Cerita di Balik Dijualnya Rumah Musik Harry Roesli

675fd28cc3758
Rumah Musik Harry Roesli di Jalan Supratman Nomor 59 Kota Bandung, yang bergaya arsitektur kolonial Belanda dijual oleh pihak keluarga Harry Roesli.(Foto: Kompas.com)

ZONALITERASI.ID – Kabar mengejutkan datang pada awal Desember lalu. Dalam kabar yang berseliweran di media sosial itu menyebutkan, Rumah Musik Harry Roesli di Jalan Supratman Nomor 59, Kota Bandung, Jawa Barat, dijual. Pihak keluarga memutuskan menjual rumah bergaya arsitektur kolonial Belanda itu lantaran biaya perawatannya yang terbilang cukup besar.

“Merawat rumah ini tidak mudah juga. Tentu perlu biaya besar tidak seperti rumah biasanya, apalagi statusnya bangunan heritage,” kata anak Harry Roesli, Layala Khrisna Patria, dilansir dari Kompas.com, Selasa, 24 Desember 2024.

Menurut Layala, dalam sebulan biaya yang dikeluarkan untuk perawatan rumah ini bisa mencapai puluhan juta rupiah. Ini sudah termasuk dengan gaji karyawan yang bekerja.

“Yang agak lumayan itu biaya bayar listrik karena banyak alat musik dan lainnya, terus biaya bayar gaji karyawan. Rumah sebesar ini tentu perlu banyak orang untuk mengurusnya,” ucapnya.

Layala menuturkan, status kepemilikan Rumah Musik Harry Roesli bukan hanya milik mendiang ayahnya, melainkan juga milik keluarga besar Roesli. Hingga tahun 2018, keluarga besar memutuskan untuk menjual rumah tersebut dengan berbagai pertimbangan, salah satunya biaya perawatan yang cukup mahal.

“Status rumah ini milik keluaga besar Roesli, artinya bukan Harry Roesli saja. Sebagian besar sudah tidak di Kota Bandung, hanya tersisa beberapa orang,” ujar Layala.

Selama ini untuk biaya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), lanjut Layala, keluarga Roesli mendapat keringanan dari Pemerintah Kota Bandung karena rumah tersebut berstatus heritage.

Selain soal listrik dan gaji para pegawai, beberapa bagian rumah seperti lantai dan atap sudah cukup tua sehingga mengharuskan perawatan khusus dengan biaya yang tak murah.

“Lantai rumahnya saja sudah tidak ada yang jual, kemudian atap dan genteng yang juga sudah langka, tidak mudah untuk dirawat. Tetapi, keluarga tetap berusaha untuk merawatnya,” sebutnya.

Upaya Keluarga Pertahankan Rumah Musik Harry

Layala mengungkapkan, pihak keluarga sudah berupaya semaksimal mungkin untuk mempertahankan kepemilikan Rumah Musik Harry Roesli. Salah satunya menyewakan beberapa bagian depan rumah untuk tempat usaha, semisal untuk coffee shop, kedai bakmi, dan lain sebagainya. Namun tetap saja, uang hasil sewa tersebut tidak bisa menutup seluruh biaya operasional yang dikeluarkan untuk perawatan rumah ini.

“Lebih banyak digunakan untuk area komersial. Operasional agak lumayan tinggi hingga beberapa ruangan disewakan, dan diputuskan untuk sekalian dijual juga,” terangnya.

Kata Layala, meski sudah diputuskan untuk dijual sejak tahun 2018, hingga saat ini Rumah Musik Harry Roesli belum laku terjual. Padahal, sudah ada beberapa calon pembeli yang berniat membeli rumah ini. Tetapi, mereka mengurungkan niat ketika masa pandemi Covid-19 beberapa waktu lalu.

“Sudah ada yang bernegosiasi dengan kita. Tapi yang namanya jual properti jodoh-jodohan, ditambah pandemi makin sulit. Tapi kata agen properti, rumah ini yang beli rumah ini pasti untuk usaha, bukan hunian pribadi,” imbuhnya.

Dua Seniman Besar Wafat di Rumah Musik Harry Roesli

Rumah Musik Harry Roesli merupakan salah satu bangunan heritage di Kota Bandung. Di rumah bergaya arsitektur kolonial Belanda ini, dua seniman besar Indonesia, yakni Marah Roesli dan Harry Roesli wafat.

Menurut Layala, rumah tersebut dibeli oleh kakeknya, yakni Mayjen TNI Roeshan Roesli, dari seorang warga Belanda pada masa awal kemerdekaan. Di rumah seluas 400 meter persegi ini, almarhum Harry Roesli dilahirkan, tepatnya pada 10 September 1951 hingga wafat pada 11 Desember 2004.

Tak hanya itu, eyang buyutnya Marah Roesli meninggal di sini. Marah Roesli merupakan sastrawan terkenal. Salah satu novelnya yang fenomenal adalah Siti Nurbaya.

“Jadi bapak (Harry Roesli) itu lahir di sini, bukan di rumah sakit. Meninggal juga di sini. Eyang buyut saya juga meninggal di sini,” ujarnya.

Layala menuturkan, rumah ini merupakan tempat awal ayahnya meniti karier sebagai seorang seniman di awal dekade 1970-an. Pada dekade itu, seniman berjuluk Si Bengal dari Bandung itu melahirkan Teater Musikal legendaris dan album musik Ken Arok yang karyanya masih disegani hingga sekarang.

“Mendiang merilis dan menggarap Ken Arok di rumah ini juga tahun 70-an. Di sini tempat latihannya, ratusan orang datang ke sini,” ucapnya.

Menurut Layala, segala aktivitas kesenian Harry Roesli di tahun 70-an banyak dihabiskan di rumah tinggalnya ini. Bahkan, tak jarang sejumlah seniman pada masa itu menjadikan rumah ini basecamp.

Di sini juga, Harry Roesli menuangkan segala inspirasinya dan meracik ide-ide liarnya menjadi karya seni yang jumlahnya mungkin mencapai ratusan lagu.

“Menerima tamu besar, tamu agung di rumah ini. Kalau teman seniman yang punya kedekatan dengan bapak sering ke sini,” tuturnya.

Layala mengatakan, beberapa orang pengamat bahkan menyebut Rumah Musik Harry Roesli merupakan salah satu cikal bakal komunitas kesenian di Bandung.

“Jadi rumah ini juga punya riwayat pergerakan kesenian di Bandung, bahkan cikal bakal komunitas kreatif pertama di Bandung,” ucapnya.

Layala menyebutkan, aktivitas kesenian ayahnya di rumah itu berlangsung hingga tahun 1980-an. Selepas dekade itu, ayahnya lebih banyak menghabiskan waktu aktivitas keseniannya di rumah sebelah nomor 57 yang kebetulan dibeli oleh kerabatnya.

“Jadi sebenarnya pada 80-an itu lebih ke rumah tinggal, bukan aktivitas kesenian dia. Cikal bakalnya di sini, tapi segala pergerakannya di nomor 57 itu,” katanya.

Meski demikian, ayahnya masih sering mendapatkan inspirasi untuk karya-karya seninya di rumah nomor 59. Bahkan, ketika berproses, Harry Roesli kerap tidur sembarangan atau berganti-ganti kamar tidur.

“Sudah tak terhitung bapak pindah kamar, namanya seniman tidurnya di mana saja. Kadang di sini, kadang di rumah 57,” pungkas Layala . ***