MENJADI guru sebenarnya bukanlah impianku, namun ternyata Allah menakdirkan profesi itu menjadi bagian dalam hidupku, bahkan nafasku.
Teringat waktu kali pertama mengajar, aku menempatkan diri di salah satu sekolah teristimewa, dan pengalaman mengajar di sekolah itu pun menjadi pengalaman pertama yang paling istimewa.
Waktu itu suamiku ditempatkan di daerah terpencil di pelosok Banten oleh perusahaannya, suamiku seorang arsitek dan harus menyelesaikan beberapa proyek di daerah sana. Aku terpaksa ikut karena tidak ingin berpisah dari suami, waktu itu kebetulan kami baru saja menikah, dan aku seorang yatim piatu. Jadi setelah lulus kuliah di Sastra Indonesia Unpad aku langsung dipinang oleh suamiku.
Ternyata tempat itu merupakan pedalaman yang sangat jauh, terpencil, dan jalannya rusak parah. Tempatnya mengingatkanku akan film “Laskar Pelangi” dengan Pulau Belitongnya. Padahal ini ada di pelosok Banten, tepatnya di Kabupaten Pandeglang.
Aku belum pernah ke sini sebelumnya, aku bahkan baru tahu jika ada daerah terpencil nan cantik bernama Kutakarang. Kampung ini merupakan daerah perbatasan antara Kecamatan Cibitung dengan Kecamatan Cikeusik. Hanya dipisahkan oleh muara laut Mantiung.
Perjalanan dari Pandeglang Kota hingga ke muara sekitar 90 km atau membutuhkan waktu kurang lebih 4 jam. Jalanan berbatu dan berpasir tebal sepanjang 15 km cukup menghambat perjalanan karena harus dilalui dengan sangat hati-hati.
Sudah terbayang serunya sebelum sampai di Muara, menurut informasi sebelumnya kita akan memakai motor yang dinaikkan ke perahu untuk menyebrang agar bisa sampai ke Kampung Kutakarang. Namun saat itu air laut sedang surut, jadi tidak perlu menyebrang mengunakan perahu tapi bisa langsung dilalui motor.
Sempat hati ini agak kecewa, karena sudah terlanjur membayangkan serunya naik motor dalam perahu. Tetapi pada akhirnya aku bersyukur karena Allah mudahkan. Karena selama ini banyak warga yang mengeluhkan akses susah, jika laut sedang pasang maka tidak bisa dilalui kendaraan. Sulit menyebrang. Ke pasar saja jauh, menjual hasil panen juga jauh.
Akhirnya aku pun mencoba melamar sebagai guru di satu-satunya sekolah yang ada di sana, yaitu MI Kutakarang. Mulanya hanya sebagai pengisi waktu luang karena aku bingung aku harus melakukan apa di tempat terpencil seperti ini. Internet pun sulit sinyal tidak segampang ketika kami hidup di Bandung.
Kepala sekolahnya langsung yang menyambut kedatanganku dengan senyum lebar dan hangat. Hal pertama yang ia katakan adalah, “Neng tidak perlu melamar di sini, karena kami juga tidak sanggup menggaji Neng. Kami hanya butuh relawan, kalau Neng mau, bapak yang harusnya bersyukur dan berterima kasih karena memiliki tenaga pengajar lulusan universitas seperti Neng.” Masya Allah aku terharu dibuatnya. Dan entah mengapa hatiku seperti tergerak untuk berdedikasi di sekolah ini.
MI Kutakarang didirikan oleh Bapak Sofyan sejak tahun 1997. Beliau merupakan Pegawai Negeri Sipil yang bertugas di daerah Cibaliung yang tergerak hatinya untuk membangun lembaga pendidikan di Kutakarang.
Pak Sofyan bermusyawarah dengan warga untuk mendirikan MI Kutakarang karena melihat tidak adanya lembaga pendidikan di wilayah tersebut, khususnya pendidikan agama. Pesantren jauh di sebrang sana, SD Negeri juga tak kalah jauhnya, kasihan anak-anak, keluhnya.
Aku pun diajak berkeliling oleh Pak Sofyan, sekolah terpencil yang berada di selatan Pandeglang yang jauh dari jangkauan dan perhatian. Sekolah terpencil yang tidak memiliki bangunan yang layak dan tidak semua siswa memiliki seragam atau sepatu. Semua serba terbatas, serba sederhana. Tiga ruang kelas yang hancur dan tidak bisa digunakan sejak 2 tahun yang lalu, terpaksa membuat para guru memutar otak menjadikan 2 ruang kelas yang masih bisa digunakan menjadi ruang belajar bersama dari kelas 1 sampai 6. Jumlah papan tulis pun hanya ada satu, digunakan bergantian untuk dua ruang kelas. Jumlah bangku dan kursi bisa dihitung dengan jari. Sedangkan jumlah siswa di sekolah ini cukup banyak, 64 siswa yang berasal dari 3 kampung terdekat. Tidak ada toilet atau mushola, apalagi ruang guru.
Awal-awal berdirinya MI Kutakarang memiliki tenaga pengajar dari luar daerah, tapi tidak bertahan lama karena banyak faktor. Jadi, guru yang bertahan sekarang adalah mereka yang memang mendapatkan pendidikan dasar di MI Kutakarang, warga asli.
Tiga orang pribumi yang mau mengabdi, meski pendidikan mereka masih setara SMA/Aliyah, kesejahteraan tidak menentu, namun mereka tetap semangat, tekun, dan sabar mendidik anak-anak bangsa di tengah banyaknya keterbatasan. Tidak ada yang mau mengajar di tempat ini. Jauh ke mana-mana, serba sulit, kalau bukan warga asli yang turun tangan mengajar biasanya tidak ada yang bisa bertahan lama. Apalagi mereka yang sudah terbiasa dengan kemudahan, mau beli ini itu ada, mau ke mana-mana gampang. Seperti aku. Muncul keraguan dan semangat di hatiku secara bersamaan. Aku harus ngobrol dengan suamiku. Perbedaan umur 10 tahun di antara kami, membuatku seperti memiliki seorang ayah, kakak, guru, dan sahabat dalam satu paket. Dan aku sangat ketergantungan.
Tepat di belakang sekolah terbentang cantik lautan Samudera Hindia yang masih sangat bersih dan biru. Aku tergoda untuk membuka sepatuku. Pasir kecoklatan yang sangat halus dan tebal mengelitik kaki, nyaman sekali berjalan-jalan di tepian pantai ini. Semilir angin sejuk menyentuh halus wajahku. Mataku takjub memandangi deburan ombak yang menggulung indah.
“Pendidikkan merupakan hak semua warga negara, salah satu hak dasar anak yang harus dipenuhi. Termasuk warga Kutakarang yang merupakan anak Indonesia.” Ujar suamiku setelah mendengar ceritaku.
“Tapi, apa aku bisa?” suaraku keluar perlahan.
Tibalah hari pertama mengajar, waktu itu jatuh di hari Rabu. Aku mengajar Bahasa Indonesia sesuai bidangku. Namun Pak Sofyan memintaku agar aku juga mengajarkan Bahasa Inggris dan Seni. Aku berdebar memasuki ruangan kelas. Saat itu aku mengajar di kelas 6. Ada sekitar 20 anak di ruangan itu, Sebagian besar memakai seragam namun tidak bersepatu, ada juga yang masih mengenakan topi di dalam kelas. Aku mengenalkan diriku dengan terbata-bata. Jujur ini kali pertama aku harus berdiri di depan banyak orang selain teman-teman kuliahku. Walaupun mereka anak-anak, tetap ada degup kencang di jantungku, aku takut mereka tidak menerimaku. Aku takut dengan pandangan mereka tentangku. Kupandangi satu per satu wajah mereka. Ternyata mereka sangat berisik, mereka saling bicara satu sama lain dengan teriak-teriak, tapi kumaklumi kemudian ternyata semua warga memang nada bicaranya seperti itu. Mulanya aku tersinggung karena aku tidak cukup menarik perhatian mereka, atau suaraku terlalu pelan? Aku begitu gugup dan bingung, aku bahkan tidak bisa bercanda, atau mengeluarkan sesuatu yang bisa membuat mereka tertawa, atau sebuah cerita yang membuat mereka memperhatikan, ternyata menjadi guru tidak semudah yang dibayangkan. Aku menarik napas dalam-dalam. Aku bahkan tidak dapat menemukan absensi kelas. Aku pun mulai berimprovisasi, hari pertama adalah hari perkenalan, aku tidak akan langsung mengajar. Aku harus menghapal semua nama-nama mereka dahulu, dan sedikit karakter mereka, itulah prinsipku.
Aku mengeluarkan sebatang coklat dari tasku, aku tahu di sini mereka jarang sekali melihat coklat seperti ini. Aku acungkan tinggi-tinggi coklat itu dan mulai mengeluarkan suara dengan sedikit teriak, “Jadi ada yang udah tahu nama Ibu? Yang tahu aku kasih coklat!”
Lalu mereka mulai ribut saling bertanya, tampak kebingungan dan antusias, aku pun mulai bisa tertawa dan mencair dengan suasana. Ya, hari pertama tidak begitu buruk.
Salah satu murid yang paling menyita perhatianku adalah Wahyu. Umurnya sudah 14 tahun namun masih duduk di kelas 6. Sejak kali pertama aku melihatnya di saat perkenalanku, dia sedang tidur di antara hiruk pikuk kelasnya. Kali kedua aku mengajar kelasnya dia kupergoki sedang melamun. Suatu hari aku sengaja memanggilnya dan menanyainya sebuah pertanyaan tentang materi pelajaran kami, dan dia dengan ringannya hanya bilang “tidak tahu.” Maka setiap kali aku mengajar, aku tidak pernah melewatkan kesempatan untuk menanyainya. Sering kali dia menjawab tidak tahu, atau hanya segaris senyum kecut yang dia suguhkan untuk jawabannya.
Suatu waktu aku dibuat kesal olehnya. Ketika ulangan, kupergoki dia mencontek buku yang dia duduki. Aku meminta untuk menyerahkan buku itu, namun ketika terdesak dia malah melemparnya ke sudut ruangan, dan sebelum buku itu terjatuh, buku itu melayang tepat di atas kepalaku. Aku kaget dan kesal dibuatnya. Namun aku tidak sanggup marah. Lebih kaget lagi ketika aku mendengar suara yang cukup keras dari arah belakangku, ternyata itu suara Pak Sofyan yang mungkin sedang kebetulan mengamati kelas kami. Dia menegur Wahyu, lalu menyuruhnya untuk keluar kelas. Sejak saat itu dia tidak pernah masuk lagi ketika aku mengajar di kelasnya. Aku merasa marah, bersalah, tetapi juga kehilangan.
“Guru itu bagiku bukan sebuah profesi, bukan sebuah pekerjaan.” Ujar suamiku menenangkanku. Malam itu aku mengadu pada suamiku soal kelakuan Wahyu, soal sekolah yang non-fasilitas, soal kampung yang terpencil, soal tidak digaji, soal segala kelelahan yang kurasakan ketika aku menjadi guru. Aku sempat ingin berhenti.
“Lalu apa?” tanyaku.
“Bukankah guru itu orang tua kedua?” tanya suamiku.
“Terus?” tanyaku lagi.
“Kalau begitu, jadilah orang tua bagi murid-muridmu.” Dia mengusap kepalaku.
“Kita aja belum punya anak, belum tahu gimana jadi orang tua.” Aku ngeyel.
“Tapi kamu pernah jadi anak kan? Coba ingat hal apa yang paling berkesan dari mendiang orang tuamu. Setiap orang tua pasti ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya, rela berkorban demi mereka, selalu sayang pada mereka apa pun yang terjadi, selalu ingin membahagiakan anak-anaknya, selalu bisa memaafkan kesalahan mereka, selalu menerima kita kembali apapun keadaannya, selalu menjadi tempat berpulang bagi keluh kesah kita. Biarkanlah murid-muridmu merasakan kasih sayangmu, termasuk Wahyu. Jadikan dia merasa disayangi” Ujarnya sambil tersenyum. Masya Allah, aku benar-benar terkagum padanya.
Kuperhatikan Wahyu masih belum mau hadir di mata pelajaranku. Aku memberi tugas kepada anak-anak kelas 6. Lalu aku keluar kelas mencari Wahyu. Kutemukan dia ada di belakang sekolah, sedang duduk di tepian pantai teduh itu. Aku pun duduk di sebelahnya. Dia tampak kaget dan risih. Dia memperbaiki posisi duduknya tanpa mengucapkan apa pun. Suasana mendadak canggung.
“Wahyu, apa salahku kepadamu? Mengapa kamu sebenci itu padaku?” aku memberanikan diri untuk bertanya.
Dia tampak terkejut lalu membuang mukanya ke sisi lain.
“Ibu ga salah apa-apa. Aku hanya ga suka sama orang cantik.” Dia akhirnya bersuara setelah lama terdiam.
“Wow, itu pujian atau hinaan?” aku tertawa. Dia mulai menoleh, “Ibu tidak marah?” tanyanya.
“Boleh ibu tahu, kenapa?” tanyaku penasaran.
“Setiap orang cantik pasti pergi meninggalkan kampung ini. Ibu dan kakakku juga pergi dari sini, untuk mengejar sesuatu yang ada di kota. Entah itu kesuksesan, pekerjaan, atau suami tampan dan kaya.” Dia menahan tangis, suaranya bergetar.
“Waduh kalau suami tampan dan kaya itu barang langka, Ibu juga mau.” Aku mencandainya.
“Kalau begitu kamu harus belajar yang rajin, supaya kamu bisa menyusul mereka di kota, ajak mereka pulang, tunjukkan pada mereka bahwa kampung ini indah dan cantik seperti mereka. Kamu dan teman-temanmu kelak bisa membangun kampung ini dan memperindahnya lagi. Tapi semua itu butuh ilmu dan proses. Kamu juga bisa kok jadi pemuda yang tampan dan kaya idaman setiap wanita. Bukankah kamu sudah punya keduanya? Kamu tampan dan manis, dan aku yakin hatimu kaya.” Sahutku tenang.
Kulihat air matanya malah menetes. Kupeluk dia dengan tulus, kutepuk-tepuk bahunya. Aku yakin dia bisa merasakan kasih sayangku.
“Yuk, masuk kelas …” aku menuntunnya.
Sejak saat itu dia mulai bersemangat dalam belajar. Aktif dan interaktif. Aku baru tahu ternyata dia memiliki bakat seni yang luar biasa. Gambarannya sangat bagus dan tampak nyata, dia menggambar deburan ombak di pantai, dan itu sangat menawan.
Dan benar saja, setelah dia lulus. Dia pun pergi ke kota, menyusul ibu dan kakaknya, dia berencana melanjutkan SMP di sana sambil bekerja, juga melukis. Kadang dia mengirim surat padaku dan teman-temannya, menceritakan segala kisahnya di kota. Karena tidak ada kamera, dia pun melukiskan suasana tempat tinggalnya dengan sangat detail dan indah.
Tak terasa kini aku sudah ada di tahun ketiga di kampung ini. Besok aku harus berpamitan. Proyek suamiku telah selesai, dan kami berencana pulang ke Bandung. Aku sudah mulai terbiasa mengajar dan menjadi orang tua bagi murid-muridku. Penghargaan seorang guru justru bukan dari ilmunya, bukan dari gajinya, bukan dari dedikasinya. Melainkan dari kasih sayangnya sebagai orang tua bagi anak-anaknya, sehingga kenangannya akan selalu membekas di hati murid-muridnya, setiap guru akan membentuk karakter murid-muridnya kelak. Dan aku ingin terus menjadi bagian dari itu.***