pemimpin kewilayahan masih terasa, karena berbagai penugasan yang sifatnya menyentuh berbagai kebijakan umum.

Kenyataan demikian tidak bisa dihindari, tatapi harus disikapi dengan bijak dalam upaya memosisikan kecamatan sebagai OPD yang secara langsung bersinggungan dengan masyarakat. Kecamatan dengan camat sebagai pimpinan OPD harus dapat merepresentasikan diri sebagai implementator jargon, negara harus hadir di tengah masyarakat. ***

Dadang A. Sapardan, Camat Cikalongwetan Kabupaten Bandung Barat