BUDAYA  

Cerpen Laki-laki dan Nui

FOTO SASTRA 48
Ilustrasi cerpen Laki-laki dan Nui, (Imam Yunni/Koran Tempo).

Karya Thomas Didimus Hugu

LAKI-LAKI itu menuruni bukit universitas. Dua-tiga tupai mengintip dari balik batang-batang ek yang keras. Pukul 7 malam, tapi matahari masih menggantung di langit dan memanggang. Teringat anak-anak di timur sana karena pukul 7 malam adalah saat yang disakralkan oleh kegelapan yang ditemani ritual suara dengkur dan kencing di celana, sedangkan sanak keluarganya yang lebih dewasa merayu kantuk dengan tuak yang disadap dari pohon aren. Musim panas di Fayetteville, Negara Bagian Arkansas, mencapai puncaknya dan tak membiarkan kegelapan membunuh hawanya yang membara.
Semakin sering Nui mengajaknya bertemu. Wanita Thailand itu susah mengontrol dirinya. Selalu saja dia menemukan alasan. Laki-laki sebenarnya tidak juga mempersalahkan. Malah sering dia bersyukur karena Nui tak pernah alpa membawakan segala macam untuk menyenangkannya. Yang paling sering adalah tom yam berisi jamur cremini, sedangkan yang selalu adalah teh Thailand yang manis dan merah pekat.

Laki-laki memasuki apartemen dan tidak terganggu oleh pintu yang tak terkunci. Dia tahu siapa pendahulunya. Seperti biasa, Nui hanya mengenakan kaus cap sleeve yang transparan untuk menonjolkan lengan dan dadanya.

“Malam ini antarkan aku ke toko sepeda bekas. Kita tak usah naik bus. Jalan saja ikuti lintasan joging melewati Dickson Street. Saya memerlukan sepeda berkeranjang di bagian depan dan telah menelepon teman plontos saya yang bekerja di sana untuk menunggu,” suara sengau Nui menyambutnya.

“Oke,” laki-laki mendengus.

Di pembelokan menuju kantor pos, Nui menarik tangan laki-laki untuk singgah di toko buku bekas dekat tikungan sebelum kantor American Bank. Entah buku apa yang mau dibeli. Wajahnya terlihat kusut. Antrean pembeli buku cukup panjang dan kakinya terinjak seorang pria Meksiko. Nui membalikkan badan dengan gerak yang tanggung. Laki-laki menurutinya menjauh dan keduanya seperti lalat kelaparan menyeberang di perempatan di depan rongsokan gerbong kereta barang tua yang telah menjadi kantor Harvest Bank di Dickson Street. Kali ini laki-laki yang menyeret Nui. Mereka bergerak cepat ke tempat penjualan sepeda bekas dengan lewat di samping sebuah bangunan misterius beratap semen yang katanya adalah pabrik bir lokal.

Pukul 8 malam. Matahari sudah hampir menghilang, tapi Nui tak kunjung membeli sepeda. Dia bercengkerama ganas dengan pria botak yang kelihatan sudah lama dia kenal. Dia bahkan tahu namanya, Greg. Greg melongokkan kepala di bawah roda untuk membetulkan terali. Nui memberikan cerita tentang pria pengemis dari Bentonville yang memakinya karena tidak memberinya sisa roti gandum dan malah memilih melemparkannya ke tong sampah besar di sebuah apartemen di Rupple Road. Setelah itu, Nui menanggapi kebiasaan Greg minum sebotol air mineral sebelum mabuk berat di bar di Dickson dan membawa pulang perempuan berkulit gelap ke flatnya. Greg memasang kupingnya sambil tangannya merogoh obeng kecil untuk melepaskan terali yang longgar dari sepeda jenis time trial bike itu. Bau aneh minyak pelumas malah menyeret Nui kepada tema-tema yang seakan-akan tidak pernah habis. Greg tetap mendengarkan dengan senyuman.

Tapi laki-laki yang barusan menyeretnya ke bengkel pria botak itu menghadiahi Nui sebuah tatapan kebencian. Kali ini secara ajaib Nui cepat tanggap dan mereka pergi meninggalkan bengkel sepeda yang dibangun di bawah rimbunan pepohonan hutan dan semak kota Fayetteville. “Saya sebenarnya tak suka sepeda. Betapa bodohnya aku membawamu ke sini,” kata gadis itu sambil menelan ludah, mungkin untuk menyembunyikan kegugupannya jauh di dasar hati.

