KUINGAT waktu pertama kali Pak Ilyas memintaku segera berkemas-kemas bersama beberapa temanku untuk berangkat dari sekolah kami, sebuah sekolah SMP Terbuka di pelosok desa terpencil di lereng gunung, menuju ke SMPN 1 Cikakak sebagai sekolah induk dari SMP Terbuka kami bersekolah. Beliau pernah mengumumkan bahwa kami akan diajari keterampilan menjahit oleh guru dari SMP Induk. Betapa hatiku gembira membayangkan bahwa aku dan teman-teman akan memiliki keahlian menjahit. Artinya aku akan mudah mendapat pekerjaan kalau lulus dari SMP Terbuka.
Di SMP Induk kami akan mendapat pelajaran menjahit dari seorang ibu guru. Kalau tidak salah beliau bernama Bu Ning. Kata Pak Ilyas, Bu Ning adalah ibu guru yang sangat sabar kalau mengajari para muridnya. Namun aku sangsi jika beliau bisa sabar mengajari kami nanti. Konon Bu Ning mengampu mata pelajaran Matematika. Terus terang aku tidak suka dengan pelajaran itu karena telalu susah bagiku untuk bisa memahaminya. Aku berdoa semoga di SMP Induk nanti Bu Ning tidak mengajariku pelajaran Matematika.
Walaupun Bu Ning adalah guru Matematika, beliau adalah seorang guru yang rajin, terampil, kreatif, dan memiliki keahlian menjahit. Kami mulai diajari cara menjahit tahap demi tahap oleh beliau. Beliau mengajari kami mulai dari membuka mesin, memasang jarum, memasang benang, mengepas lajur jahit, hingga menginjak pedal gas dinamo. Semuanya diajarkan beliau kepada kami dengan penuh kesabaran.
Sebetulnya aku sempat merasa sangat takut. Aku takut kalau nanti berbuat kesalahan dan mesinnya rusak. Kalau tidak salah mesinnya bermerk Singer. Awalnya aku gemetar begitu duduk di depan mesin yang masih baru itu. Namun berkat bimbingan Bu Ning, lama-lama aku mulai terbiasa. Bahkan selama masa pelatihan itu aku sempat berhasil membuat satu potong baju kemeja sesuai pola yang diajarkan.
Itulah awal mula aku mengenal mesin jahit dan belajar menjahit. Betapa hatiku bangga menjadi anak SMP terbuka. Biarpun anak gunung tetapi punya keterampilan menjahit yang tidak dimiliki anak SMP Induk yang tinggal di kota. Apalagi kalau mengingat semasa belajar menjahit dahulu, betapa sulitnya belajar di awal-awal tetapi lama-lama menjadi terampil juga.
Pada masa-masa musim belajar menjahit itu, beberapa kali kami mengalami moment yang sering berulang dan sangat berkesan. Selepas anak-anak SMP Induk hendak pulang, kami yang diangkut mobil toring sewaan justru datang. Anak-anak SMP Induk rupanya penasaran dengan kedatangan kami. Mereka yang pada mulanya tampak meremehkan kami yang anak-anak gunung, perlahan menjadi berubah memandang kami dengan tatapan iri. Mereka seolah tak percaya melihat kami sudah terbiasa mengoperasikan mesin jahit. Kerap kali terdengar mereka merajuk kepada Bu Guru Ning,
“Bu, kenapa kami tidak diajari menjahit seperti mereka itu?” kata mereka seraya menolehkan kepala ke arah kami.
“Kalian akan mendapatkan kesempatan belajar menjahit juga pada waktunya jika memang ada yang akan menekuni bidang itu di sekolah kejuruan nanti,” jawab Bu Ning dengan bijaksana yang disahut dengan jawaban riuh rendah karena tidak puas.
Aku dan teman-teman jadi tersenyum puas dan sengaja menampakkannya kepada anak-anak kota SMP Induk itu. Makanya kalian jangan suka meremehkan kami. Ternyata menjadi anak SMP Terbuka sangat beruntung karena dibekali keterampilan untuk bekerja yang justru tidak didapat oleh anak SMP Induk.
Selepasku lulus dari SMP Terbuka, aku sempat bekerja di sebuah pabrik konveksi di luar kota. Ternyata keterampilanku dalam menjahit yang kudapat di SMP Terbuka dahulu sangatlah berguna dalam menunjang pekerjaanku. Selama bekerja, sebagian besar penghasilanku kutabungkan untuk simpanan jika aku harus resign dari pekerjaanku.
