BUDAYA  

Cerpen Jarak Semakin Jauh

20200225054623 normal
(Ilustrasi: Farah.id)

Karya J.J. Rizal

YASMIN termenung di depan cermin. Tampak di hadapannya wajah jelita yang memesona. Beberapa hari lagi usianya genap seperempat abad. Sayangnya, wajah cantik itu tak menolongnya sedikit pun dari kegalauan hatinya. Tangannya menggeletar memegang sepucuk surat undangan yang diterimanya tadi siang.

Surat undangan itu mengoyak hatinya. Isinya undangan pernikahan. Ia tak asing lagi dengan dua nama calon mempelai. Wardah Fitria dan Hasan Basyari adalah dua orang yang sangat dikenalnya. Hasan adalah teman sekelasnya di masa kuliah. Sementara Wardah adalah teman sekelas dan sahabatnya senasib sepenanggungan selama menjadi sesama anak kos. Sahabat dalam bercengkrama dan canda tawa. Sahabat setia saat berurai airmata. Di mana ada Yasmin, di situ pasti ada Wardah. Namun kini dewi fortuna tak berpihak kepada Yasmin, maka airmata Yasmin bukan airmata Wardah lagi.

Ketika masa kuliah, dalam senyap Yasmin mengagumi sosok Hasan. Sesungguhnya Hasan tidaklah istimewa dalam ketampanan dan kepandaian. Bahkan sangat biasa-biasa saja. Dia juga bukan seorang aktivis organisasi di kampus. Satu-satunya aktivitas Hasan adalah pengajian. Yasmin terpesona dengan kesederhanaan Hasan. Dengan kesederhanaannya, Hasan tampak lebih religius daripada teman-teman lelaki lainnya. Namun hal itu pula yang menjadi dinding tembok yang menjaga jarak mereka.

Hasan tidak punya pacar seperti mahasiswa yang lain. Jika bicara dengan wanita, wajahnya selalu menunduk atau dipalingkan ke arah lain. Tampak jelas bahwa pemuda itu selalu menghindari kontak mata dan memberi kesan tidak betah bicara dengan wanita. Sombong juga rupanya pemuda cool itu. Akan tetapi hati Yasmin semakin meronta karena penasaran.

Di masa akhir kuliah, menjelang wisuda, Hasan mendadak meminta waktu pada Yasmin untuk berbicara. Sebentar saja, katanya. Yasmin serasa tersengat listrik mendengar penuturan pemuda aneh itu. Antara surprise, bangga, bahagia, ragu, dan cemas, campur aduk menjadi satu. Yasmin cuma bisa terpana dan tersenyum malu dengan wajah merah jambu.

“Assalamualaikum. Yasmin, boleh saya minta waktu sebentar? Ada yang ingin saya bicarakan. Insya Allah tidak lama,” kata Hasan dengan wajah tertunduk.

“Waalaikumussalam. Oh ya, silakan. Ada apa Hasan?”

“Sebelumnya saya mohon maaf kalau ini kurang sopan. Namun karena menurut saya sangat penting menyangkut masa depan saya … atau maaf, masa depan kita, saya ingin meminta pendapatmu. Lebih tepatnya saya ingin bertanya kepadamu.”

“Bertanya tentang apa, Hasan?” jawab Yasmin penasaran dan berdebar-debar.

“Yasmin, sebentar lagi kita akan diwisuda dan lulus kuliah …,” ucap Hasan yang terlihat berpikir keras memilih kata-kata.

“Iya Hasan, itu memang benar. Lalu kenapa?” tanya Yasmin semakin degdegan.

“Bagaimana … bagaimana pendapatmu kalau … kalau … saya melamarmu?” ucap Hasan lirih dengan kepala semakin tertunduk.

Sekalipun sebelumnya Yasmin selalu terpesona dengan Hasan, ia langsung syok ditodong seperti ini. Ada rasa tak puas dan kesal kenapa Hasan tak mengajaknya berpacaran dulu. Ada harga diri wanita yang merasa tersinggung dan tak ingin terkesan murahan. Ada pula rasa malu yang begitu berat ditanggung saat ditembak langsung dengan cara seperti itu.

Maka dengan datar walaupun isi dada bergetar Yasmin berkata,”Aku belum bisa menjawab sekarang.”

“Tidak apa-apa. Saya juga tidak minta langsung dijawab sekarang. Silakan dipertimbangkan dulu masak-masak. Tapi berapa lama saya harus menunggu jawabanmu?”

“Baiklah akan kupertimbangkan. Beri aku waktu tiga hari. Aku juga perlu bicara dengan orang tuaku,” jawab Yasmin.

“Terima kasih atas kesediaanmu. Assalamualaikum,” ucap Hasan sebelum berlalu.

“Waalaikumussalam,” balas Yasmin terkesima.


Ternyata tiga hari begitu singkat untuk bisa membuka hati Yasmin menerima seseorang yang belum akrab dalam kehidupan pribadinya. Walaupun ia mengenal orang itu sejak diplonco di zaman “Opspek” hingga menjelang wisuda, tetapi sesungguhnya Yasmin belum merasa yakin akan tabiat asli Hasan. Pemuda itu tertutup dalam pergaulan dengan kaum hawa. Begitu tertutupnya hingga tidak pernah tampak perangai sesungguhnya pemuda itu di mata para mahasiswi di kelasnya. Jika para lelaki yang lain di kelas mereka mudah ditebak tabiatnya, Hasan adalah kekecualian. Yasmin memutuskan untuk tidak mengambil risiko membeli kucing dalam karung, apalagi dalam urusan membina rumah tangga yang akan dijalaninya kelak.

