Oleh Kiki Sulistyo
Dulu Amrozi sering melihat Farida berdiri di belakang meja sebuah warung kecil, melayani orang-orang yang datang memesan kopi dan camilan dan menghabiskan waktu dengan berbincang membahas persoalan-persoalan di sekitar mereka. Farida selalu mengenakan kain untuk menutupi rambutnya. Pipinya kemerahan seperti cabai setengah matang. Bulu-bulu matanya tebal seolah bukan bulu, melainkan kawat-kawat logam. Sepasang anting tergantung di telinganya, bergoyang-goyang setiap kali kepalanya bergerak.
—
FARIDA sudah menarik perhatian Amrozi sejak Amrozi masih berseragam sekolah dasar. Setiap hari Amrozi menantikan saat-saat dirinya berbelanja di warung Farida; membeli kembang gula atau dipang kacang. Kadang dia sengaja meminta kembang gula dengan warna-warna tertentu hanya agar punya alasan berlama-lama di warung itu. Farida akan selalu memenuhi permintaannya, dan dia bisa mengamati wajah Farida sampai puas.
Amrozi tahu Farida itu istri Tuan Kasdut, laki-laki yang jumlah istrinya seperti bersaing dengan jumlah bercak panu di tubuhnya. Meski Amrozi menyukai Farida, dia sama sekali tak menyukai Tuan Kasdut. Pikiran bocahnya bahkan bisa menangkap suatu ketidakadilan; bagaimana mungkin Farida bisa tahan dalam waktu lama di dekat Tuan Kasdut jika tiap saat laki-laki itu selalu marah-marah? Tuan Kasdut bahkan pernah memarahi Amrozi hanya karena Amrozi memetik daun-daun banten di pagar halaman rumahnya. Padahal, dalam pikiran Amrozi, daun-daun itu sama sekali tak ada gunanya.
Rasa tak sukanya pada Tuan Kasdut menumbuhkan juga rasa tak sukanya pada Tuan Kusni. Keduanya dipanggil ”Tuan” karena konon sama-sama keturunan bangsawan. Keduanya juga akrab satu sama lain seakan-akan gelar ”Tuan” itu telah menyatukan mereka. Pernah kedua Tuan ini memarahi Amrozi pada waktu bersamaan. Saat itu Amrozi datang ke warung untuk membeli kembang gula. Dia sedikit kecewa karena tak melihat Farida. Yang ada cuma Tuan Kasdut dan Tuan Kusni sedang bersenda gurau di bangku panjang. Melihat Amrozi, Tuan Kasdut merasa kesal. Dia bilang, ”Ganggu orang aja. Mana belanjanya cuma sedikit begini!” Amrozi merasa kecut. Sempat diperhatikannya bercak-bercak panu di badan Tuan Kasdut yang cuma mengenakan kaus singlet. Ketika Amrozi beranjak dari warung, giliran Tuan Kusni yang memarahinya. Tuan Kusni bilang, ”Kalau datang ucap salam! Ndak pernah diajari mamaknya ya. Kenapa rambutmu merah begitu?” Amrozi makin kecut. Diusap-usapnya rambutnya yang memang kemerahan. Rambutnya merah bukan karena disemir, melainkan karena sering terbakar matahari. Timbul suatu bayangan dalam pikiran Amrozi; seandainya dia punya bom, dia akan meledakkan kedua orang itu.
Amrozi tak begitu ingat sejak kapan Farida menghilang. Warung Farida sepertinya juga ditutup bersamaan dengan itu.
Setelah beranjak remaja Amrozi mulai melupakan Farida. Dia juga mulai menyadari, bersama lepasnya masa remaja, satu per satu kawannya menghilang. Dia tak tahu ke mana kawan-kawannya itu. Yang dia tahu, selepas sekolah menengah atas, tak seorang pun dari kawan-kawannya itu yang melanjutkan belajar ke universitas. Amrozi pun tak melanjutkan pendidikannya. Namun, berbeda dengan kawan-kawannya, dia masih tetap tinggal di permukiman itu. Mamaknya yang sudah menjadi janda sejak Amrozi masih bayi tak memintanya mencari kerja. Mungkin karena Amrozi anak satu-satunya. Kehidupan tak terlalu buruk buat Amrozi; dia masih bisa cukup makan dari hasil warung mamaknya yang dibuka di depan rumah.
Sepertinya warung itu mulai dibuka beberapa waktu setelah warung Farida ditutup. Dulu kawan-kawan Amrozi sering berkumpul di warung mamaknya. Namun setelah kawan-kawannya menghilang, pengunjung warung itu tinggal orang-orang tua dan anak-anak kecil yang membeli kembang gula atau dipang kacang seperti yang dulu dibeli Amrozi di warung Farida.
Salah seorang anak yang sering datang ke warung itu adalah Jamal. Dari mamaknya Amrozi tahu Jamal adalah cucu Tuan Kasdut, entah dari keturunan istrinya yang mana; yang jelas, bukan dari Farida. Siapa pun tahu, dari Farida, Tuan Kasdut tak mendapatkan anak.
Jamal berbeda dari anak-anak lain. Dia tak suka bergaul dengan kawan-kawan seusianya. Waktu ditanya soal itu, Jamal bilang bahwa dia tak satu frekuensi dengan mereka. Entah dari mana dia mendapatkan kata ”frekuensi” itu. Yang jelas, Jamal banyak menghabiskan waktu di warung seakan-akan dia adalah seorang tua yang gemar berbincang-bincang. Tak jarang Jamal masuk ke kamar Amrozi, menghabiskan waktu dengan menonton televisi hitam-putih seakan-akan mereka seusia. Dari Jamal, Amrozi mendapat kabar bahwa Farida sudah pulang.
Apa yang dilihat Amrozi kemudian berbeda dengan apa yang dilihatnya sepuluh tahun sebelumnya. Tak disangka-sangka Farida berubah sedemikian rupa. Tak ada lagi kain yang menutupi rambutnya, tak ada lagi pipi yang kemerahan seperti cabai setengah matang, tak ada lagi bulu-bulu mata yang serupa kawat-kawat logam, tak ada pula sepasang anting di kedua telinganya. Meski begitu, Amrozi tak bisa menampik bahwa sosok itu memang Farida.
Bukan cuma Amrozi yang kaget, melainkan hampir semua warga permukiman itu. Di warung mamak Amrozi pembicaraan tentang Farida selalu membuat suasana jadi riuh. Orang-orang membicarakan bagaimana Farida tak lagi mengenakan kutang dan celana dalam. Bagaimana rambutnya dipotong pendek, sama pendeknya dengan celana yang kerap dipakainya ketika menyapu halaman. Mukanya seperti penuh tambalan dan bentuk tubuhnya jadi tak keruan. Farida yang dulu, bahkan di mata seorang bocah, terlihat penuh pesona, sekarang tampak seperti monster yang tak jelas leluhurnya.
Yang lebih mengherankan lagi adalah sikap Tuan Kasdut yang menerima kembali Farida dalam keadaan seperti itu. Dulu orang-orang berpikir Tuan Kasdut telah menceraikan Farida, itu sebabnya Farida menghilang. Namun, meski Farida telah jadi bahan gunjingan, tak satu pun orang yang berani membicarakan persoalan itu di depan Tuan Kasdut. Sementara Tuan Kasdut sendiri tampak biasa-biasa saja dan masih sering bercakap-cakap dengan Tuan Kusni di rumahnya.
Suatu kali Jamal berkata kepada Amrozi, ”Mamak saya bilang, dia ndak tahu ke mana dulu Bik Farida pergi. Mungkin ke Malaysia. Bik Farida ndak gila, kok.” Saat itu, karena Jamal dititipkan ke kakeknya; sementara orang tuanya datang sesekali saja, menginap sehari semalam di rumah Tuan Kasdut sebelum kembali pergi; Jamal jadi sering menghabiskan waktu bersama Amrozi. Dari anak itu Amrozi bisa mendapat banyak kabar tentang Farida.
Sekali waktu orang-orang dengan jijik melihat bagaimana Farida menggandeng tangan Tuan Kasdut ketika mereka berjalan-jalan di sekitar permukiman, sementara Tuan Kusni mengikuti mereka dari belakang. Pemandangan itu demikian ganjilnya hingga orang-orang membayangkan sosok iblis yang berada di antara orang-orang beriman untuk membujuk mereka melakukan maksiat. Tetapi, sekali lagi, tak ada yang berani menyampaikan pikiran itu di hadapan Tuan Kasdut atau Tuan Kusni. Sementara, jangankan berbicara dengan Farida, melihatnya saja mereka sudah merasa mual. Diam-diam mereka membayangkan azab yang pedih bakal menimpa mereka.
Suatu hari menjelang siang ketika permukiman sepi sebab orang-orang sedang bekerja, Jamal, masih memakai seragam sekolah, berlari menemui Amrozi. Anak itu memanggil-manggil sambil menerobos pagar halaman dan langsung masuk ke kamar Amrozi yang pintunya memang terletak di bagian samping bangunan. Jamal bilang ada keributan di rumahnya.
Sesampainya di rumah Tuan Kasdut, Amrozi melihat banyak orang sudah berkerumun. Sebagian dari orang-orang itu kelihatan kesal, meludah ke Tuan Kusni yang lengannya dipegang seorang tua berpeci. Tuan Kusni diseret ke jalanan, orang tua berpeci berteriak-teriak meminta orang-orang berhenti meludah. Orang-orang menurut, tapi tetap menyeret Tuan Kusni; mereka sepakat membawa Tuan Kusni ke rumah kepala lingkungan. Di antara kerumunan, Farida tertawa-tawa seakan melihat suatu hiburan yang menyenangkan hatinya.
Amrozi yang masih bertahan di sana melihat Tuan Kasdut tiba-tiba muncul dari dalam rumah, berjalan gontai menghampiri seorang perempuan yang air matanya membecekkan pipi, dan terus melontarkan pertanyaan kepada Farida.
”Dia cium-cium saya. Di sini, di sini, juga di sini,” celoteh Farida sambil menunjuk kening, pipi, serta dadanya.
Melihat Tuan Kasdut, perempuan itu berbalik sambil berseru, ”Bapak sudah tahu semua ini kan? Sudah sering kan dia masuk diam-diam? Sudah sering kan dia melakukan semua ini?” Perempuan itu menghambur hendak memukul Tuan Kasdut, tapi beberapa orang menahannya. Sementara Farida terus saja tertawa-tawa. ”Itu mamak saya,” bisik Jamal pada Amrozi sambil menunjuk perempuan yang memukul Tuan Kasdut. ”Tapi saya ndak satu frekuensi sama dia,” tambahnya. ***
Sandik, 26 Juni 2021
—
Kiki Sulistyo, lahir di Kota Ampenan, Lombok. Meraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 untuk kumpulan puisi Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari? (Basabasi, 2017) dan Buku Puisi Terbaik Tempo 2018 untuk Rawi Tanah Bakarti (Diva Press, 2018). Kumpulan puisinya yang terbaru berjudul Dinding Diwani (Diva Press, 2020).
Sumber: JawaPos.com, 23 Januari 2022