Terbukti firasatku benar. Setelah tiga tahun kunikmati masa kerjaku, aku harus resign. Seorang pemuda sekampungku melamarku untuk menjadi istrinya. Aku pun menikah di usia 19 tahun. Kata teman-teman kerjaku umurku masih terlalu muda untuk menikah. Sebagai ABG sebaiknya aku menabung dulu lebih banyak lagi dan mempersiapkan mental supaya lebih dewasa dan matang untuk menjalani rumah tangga. Bagitu kira-kira saran mereka kepadaku. Namun mereka tidak akan bisa paham jika di kampungku aku sudah dianggap ketelatan dilamar orang. Baik keluargaku maupun aku sendiri sudah risih karena julukan perawan tua mulai disematkan kepadaku.
Aku pun menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga. Sebenarnya aku sudah cukup bahagia walau hanya menjadi seorang ibu rumah tangga dan tinggal di kampung lereng gunung. Menurutku banyak orang yang salah prinsip dengan menganggap remeh pekerjaan atau profesi seorang ibu rumah tangga. Padahal tidak semua wanita mampu menjadi ibu rumah tangga yang sukses. Kudengar tidak sedikit wanita karier yang berlimpah harta di kota besar sana gagal menjadi ibu rumah tangga.
Rupanya suamiku yang juga pernah merantau ke kota itu sangat pengertian padaku. Dia tahu aku masih kangen memanfaatkan keahlianku dalam bidang jahit-menjahit. Maka ia pun memberiku hadiah kejutan di ulang tahun pernikahan kami yang kedua, sebuah mesin jahit listrik bermerk Singer. Aku jadi terkenang lagi dengan mesin jahit pertamaku dulu ketika belajar di SMP Induk.
Kini enam tahun sudah sejak hadiah itu kumanfaatkan, terasa benar berkahnya bagi keluargaku. Aku bisa membantu suamiku yang bekerja wiraswasta membuka bengkel sepeda motor. Penghasilan kami berdua cukup untuk menghidupi keluarga kecil kami dengan dua anak yang sehat dan lucu. Di rumah milik kami sendiri, aku sering menerima orderan menjahit pakaian dari berbagai kalangan masyarakat di sekitar mulai dari anak-anak, anak sekolah, remaja, hingga yang terbanyak adalah ibu-ibu. Penghasilanku di rumah sendiri terhitung lebih baik dibandingkan jika aku harus bekerja di pabrik konveksi lagi yang harus merantau ke luar kota, jauh dari rumah, dan tanpa sanak keluarga.
Di usiaku yang kini sudah 27 tahun, aku mensyukuri semua itu. Aku merasa sangat bersyukur kepada Allah yang telah memberikan berbagai ilmu dan rezeki yang cukup berkah. Betapa jasa kedua orang tuaku tak mampu kubalas, yang telah menjadikanku sebagai anak yang salehah, sukses, dan bahagia. Semoga mereka selalu rukun dan damai, sehat walafiat, dan bisa ikut menikmati kelebihan rezeki dariku dan suamiku. Aku juga sangat berterima kasih kepada guru pamongku Pak Ilyas yang kini telah pensiun. Atas jasa beliau mendaftarkanku sebagai murid SMP Terbuka dan membimbingku selama belajar, kini aku telah menjadi wanita yang setara dengan wanita karier, sebagai ibu rumah tangga dan wiraswastawati. Tak lupa kusampaikan terima kasihku kepada Bu Ning yang pertama kali membekali diriku ilmu jahit-menjahit, semoga beliau selalu dalam keadaan sehat walafiat serta dipanjangkan umur dan rezekinya.
Aku sangat bangga kepada almamaterku menuntut ilmu, yaitu SMP Terbuka. Ternyata dalam segala kekurangan dan kesederhanaan, kita tetap mampu meraih sukses dan kebahagiaan asalkan memiliki tekad dan usaha yang sungguh-sungguh. Aku bersyukur lebih memilih bersekolah daripada langsung menikah setamat SD dahulu yang akhirnya menjadikanku kini sebagai orang yang bermanfaat dan memberikan berkah bagi masyarakat. ***
*) Dinarasikan kembali dari testimoni seorang alumni SMPN Terbuka 1 Cikakak
J.J. Rizal, Kepala SMP Negeri 3 Satu Atap Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.