Adapun kedua orang tua gadis itu lebih suka jika Yasmin mengenal lebih dekat pemuda yang menaruh harapan itu. Mereka sekeluarga sepakat bahwa pernikahan harus didasari dengan pengenalan pribadi secara dekat agar tak ada kata menyesal di kemudian hari karena terkecoh dengan kepalsuan. Alhasil, gadis itu menolak halus tawaran Hasan untuk melamarnya. Yasmin balik menawarkan Hasan untuk menjalin hubungan yang lebih dekat agar lebih mengenal tabiat asli masing-asing. Hubungan yang lazim terjadi di kalangan pria dan wanita sebelum menikah, berpacaran.

Namun justru hal itulah yang memang dihindari oleh Hasan. Ia berprinsip tak mau berpacaran atau bertunangan. Pemuda itu ingin membangun cinta dengan wanita yang diidolakannya selama ini hanya dalam mahligai rumah tangga yang sah. Ia berazzam menjauhi potensi maksiat dengan wanita yang akan menjadi pendamping hidupnya kelak dalam keluarga yang sakinah mawaddah warahmah.

Hasan pun mundur teratur dengan gurat wajah kecewa dan sedih. Namun ia tidak lantas menjadi cengeng. Pemuda itu mencoba tetap tegar dalam kepahitan akan sebuah penolakan. Dengan senyum getir yang dipaksakan, Hasan mengucapkan terima kasih pada Yasmin karena tidak menggantungnya dengan harapan tak pasti. Sikap tegarnya itulah yang justru membuat jantung Yasmin tiba-tiba bagaikan tertusuk duri. Seakan-akan ia baru menyadari telah kehilangan sebutir berlian mahal yang seharusnya
hanya pantas menjadi miliknya.


Surat itu ditimang-timangnya dengan selaksa perasaan. Terbayang wajah sumringah Wardah yang bahagia menjadi mempelai wanita. Bersanding dengan seorang lelaki sederhana yang salih. Seorang lelaki yang tampaknya tidak romantis tetapi teguh pendirian dan bertanggung jawab. Yasmin sama sekali tidak menyalahkan sahabatnya. Ia sadar betul bahwa Wardah tidak pernah merebut Hasan darinya. Yasmin merasa belum beruntung. Tidak mengambil kesempatan pertama ketika sudah di depan mata karena khawatir akan salah mengambil keputusan. Sedangkan Wardah akan menikmati keberuntungannya karena berani menempuh risiko menuju suatu jalan yang sejatinya belum tampak jelas masa depannya.

Sesungguhnya setelah Hasan tak berhasil mendapatkan pintu hati Yasmin, pemuda itu sempat terpuruk beberapa waktu. Namun ia mencoba bangkit kembali mencari pengganti idaman hatinya itu. Ia tetap teguh pada prinsipnya yang tak mau berpacaran. Baginya kebahagiaan itu akan dinikmatinya jika telah sah membina rumah tangga. Hatinya yang selama ini terpikat akan kecantikan dan kecerdasan Yasmin, harus mengalah pada kenyataan bahwa gadis itu menghendaki masa-masa pengenalan pribadi pranikah.

Bagi Hasan, masa empat tahun kuliah sudah cukup untuk menilai karakter para mahasiswi di kelasnya. Yasminlah yang terbaik. Maka kegagalan mendapatkan Yasmin, sesungguhnya membuat Hasan cukup terpukul. Namun ia tak mau berlama-lama larut dalam kesedihan. Ia harus bangkit. Mungkin saja Wardah, sahabat Yasmin, walau tidak secantik dan secerdas Yasmin, akan bersedia menerima lamarannya.

Ternyata Wardah yang tidak pernah bermimpi akan ditanya kesiapannya mendampingi Hasan, langsung menyatakan bersedia. Ia dan keluarganya merasa yakin kalau pemuda pendiam dan tidak romantis itu akan dapat bertanggung jawab dalam memimpin keluarganya kelak. Padahal sesungguhnya di mata Wardah, Yasminlah yang pantas mendampingi Hasan. Pemuda yang alim itu lebih pentas bersanding dengan gadis cantik dan cerdas. Keduanya sangat cocok menjadi pasangan ideal. Siapa sangka jika
Hasan malah bertanya dan melamarnya. Sungguh Wardah merasa beruntung karena dirinya yang tak secantik dan secerdas Yasmin, justru menjadi pilihan Hasan menjadi pendampingnya dalam menempuh biduk rumah tangga.


Yasmin masih termenung di depan cermin. Wajahnya yang cantik jelita memendam duka. Beberapa hari lagi usianya genap seperempat abad. Sayangnya, wajah secantik itu tak menolongnya sedikit pun dalam mengobati luka hatinya. Tangannya mendekap sepucuk surat undangan yang diterimanya tadi siang. Surat itu basah bersimbah airmata. Tanggal pernikahan di surat itu, sama persis dengan tanggal kelahiran Yasmin. ***

J.J. Rizal, Kepala SMP Negeri 3 Satu Atap Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.