BUDAYA  

Cerpen Bertengkar Berbisik

119239165 2670598923205455 4328435234483314439 n 1
M. Kassim, (Foto: Facebook.com).

Karya M. Kassim

BIASANYA orang yang bertengkar tidak dapat tidak akan melepaskan sekuat-kuat suaranya dan berkata berebut-rebut dengan tidak mempedulikan koma dan titik. Dalam ceritera ini, suatu pertengkaran yang disudahi dengan perkelahian yang hebat, telah berlaku dengan berbisik saja.

Pada waktu itu matahari sudah jauh condong ke barat. Tiga orang musafir yang berjalan kaki sedang dalam perjalanannya. Mereka itu mempercepat langkah, agar dapat berbuka puasa di kampung orang. Menjelang akan sampai ke sebuah kampung kecil, yang masuk bahagian Batangtoru, mereka itu berhenti sebentar akan bermusyawarat.

“Di kampung ini tidak ada lepau nasi, kenalan kita pun tak ada. Di manakah kita akan menumpang? Bertanak sendiri dalam bulan puasa begini, saya tak tak sanggup rasanya,” kata yang seorang yang bernama si Burkat.

“Itulah sebabnya maka saya katakan tadi, lebih baik kita bermalam di Sitinjak saja. Di sana ada warung nasi,” jawab temannya yang bernama si Togop.

“Saya sangka tadi, jika diburu-buru berjalan, dapat juga kita bermalam di Batangtoru, tetapi rupanya tidak. Akan tetapi menyesal dan mengeluh tak ada gunanya. Lebih baik kita cari akal supaya kita dapat makan petang ini.”

Sejurus lamanya, ketiganya tiada berkata-kata.

“Aku dapat suatu akal,” kata si Burkat sambil memandang kepada kedua temannya berganti-ganti.

“Salah seorang di antara kita bertiga, kita jadikan kepala kampung ….”

“Kalau dijadikan kepala kampong saja saya rasa belum akan kenyang perut,” jawab si Togop.

“Itu saya tahu. Tetapi bagaimana akal yang terpikir oleh saya itu, belum saya keluarkan semuanya. Dengarlah baik-baik. Kita sama tahu, orang yang ternama atau orang yang berpangkat lebih dimalui orang daripada orang sebarang saja. Jadi salah seorang di antara kita, kita sebut kepala kampung, dua orang jadi pengiringnya. Dengan hal yang demikian, di kampung ini kita menepat saja ke rumah kepala kampungnya. Saya rasa dia suka menjamu kita buat semalam ini.”

“Menurut pikiran saya akal itu dapat dipakai. Tetapi karena engkau yang mendapat akal itu, engkaulah pula kita angkat jadi kepala kampung itu, kami berdua jadi pengiring,” kata si Togop.

“Engkau Togu, bagaimana pikiranmu?” tanya si Burkat kepada temannya yang seorang lagi.

“Saya menurut saja,” jawab si Togu.

“Baik. Tetapi mula-mula patutlah saya diberi bergelar dahulu. Sebut sajalah gelar saya Sutan Menjinjing Alam. Tetapi hati-hati, jangan sesat, kalau-kalau terbuka rahasia kita. Jika terbuka, bukan saja kita tidak dapat makan, tetapi badan kita akan merasai pula orang buat. Sudah itu bungkusan dan payung saya ini, bawalah oleh kamu berdua, karena tak pantas bagi seorang raja membawa bungkusan kalau saya ada pengiringnya.”

Sudah itu berjalanlah Sutan Menjinjing Alam di muka, diiringkan si Togop dan si Togu.

Sesampai di kampung yang disebut tadi, setelah bertanya kepada seorang orang kampung itu, mereka itu pun teruslah menuju ke rumah kepala kampung. Mula-mula naiklah si Togu mengabarkan kedatangan mereka itu kepada yang empunya rumah.

Tiada berapa lama, dengan bergegas turunlah seorang laki-laki yang setengah umur dari rumah, dengan ramah-tamah dan senyum simpul memberi salam serta mengajak Sutan Menjinjing Alam naik.

Sesampai di rumah, Sutan Menjinjing Alam dipersilakan duduk di atas permadani dan kedua kawannya di atas sehelai tikar pandan, yang putih bersih.

Baharu sebentar mereka itu duduk, kedengaranlah di sebelah belakang “keok” ayam. Kepala kampung yang tiada berbeslit 1) itu pun memandang kepada kedua kawannya, dengan pandang yang berarti, seolah-olah mengatakan:

“Lihatlah, komedi kita berhasil baik!”

Setelah bercakap-cakap sejurus, waktu berbuka pun tibalah. Sebuah talam yang berisi penganan diangkat oranglah ke hadapan Sutan Menjinjing Alam, sedang si Togop dan si Togu dilayani seperti biasa saja.

“Marilah kita berbuka dahulu, Engku!” kata yang empunya rumah.

“Tetapi buat makan, saya harap engku akan sabar kiranya sampai lepas sembahyang isya.”

“Tiada mengapa, Engku. Kami telah mengganggu kesenangan Engku dan membuat orang kaya di rumah ini bersusah-susah,” jawab Sutan Menjinjing Alam sambil mengangkat sebuah gelas yang berisi seterup ke bibirnya.

Waktu hendak makan, sebuah talam diangkat orang pula ke hadapan Sutan Menjinjing Alam. Pada piring gulainya tampaklah terbelintang sebuah paha ayam dan pada piring yang lain sebelah dada ayam yang digoreng. Si Togop dan si Togu hanya mendapat tulang-tulang rusuk dan tulang-tulang belakang saja.

Memandang perbedaan itu, terbitlah cemburu dalam hati kedua pengiring itu, lebihlebih lagi si Togop.

Waktu akan tidur, yang empunya rumah mengembangkan sehelai kasur untuk kepala kampung palsu itu, lengkap dengan bantal dan selimutnya, dan pengiringnya hanya mendapat sehelai tikar dan dua buah bantal.

“Marilah kita tidur, Engku. Engku telah payah benar berjalan sehari ini,” kata yang empunya rumah.

Tetapi baharu saja ia masuk dan menguncikan pintu dari dalam, datanglah si Togop merangkak mendapatkan Sutan Menjinjing Alam.

“Engkau telah mendapat beberapa kelebihan dari kami,” katanya dengan berbisik.

“Waktu berbuka engkau mendapat pembukaan yang lebih baik, dan waktu makan engkau kenyang makan dagingnya, kami hanya mendapat tulang-tulangnya. Sekarang kita berganti, engkau tidur di tikar itu, kami berdua tidur di atas kasur ini.”

“Tidak, siapa mau begitu?” jawab Sutan Menjinjing Alam dengan berbisik pula, menampik permintaan si Togop itu.

“Makanan itu rezekiku dan kasur itu pun rezekiku.”

“Benar, tetapi sebabnya engkau peroleh itu karena bantuan kami. Kami kurbankan diri kami jadi pengiringmu dan kami sebutkan engkau kepala kampung. Jika tidak, tentu engkau tidak akan mendapat segala kesenangan ini.”

“Bukan untuk saya saja. Kamu berdua pun tidak makan malam ini jika tidak karena akalku.”

“Anak keparat rupanya engkau ini, curang, tamak, tidak setia berkawan, hanya memikirkan kesenangan sendiri saja,” kata si Togop berbisik.

“Engkau ini pun tidak setia, tambahan khianat, dengki, iri hati melihat orang mendapat kesenangan,” jawab Sutan Menjinjing Alam dengan berbisik pula, karena takut kedengaran kepada yang empunya rumah.

“Ayo sudah, kasur ini biarlah kepadamu, tetapi selimut ini untukku,” kata si Togop sambil menarik selimut itu.

“Tidak, tidak, biar bagaimana tidak akan aku berikan,” jawab Sutan Menjinjing Alam.

“Alangkah sombongnya engkau ini, Burkat. Baharu jadi kepala kampung icak-icak saja, sudah sepongah itu. Dicekik hendaknya engkau ini biar mampus.”

“Coba kalau berani,” jawab Sutan Menjinjing Alam.

Tetapi untung akan celaka, kebetulan pada waktu itu ia batuk, air ludahnya terpecik ke muka si Togop, dan oleh karena itu si Togop seakan-akan kelupaan diri maka dibalasnya penghinaan itu. Maka terjadilah perang ludah yang amat hebat, diiringi tinju, sepak, dan terjang.

Bunyi dar, dur, kelantang-kelantung pun kedengaranlah, dan rumah itu bergerakgerak seperti diguncang gempa. Dengan sangat terperanjat dan terburu-buru yang empunya rumah pun keluar.

Didapatinya si Togop sedang menghantam Sutan Menjinjing Alam, lalu ditolakkannya sambil berkata dengan gusar, “Tidak tahu adat engkau ini, berani menjatuhkan tangan kepada rajamu!”

“Ia bukan raja, bukan kepala kampung, tetapi penipu … ia yang mengajak kami menipu Engku, menyuruh kami menyebut dia kepala kampung ….”

“Engkau pun penipu!” kata kepala kampung palsu itu terengah-engah sebab ketakutan.

“O, sekarang aku mengerti, kamu bertiga ini bangsat … penipu … menyungkahkan nasiku dengan akal busuk …. Ayo kamu orang kampung ini, tangkap ketiga bangsat ini, boleh kita bawa kepada Engku Jaksa di Batangtoru,” kata yang empunya rumah kepada orang banyak, yang sementara itu datang berkerumun ke tempat itu.

Akan tetapi sebelum orang banyak dapat melakukan perintah itu, Sutan Menjinjing Alam dengan kedua pengiringnya telah dapat meloloskan diri dari jendela dan hilang di tempat yang kelam ….

***

1) Surat putusan

Catatan:
Bertengkar Berbisik adalah salah satu judul dalam buku kumpulan cerpen Teman Duduk karya M. Kassim terbitan Balai Pustaka tahun 1959. Ditulis ulang dengan perubahan dari Ejaan Republik ke EYD oleh J.J. Rizal.