Tak ada raut kemarahan dari laki-laki. Gunanya apa? Justru diam-diam laki-laki mengenang pertemuan awal mereka. Seratus persen dia ingat dua bulan lalu bagaimana orang-orang suruhan dari ICE [1], Kantor Imigrasi dan Bea Cukai di Kota Fayetteville, nyaris menangkap dan menggelandang Nui ke kantor mereka di North Plainview Ave.

“Ssssst…. Jangan berisik.” Laki-laki hampir melompat dari tangga lantai atas. Ia baru keluar dari kamar mandi dan hanya mengenakan handuk. Ia membentak ke arah wanita di bawah kasurnya yang dengan wajah ketakutan memberi tanda di jari dan bibirnya untuk diam. Wanita itu mengenakan straight jeans ketat dan kaus cap sleeve. Laki-laki baru mau membuka mulut untuk berteriak pencuri ketika dari luar dinding apartemen terdengar suara sepatu bot menjauh, yang rasanya milik polisi dari kantor sheriff North West Arkansas. Secepat kilat si lelaki disergap perempuan itu. Badan berisinya ditindih di atas karpet oleh wajah memelas seorang perempuan. Handuk terlepas dan tahu-tahu keduanya bersetubuh dengan garang sebelum sempat mengerti alasan masing-masing.

“Namaku Nui. Terima kasih telah menyelamatkanku. Lain kali saya akan mengunjungimu karena kau pasti suka tom yam dan teh Thailand.”

Persetubuhan aneh itu menjadi awal dari keakraban mereka sampai malam ini. Sebenarnya, laki-laki pernah berpikir untuk menghilangkan jejak sebab, misalnya, kemarin sore, saat sedang menyiapkan presentasi magang minggu ini di depan profesor dan teman kelas, ia cukup terganggu oleh kehadiran Nui. Wanita itu sama sekali tak mengerti bahwa menyelesaikan sebuah tulisan tidaklah semudah mencabuti bulu ayam di TF, perusahaan distribusi ayam potong terbesar, tempatnya bekerja di Kota Springdale sampai tiga bulan lalu. Daripada terus-terusan begini, lebih baik mencari apartemen baru di Fayetteville yang tentu saja jauh lebih gampang dari pekerjaan mencabuti bulu ayam. Tidak bau dan tidak dipandang sepele. Orang tinggal menelepon, datang mengecek kamar tidur, toilet, jenis kompornya apakah listrik atau gas, menanyakan apakah ada larangan bagi tamu yang ingin menginap, dan akhirnya menyumpali manajernya dengan uang jaminan sebesar 250 dolar. Sore kemarin itu, bukannya menjaga situasi, Nui malah menyetel musik keras dan menari dengan liar saat laki-laki berkerut karena tugas kuliahnya.

Apa boleh buat. Niat laki-laki untuk melarikan diri tak pernah terwujud, setidaknya sampai saat ini. Tiap kali dia berencana menghindar, Nui selalu datang dengan cerita-cerita. Laki-laki itu ingat ketika suatu waktu, perempuan itu menyelinap ke kamarnya. “Aku berhasil meninggalkan Anitelu.”

Nui memacari pria Pulau Marshall bernama Anitelu itu hanya tiga bulan setelah berkencan dengan belasan pria pekerja. Dia bilang Anitelu terlampau ingin dekat dengannya. Yang membuat Nui selalu merasa tak aman adalah anggapannya bahwa Nui adalah seorang istri. Tak ada masalah jika laki-laki itu selalu menidurinya. Untuk apa munafik, Nui sendiri membutuhkan itu. Masalahnya, Nui tak tahan dengan perlakuan Anitelu yang merepotkannya dengan tugas memasak tiap kali menginap di trailer [2] pacarnya itu. Bukan juga karena gadis Thailand itu sosok yang malas. Bagi dia, selalu menyiapkan makanan adalah tugas istri, bukan pacar. Lain halnya dengan Anitelu. Dalam benaknya, menunggu dipanggil ke meja makan adalah tipe seorang laki-laki sejati seperti arti yang terkandung dalam namanya (Anitelu bermakna laki-laki jantan). Bukankah itu gelagat para suami? Maka Nui mencampakkannya.

Selesai Nui bercerita, laki-laki menelepon manajer apartemen di daerah M.L.K. Jr Blvd untuk mengabarkan tak jadi membayar uang jaminan karena ia belum ingin pindah dan berkonsentrasi mempersiapkan kehadirannya sebagai peserta seminar di ibu kota, Little Rock, dua pekan ke depan. Seperti biasa, laki-laki kemudian bercinta dengan Nui untuk menunggu cerita berikutnya dan pembatalan kepindahan yang lainnya.

Dalam tiga bulan terakhir, Nui memang terhitung sebagai tenaga kerja gelap. Negara menghaluskannya dengan istilah tenaga kerja tak terdokumentasi. Akan tetapi pemerintah sekarang memperketat kebijakannya terhadap mereka. Sampai tiga bulan yang lalu wanita itu memang masih bisa ngeluruk ke sana kemari tanpa takut diuber petugas. Meskipun waktu itu kerjanya mencabuti bulu ayam, dia tak pernah merasa terjepit seperti sekarang ini. Persetan dengan bau busuk dan anyir darah. Yang penting mendapat duit halal dan ditransfer langsung ke rekeningnya sebab dia dibekali surat-surat yang diharuskan oleh kantor imigrasi dan bea cukai. Setelah itu, dia bisa ongkang-ongkang kaki, melahap tacos [3] kesukaannya, minum soda yang murah sambil berendam di kamar mandi, dan menelepon laki-laki sesama pekerja yang menganggapnya pacar untuk mengusir rasa sepinya di apartemennya. Atau, kalau tak ada yang bersedia, dia tak segan juga mendatangi tempat tinggal mereka yang umumnya di trailer-trailer. Tentu saja si keparat Anitelu adalah satu di antaranya. Gajinya yang sebesar 1.500 dolar bisa dia sisihkan sebagiannya tiap bulan dan sewaktu-waktu, kalau dirasa cukup, dia kirimkan itu kepada ibunya di kampung.

Kembali ke hari ini. Sepulangnya mereka dari toko sepeda bekas di mana Nui tak jadi membeli barang itu, Nui membanting uang kontan sebesar 1.500 dolar. “Ini upah yang kukumpulkan dari kerja serabutanku bulan ini.”

Gadis itu kemudian merebahkan diri di bahu laki-laki dan menangis tanpa suara. Laki-laki tahu sebab ada air mata turun ke lengannya. Nui sudah siap dengan cerita berikutnya. Kemarin pagi manajer apartemen mendatanginya dengan sebuah surat dari ICE yang berisi perintah untuk segera menyerahkan diri. Paspor Nui yang telah kedaluwarsa tiga bulan lalu membuatnya diam-diam menarik diri dari kerja mencabuti bulu ayam. Betapa bodohnya karena sebelum itu dia sebenarnya punya waktu untuk memperpanjang. Dia juga punya cukup uang tabungan untuk membeli tiket bus Greyhound [4] dengan lama perjalanan hanya sekitar 15 jam ke Konsulat Jenderal Kerajaan Thailand di Chicago. Semuanya terjadi lantaran Nui terbawa rutinitas dan kemudahan terhadap segala macam hal. Mau beli makan, tinggal ke Harps Food Store atau Wallmart; mau menari, tinggal ke Dickson Street; atau kalau ingin kasur dan sofa, tak usah beli. Datang saja ke tempat sampah besar di apartemennya karena selalu saja ada keluarga yang pindah ke tempat lain dan tak mau repot dengan barang bawaan yang banyak. Hidup seorang pencabut bulu ayam di Fayetteville memang tetap lebih enak daripada menjadi mekanik sekalipun di kampungnya. Dan waktu ternyata begitu ganas meski diisi oleh segala macam kesenangan dan fasilitas.

Kalau sudah begini, segalanya menjadi begitu sulit. Nui tak mungkin dapat memberikan informasi mengenai nama, tempat tinggal, tanggal lahir, dan nomor jaminan sosial kepada perusahaan tempatnya bekerja untuk mengisi Formulir Kepatuhan I9 [5]. Tak ada I9, tak ada pekerjaan resmi. Karena itu, selama hampir tiga bulan terakhir, Nui terpaksa bekerja serabutan. Beberapa kenalannya dari Meksiko yang kasihan kepadanya mengajaknya membersihkan toilet dan karpet di apartemen-apartemen sekitar yang umumnya dihuni para mahasiswa asing. Tapi itu bukanlah pekerjaan rutin harian karena para manajer apartemen melakukan pengetatan pengeluaran. Beberapa kali kenalan lainnya membawanya ke kebun-kebun hidroponik untuk memanen stroberi. Bahkan pernah dia nekat memanggang kulitnya di bawah terik dengan mengajukan diri untuk membersihkan sebuah kolam renang di apartemen murahan di bawah kaki bukit universitas.

Semua itu dia kerjakan dalam kesiagaan karena petugas imigrasi dan bea cukai kadang muncul dari semak-semak. Kini gengsinya jelas turun karena semua kerja serabutan oleh tenaga kerja gelap dihargai dengan uang kontan dan bukan melalui transfer resmi di bank. Nui berpikir, yang penting ada uang pada saat-saat akhir sebelum bokongnya ditendang keluar dari negara ini. Hanya, Nui tak mau juga bekerja mencuci piring atau menjadi pelayan di rumah makan Tionghoa yang tidak memberikan gaji kepada pekerja semacam itu. Dia tak sudi hanya mendapat uang tip dari pelanggan.

Uang 1.500 dolar masih ada di atas kasur. Nui juga sudah selesai dengan ceritanya malam itu. Tidak seperti biasa, berakhirnya cerita tak diikuti telepon pembatalan kepindahan apartemen oleh sang laki-laki. Tidak terdengar juga derit tempat tidur akibat ulah dua makhluk beda jenis kelamin yang selalu kehausan. Laki-laki sudah tahu. Kali ini dia tak perlu mencari akal untuk menghindar. Sebentar lagi pasti agen-agen ICE akan datang menjemput. Manajer apartemen tempat laki-laki tinggal telah memperingatkannya berulang-ulang. Laki-laki tak tega memberi tahu Nui. Percuma! Negara yang satu ini dilengkapi CCTV tersembunyi di hampir segala tempat. Mustahil meloloskan diri.

Tapi Nui menunjukkan gelagat yang mengesankan bahwa dia telah tahu apa yang akan terjadi. “Tom yam kesukaanmu ada di atas meja makan. Ada jamur cremini di dalamnya. Teh Thailand yang kau bilang manis dan merah pekat telah saya taruh di kulkas. Maafkan aku, sebab sejak awal aku tahu bahwa kamu laki-laki beristri.”

Laki-laki menatap perempuan malang itu menjauh dibawa oleh dua agen ICE. Di dalam mobil petugas, wajah Nui tinggal sebuah sketsa seorang pelukis aliran ekspresionisme. Mobil menderu dan laki-laki kembali ke dunianya yang segera menjadi jauh lebih sepi daripada hari-hari sebelum Nui kesasar pertama kali ke apartemennya. Uang 1.500 dolar masih ada di atas kasur. Pukul 9 malam. Matahari akhirnya menyerah dan terbenam juga. Malam disakralkan kegelapan tanpa ritual seperti kelakuan orang-orang di kampungnya di timur sana.***

Keterangan:

[1]. Singkatan dari Immigration and Customs Enforcement (Kantor Imigrasi dan Bea Cukai)

[2]. Rumah tinggal berbentuk mobil berukuran panjang yang biasa dimiliki atau disewa oleh orang-orang berpenghasilan rendah, termasuk para pekerja migran.

[3]. Makanan khas Meksiko berupa gulungan roti tipis berisi tomat dan sayuran lainnya.

[4]. Perusahaan jasa angkutan penumpang yang pelanggannya umumnya orang-orang dari kelas ekonomi bawah.

[5]. Bertujuan memastikan karyawan memiliki hak hukum untuk bekerja di Amerika Serikat.

Thomas Didimus Hugu, lahir di Kalikasa, Lembata, Nusa Tenggara Timur, 17 Maret 1974. Lulusan S1 Psikologi Untag Surabaya dan S2 School Counseling University of Arkansas, Amerika Serikat. Guru bimbingan konseling dan pembina majalah dinding di SMA Negeri 1 Nubatukan di Lewoleba, Lembata. Ia tinggal di Lewoleba, Lembata, Nusa Tenggara Timur.

Sumber: Koran Tempo, 15-16 Agustus 2020/Lakonhidup.com

Respon (142)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *