BUDAYA  

Cerpen Nenek Penjual Sapu Lidi

Karya J.J. Rizal

ce4770929f36c0d6f914eb11d137b2a9
(Ilustrasi: My-best.id)

SAAT itu aku baru saja keluar dari parkiran BJB Palabuhanratu. Ketika akan kukendarai sepeda motorku meninggalkan area itu, mataku menangkap sosok seorang nenek yang duduk berselonjor kaki di trotoar Jalan Siliwangi. Posisi tangannya seperti tangan gadis paskibra yang mengasong baki. Namun benda yang diasong sang nenek bukanlah baki, melainkan beberapa ikat sapu lidi.

Detik itu juga hatiku berperang. Antara rasa ingin menolong atau segera pulang karena lelah ingin segera beristirahat senja. Kalau aku turuti rasa empatiku, sepertinya aku bakal merogoh saku celanaku yang tersisa cuma sepuluh ribu. Sebaliknya jika aku turuti naluri zona nyamanku, tentu handle gas motorku akan segera kutarik agar langsung meluncur pulang ke rumah.

Aku memang dari ATM BJB. Namun urusanku ke sana bukan untuk mencairkan uang. Anakku yang kuliah di Bandung sudah merengek minta ditransfer. Sedangkan karena kebiasaanku yang lumayan ceroboh, uang tunai yang kubawa serta dari rumah hanya sepuluh ribu rupiah. Maka ketika sosok wanita tua yang tampak tabah itu mengusik hatiku, berkobarlah peperangan hebat dalam dadaku yang tanpa sadar kuterjemahkan secara zahir dengan kombinasi tarikan antara gas dan rem motorku.

Sebenarnya nenek itu tidak beda dengan penjual lain pada umumnya. Cuma entah mengapa tiba-tiba saja hatiku trenyuh. Dia duduk di bawah sorotan matahari senja Palabuhanratu yang masih cukup kuat membakar hati. Dia duduk pasrah mengasong komoditasnya di lantai trotoar. Tanpa promosi. Tanpa iklan. Bahkan tanpa kata. Wajahnya yang keriput tertunduk lelah. Posisi duduknya yang selonjor dengan tangan yang mengasong sapu lidi, cukup ampuh untuk mengoyak ketidakacuhanku. Feelingku mengatakan bahwa itu pose natural, bukan settingan sebagai strategi marketingnya.

Kuputuskan untuk menepikan motorku dan berhenti. Aku menunggu reaksinya barangkali matanya akan segera bersinar karena ada calon pembeli. Ternyata harapanku meleset. Dia tetap bergeming dengan kekhusyukannya. Namun itu membuatku semakin trenyuh melihatnya.

Aku pun bertanya, “Ni, sabaraha pangaos sapu nyere teh?”

Hijina opat rebu, Cep,” sahut nenek itu.

Sejenak aku memikirkan sebuah konsekuensi logis dari sebab-akibat. Jika aku beli satu, aku akan membawa uang sisa enam ribu ke rumah. Jika aku beli dua, aku akan membawa kembalian dua ribu untuk pulang. Jika aku membeli sapu lidi, pasti di rumah istriku akan bertanya untuk apa beli sapu lidi lagi sedangkan masih ada sapu lidi yang utuh. Dalam durasi waktu yang sesingkat itu, sel-sel neurotik di cortex otakku dipaksa bekerja keras beberapa kali lipat dari kinerja normalnya. Mungkin juga kerja serambi jantungku memompa darah lebih dahsyat karena denyut arteri di pelipis dan pergelangan tanganku terasa berdentum-dentum. Yang paling menyesakkan adalah alunan irama di dada dan napasku mendadak menjadi begitu ber at dan pendek-pendek hingga memaksaku menghirup udara segar beberapa kali dengan sangat rakus.

Aku menebak jika si nenek belum makan siang. Mungkin ia menghemat uangnya untuk ongkos pulang. Mungkin juga ia belum mendapatkan uang yang cukup untuk bisa jajan atau membeli makan. Dengan berbagai pertimbangan yang tak mampu kuhitung, akhirnya aku berkata, “Ni, kumaha upami abdi nawis pangaos sapu nyere teh hijina sapuluh rebu?‟

Si Nenek mendongakkan wajahnya ke arahku dan menatap biji mataku seakan tak percaya. Mungkin saja dia berpikir ternyata masih ada juga lelaki dewasa seumurku yang kelewat bodoh dalam berhitung. Boleh jadi pula dia curiga jangan-jangan aku sedang melakukan “prank” kepadanya. Sorot matanya begitu lekat seakan hendak membongkar isi hatiku yang memaksaku mengalihkan fokus dengan menimang-nimang sapu lidi komoditasnya layaknya sebuah keris pusaka.

Encep mah lepat atuh,” balas si Nenek. “Pan eta pangaosna ge ngan opat rebu hiji.”

Wioslah Ni, da nyere na sae pisan, pasti kiat sareng tahan lami dianggona,” jawabku memuji seraya mengambil salah satu dari sapu lidi itu tanpa memilih-milih.

Segera kurogoh saku celanaku dan kusorongkan lembar sepuluh ribu kepada si Nenek yang masih tampak shock dan belum percaya akan apa yang baru dialaminya.

Dengan mata berkaca-kaca, terucaplah dari mulutnya kata-kata yang penuh haru dan rasa terima kasih,

Hatur nuhun Encep. Artosna ditampi pisan ku Nini. Mugia Encep dipasihan rijki nu barokah ku Gusti Alloh. Dilapangkeun rijkina sareng dipanjangkeun yuswana. Hatur nuhun Encep.”

“Aamiin! Hatur nuhun,” sambutku seraya membungkuk mencium tangannya.

Sebelum kutinggalkan dia, sempat kutawarkan padanya jika berkenan akan kuantarkan untuk mencari tempat yang teduh untuk berjualan. Namun dia menolak dengan halus. Dia bukan saja tak ingin merepotkanku, melainkan juga karena di tempat lain belum tentu mudah mendapat izin untuk berjualan nomaden seperti dia.

Sepanjang jalan pulang, aku cirambay cipanon. Tak kuat kutahan aliran sungai yang menitik kecil dari sudut kedua mataku. Bahkan aku tak hendak menahannya sedikit pun. Biarlah hujan semusim lalu menyisakan rintiknya di pipiku. Tak ada rasa malu saat itu. Toh kaca gelap helmku cukup handal melindungi wajahku dari sinar matahari dan sorot tatapan mata orang lain.

Dalam sedu-sedan kecil itu, aku jadi terkenang akan almarhumah ibuku. Jika beliau masih ada dalam kondisi ekonomiku yang terbilang cukup sehat seperti saat ini, tak akan pernah kubiarkan sedetik pun beliau menderita seperti nenek penjual sapu lidi tadi. Maka di atas roda duaku, kulantunkan berulang-ulang bacaan doa untuk ibu dan ayahku yang sudah berpulang ke rahmatullah, “Allohummaghfirlii waliwaalidayya warhamhumaa kamaa robbayaanii shaghiiraa.”

Pertemuanku dengan nenek penjual sapu lidi itu telah mengajarkanku banyak hal tentang kebaikan. Aku berharap agar diriku bisa menjadi anak salih yang bermanfaat bagi umat manusia. Itulah cita-citaku di masa kecil untuk almarhumah ibuku dahulu yang tidak pernah dapat menikmatinya karena tak sempat melihatku tumbuh dewasa. ***


Keterangan:

1) Ni/Ninik; panggilan kepada wanita yang sudah tua

2) Cep/Encep; panggilan kepada anak laki-laki

3) Pangaos; harga

4) Sapu nyere; sapu lidi

5) Nawis; menawar

6) Wioslah; biarlah

7) Sae; bagus

8) Artos uang

9) Kiat; kuat

10) Lami; lama

11) Dianggo; dipakai

12) Hatur nuhun; terima kasih

13) Yuswana; usianya

14) Prank; semacam candaan berupa penipuan dengan tujuan kesenangan atau hiburan

15) Cirambay cipanon; menangis dengan air mata menitik

16) Allohummaghfilii waliwaalidayya warhamhumaa kamaa robbayaanii shaghiiraa; Yaa Allah, ampunilah dosaku dan kedua orang tuaku, dan kasihilah keduanya sebagaimana mereka mengasihiku di waktu aku masih kecil.

J.J. Rizal, Kepala SMP Negeri 3 Satu Atap Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.