BUDAYA  

Cerpen Kelipatan Sepuluh

Karya Euis Karsina

ilustrasi sedekah istockphoto ratio 16x9 1
(Ilustrasi: iStockphoto)

LIS, beliin diapers Confidence ukuran L ya, pampes mbak habis.’

Sebuah pesan masuk melalui aplikasi hijau dari mbak Titi. Kakak pertamaku yang terkena serangan sakit stroke.

‘Iya mbak. Nanti pulang ngajar aku beliin.’

Kubalas pesan beliau untuk menyenangkan hatinya, karena kalau lama tidak balas pesan, maka pesan yang sama akan terus dikirim berulang.

Belum juga ku taroh handphone ke dalam saku baju seragamku, terdengar lagi bunyi notifikasi.

‘Bun, isiin kuota dong... Ayu lagi zoom nih tiba-tiba mati.’ Kali ini pesan dari anak sulungku.

‘Iya.’ Jawabku.

Segera kuhubungi Mas Aryo, kakakku nun jauh di sana, minta dikirim kuota sementara untuk Ayu. Kubuang rasa malu padanya demi kelancaran kuliah daring Ayu.

Mas Aryo itu kakakku yang memang luar biasa baik, keikhlasannya dalam membantu saudara patut diacungi jempol.

Aku pun melanjutkan aktivitas mengajar hingga suara bel tanda waktunya pulang berbunyi. Anak-anak berhamburan keluar kelas, mereka terlihat sangat gembira. Ah, aku pun sama selalu merasa gembira ketika mendengar suara bel berbunyi dari dulu zaman sekolah hingga kini menjadi seorang guru.

“Bu Lilis, yuk, ikutan ke butik Nibras Pasar Minggu, mumpung di sana sedang ada diskon besar-besaran, lho. Bu Lia, Bu Wanda, dan Bu Yanti juga ikutan nih,” ajak Bu Dini salah satu teman mengajarku.

Aku hanya tersenyum kaku menanggapi ajakan mereka, barusan mengecek isi dompet tinggal selembar uang merah bergambar tokoh proklamasi Indonesia.

“Maaf, Bu Dini. Lain kali saja, ya, ikutan belanja barengnya. Aku mau ada keperluan penting, nih.” Begitulah alasanku untuk mengurangi rasa tidak enak karena menolak ajakan mereka.

‘Gimana mau ikutan belanja coba, uang saja tinggal satu lembar, mana mau buat beli diapers Mbak Titi seharga lima puluh ribu rupiah, belum beli lauk makan siang dan sore suami dan anak-anak beli telor dan sayuran saja aku rasa cukup untuk membuat nasi goreng telor.’

Setelah pamit pada kepala sekolah dan teman-teman untuk pulang duluan, aku segera meluncur ke Alfamart untuk membeli pampes.

“Lis, kamu Lilis kan?” Sapa seorang wanita cantik berpakaian modis yang kebetulan sedang belanja juga di Alfamart.

“Iyaa, kamu Yuni teman sekolah di SMK dulu yaa? Masya Allah makin cantik saja, apa kabar Yun?” jawabku.

“Iya, Alhamdulillah kabar baik Lis, kebetulan sekali aku ketemu kamu di sini. Besok aku akan menikah lagi Lis, aku harap kamu bisa datang, ya.” Pinta Yuni.

“InsyaAllah, Yun,” jawabku dengan tersenyum.

“Kita tukeran nomor handphone, ya Lis, nanti aku kirim undangan digital saja, ya, ada alamat rumahku kok,” kata Yuni.

“Baiklah,” jawabku seraya bertukar nomor handphone dengannya.

Setelah berpamitan, aku pun segera ke kasir dan berlalu menuju warung nasi Mbak Sri yang terletak di depan Bank BPR untuk membeli lauk seharga tiga puluh ribu, hingga masih ada sisa dua puluh ribu rupiah.

“Tumben sedikit sekali beli lauknya, Bu Lis. Cukup ini buat makan berlima?” tanya Mbak Sri.

“InsyaAllah cukup Mbak Sri, maklum tanggal tua,” jawabku seraya tertawa begitupun Mbak Sri ikut tertawa.

Aku kembali melajukan motor pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan pulang aku sangat bingung, bagaimana untuk menutupi kebutuhan besok karena uangku sekarang tinggal dua puluh ribu rupiah. Aku jadi teringat pesan Ustadz Deen Al-Badr ketika mengikuti privat class training PPA. Salah satu kunci datangnya pertolongan Allah adalah sedekah.

Ya Allah, apa yang harus disedekahkan, sedangkan uangku saja tinggal segini. Tiba-tiba teringat sisa saldo di ATM Bank sejuta umat, kalau tidak salah ada delapan puluh ribu rupiah. Bisa untuk sedekah empat puluh ribu dan sisanya untuk jaga ATM.

Aku terus berkata-kata dalam hati bahkan sampai tersenyum sendiri hingga tak terasa motorku telah tiba di depan bank tersebut.

Dengan mengucapkan Basmallah, aku mantap mentransfer uang empat puluh ribu rupiah ke Yayasan Yatim Piatu Lazuardi Indonesia tertanda pukul 12.30.

Alhamdulillah, hati rasanya lega dan pasrah, walaupun sedekah tak seberapa, tapi aku berharap dan membayangkan mendapatkan balasan dengan kelipatan sepuluh, seratus, seribu, dan seterusnya, ah, benar-benar menenangkan hayalanku ini.

“Assalamu’alaikum anak-anak, bunda pulang,” seruku begitu sampai di depan rumah.

“Wa’alaikumsalam. Asyiik bunda sudah pulang,” jawab Yasmin putriku yang paling kecil.

“Bawa apa, bun? Aku lapar nih,” ujar Tegar anakku yang nomor tiga.

“Alhamdulillah, Bunda bawa sayur sop bening, tempe goreng, dan telor balado.” ucapku seraya menyiapkan makanan untuk anak-anakku.

“Yaaah, kok nggak beli ayam chicken, sih, Bu,” keluh Novan anakku yang nomor dua.

“Sabar, ya, sayang, besok lagi kita beli ayam chicken-nya. Sekarang kita makan yang ada dulu, okeh anak Bunda sholeh sholeha,” ucapku seraya tersenyum namun hati menahan perih.

“Iyaa, Bundaa, aku sayang Bunda, kok. Mau makan sama sayur bening dan tempe goreng,” ucap Novan diikuti oleh kedua adiknya.

“Baiklah, telor balado buat ayah aja yaa,” ucapku masih dengan senyuman.

“Lalu, Bunda makan apa dong?” tanya Tegar.

“Eh, Bunda tadi udah makan, kok di sekolah,” jawabku berbohong dan segera bangkit menuju kamar karena tak kuasa menahan air mata yang hampir meleleh ini. Aku tak ingin anak-anak tahu kalau sebenarnya perut ini pun sudah meminta jatahnya. Biarlah nanti saja kuisi setelah suami dan anak-anakku makan.

Aku beranjak ke kamar untuk menunaikan sholat dhuhur, tangis yang dari tadi kutahan akhirnya pecah juga.

Ya Allah, hamba pasrahkan rasa lapar ini hanya padamu, hamba pasrahkan ketidakberdayaan ini hanya padamu, hamba pasrahkan ketidakpunyaanku ini hanya padamu, aku mohon berilah rezeki untuk kami, Ya Allah untuk makan, ongkos, dan uang saku anak-anak, ya Allah.

Air mataku terus berlinang, aku masih terpekur di atas sajadah, malu rasanya sama anak-anak apabila keluar kamar dengan mata sembab seperti ini. Hingga terdengar suara ketukan di pintu kamar.

“Bunda, bunda… ada tamu,” ucap Yasmin.

“Iya, nak, sebentar, suruh masuk dulu, ya, tamunya.” Aku segera merapihkan diri lalu keluar kamar dan menemui tamu. Aku tersenyum dan heran karena tak mengenal mereka.

“Assalamu’alaikum Bapak, Ibu. Ada yang bisa saya bantu.” tanyaku dengan ramah kepada kedua tamu tak dikenal tersebut.

“Perkenalkan saya Pak Husin dan ini istri saya. Kami ke sini mau bertemu Bapak Rofi,” ucap tamu laki-laki.

“Oh, Pak Rofi belum datang, Pak. Saya istrinya. Mangga barangkali bisa disampaikan pada saya,” ucapku tersenyum ramah.

“Baiklah, begini, Bu. Kami ingin pesan organ tunggal untuk bulan depan dalam rangka memeriahkan acara pernikahan anak kami.

“Alhamdulillah, mangga Pak Husin dengan senang hati.” jawabku.

Setelah bernegosiasi pesan paket organ tunggal dan harganya, akhirnya Pak Husin dan istrinya sepakat untuk memberikan uang DP untuk mem-booking tanggal tersebut.

“Ini, Bu, kami DP dua ratus ribu rupiah dulu, ya.” Pak Husin menyerahkan lembaran berwarna merah tersebut.

“Alhamdulillah, diterima, Pak. Terima kasih banyak, ya. Sebentar saya buatkan kuitansinya,” ucapku dengan penuh semangat.

Setelah menerima kuitansi, Pak Husin dan istrinya pamit pulang, “Terima kasih, Bu, kami permisi, ya.”

“Mangga, Pak, Bu. Terima kasih banyak,” ucapku seraya tersenyum bahagia.

Tak berselang lama dari kepulangan tamu yang membawa rezeki tersebut, suamiku datang dengan senyuman seraya menyerahkan amplop berwarna putih.

“Apa ini, Mas?” tanyaku.

“Uang transport, tadi Mas dipanggil menjadi pembicara di salah satu sekolah,” jawab suamiku.

“Alhamdulillah, dibuka, ya, Mas?” izinku dengan segera membuka amplop tersebut.

“MasyaAllah, Mas, ini jumlahnya dua ratus ribu rupiah. Ya Allah kalau dijumlah dengan uang DP tadi jadi empat ratus ribu rupiah, Mas,” ucapku dengan air mata berlinang. Aku hanya bisa terduduk lemas di sofa dan dipeluk oleh suamiku yang keheranan.

Ya Allah, sekarang pukul 14.00, hanya satu setengah jam engkau menepati janji-Mu, kelipatan sepuluh membuat rasa hatiku begitu membuncah dengan rasa haru dan rasa syukur.

***

Cirebon, Desember 2022

Euis Atun Karsina, S.Pd. adalah nama lengkap penulis. Ia lahir di   Kabupaten Cirebon pada tanggal 5 November 1981. Saat ini profesi penulis adalah seorang kepala sekolah di SDN 2 Bojong Wetan, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon. Hal yang tak bisa ditinggalkan satu haripun dalam hidupnya selain ibadah adalah membaca dan menulis, sehingga ia bisa ikut berkarya bersama Kak Arfi Zon dan kawan-kawan dalam beberapa buku antologi yang berjudul “Writers Dream”,  “Sorry, Madam, Im Not A Criminal”, dan “Goresan Hikmah Ramadhan”.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *