BUDAYA  

Cerpen Sambal Terasi

sambal 200907084823 471
(Ilustrasi: Rendra Purnama/Republika)

Oleh Isti Rahmawati

Nisa merasa bersalah. Kemarin sambal buatan ibu. Apa besok sambal buatan istri kedua?

____________

“DIK, tolong buatkan aku sambal terasi ya,” pinta Adi.

Nisa langsung mengangguk lembut sambil melipat jemuran yang belum sempat disetrika. Sambal terasi merupakan favorit Adi.

Makan apa pun, sambal terasi pelengkapnya. Mungkin bisa sampai satu kilo untuk dua minggu. Kebiasaan Adi itu dibawa dari rumahnya dulu. Ibunya selalu membuat sambal setiap hari. Tak lupa ditemani berbagai macam lalapan lengkap untuk menambah cita rasa.

Nisa kurang menyukai makanan pedas, apalagi sambal. Namun, untuk memenuhi keinginan suaminya, Nisa terpaksa membuatnya setiap hari. Meski rasanya tak seenak buatan ibu Adi, Adi selalu menagih untuk dibuatkan. Mungkin rasanya sudah mendekati. Itulah sebabnya dia selalu minta dibuatkan.

“Sambal buatan kamu selalu jadi favorit.”

“Mas, harus ya setiap hari makan sambal?”

“Emang kenapa, Dik?”

“Gak kenapa-kenapa.”

“Makan sambal itu ibarat pelengkap. Kalau gak ada ya gak lengkap. Kurang mantep aja.”

“Tapi kan kalau setiap hari bosen,” celoteh Nisa kepadanya. Dengan jaket tebal dan kantong belanjaan Nisa berjalan menyusuri jalan raya menuju pasar.

Matahari belum naik, tapi langkahnya harus segera sampai di pasar untuk belanja bahan masak pagi ini. Apalagi, di tengah masa WFH seperti ini, Nisa wajib ke pasar karena anak-anak dan suaminya berada di rumah.

Beli makanan jadi rasanya lebih boros. Karena itu, dia memilih memasak sendiri.

Nisa memilih sayur dan lauk untuk masak hari ini. Saat melihat cabai, tangannya langsung gatal untuk membeli.

Namun, rasanya hari ini Nisa malas membuat sambal. Satu hari tak ada sambal mungkin tak masalah bagi Adi.

Sepulang dari pasar, tangannya langsung terampil mangolah bahan-bahan yang sudah dibeli tadi. Anak-anak dipegang Adi.

Dengan telaten, Adi memandikan sampai memakaikan baju mereka. Tak lupa polesan bedak yang ditepuk asal menempel di muka kedua anak mereka, Aish dan Hamzah.

Jam makan sudah tiba. Meski masih pagi, Adi sudah terbiasa makan sambal. Namun, kali ini tak ada sajian sambal di meja makan. Adi membuka setiap wadah yang tertutup.

“Dik, sambalnya mana?”

“Nisa gak buat hari ini. Repot Mas kalau setiap hari buat sambal. Gak apa-apa kan?”

“Oh repot. Anak-anak kan aku yang pegang, Dik.”

“Iya juga sih. Nisa malas aja sih sebenernya, Mas,” jawabnya menyeringai.

Adi hanya tersenyum sambil menaruh nasi dan lauk di atas piring. Nisa memperhatikan Adi yang tampak lahap memasukkan setiap suap ke mulutnya.

Nisa ingin memastikan suaminya makan seperti biasa. Tak tampak gurat kekecewaan di wajahnya karena tak ada sambal favoritnya.

Ibarat angin segar, Nisa akan membiasakan suaminya makan tanpa sambal. Hanya sesekali Nisa harus membuat sambal. Nisa tak akan lagi kerepotan di dapur.

Membuat sambal itu agak merepotkan bagi Nisa. Mengupas bawang merah, bawang putih, memetik tangkai cabai yang kadang membuat tangan panas, diulek pula. Belum lagi harus digoreng dan dicicipi agar tak keasinan. Alhasil, lidahnya panas dan kepedasan.

Urusan sambal hari ini selesai. Dalam hati Nisa meminta maaf pada diri sendiri yang sudah malas membuat sambal untuk suaminya.

Padahal, Adi adalah suami yang selalu pengertian dan ringan hati untuk memastikan Nisa merasa nyaman. Namun, Nisa merasa berat jika harus melakukan hal yang sama setiap hari.

“Gak masak sambal lagi, Dik?”

“Enggak Mas, Nisa lupa kalau cabai habis di kulkas.”

“Bukannya waktu aku ngepel rumah, kamu ke pasar?”

“Nah itu, Nisa juga lupa beli waktu di tukang sayur. Maaf ya, Mas.”

Kali ini Nisa merasa bersalah karena wajah Adi menampakkan rasa kecewa. Namun, hanya semangkuk kecil sambal.

Adi tak akan menganggapnya masalah besar. Masalah sambal sama sekali tak akan mengubah sikap Adi.

Adi tetap lahap meski makan ala kadarnya karena tak ada sambal plus lalapan pelengkap nafsu makan. Nisa tetap kokoh pendirian untuk membuat Adi terbiasa tanpa sambal.

Keesokan harinya, Adi sengaja mengunjungi orang tuanya. Demi keamanan, Nisa dan anak-anak tidak diajak.


Adi berkunjung untuk memberi uang bulanan kepada ibunya. Adi hanya sebentar mengunjungi ibunya. Rumahnya hanya berjarak lima kilometer dari rumah Adi.

Nisa mencium punggung tangan Adi ketika Adi pulang, sambil mengambil keresek berisi wadah berwarna merah.
“Mas udah makan? Yuk makan. Nisa udah masak karedok kesukaanmu, tapi tak ada sambal. Karedoknya kubuat pedas sebagai pengganti sambal ya.”

“Iya yuk, tapi Mas makan sedikit aja, ya. Soalnya udah makan di rumah ibu tadi.”

“Pasti karena ada sambal ya?”

“Bukan karena itu, ibu udah sengaja masak buat Mas. Masa Mas gak makan.”

“Ya udah, Nisa makan sendiri kalau gitu.”

“Gapapa, Mas ikut makan juga, nemenin.”

Masih tentang sambal. Adi sengaja makan di tempat ibu demi semangkuk kecil sambal goreng, pikir Nisa.

Dia terus berpikir keras dan merasa tak enak hati. Apa niatnya sejahat itu tak mau membuatkan sambal terasi untuk suaminya sendiri?

Namun, Adi tak pernah protes apa pun yang menjadi pilihan Nisa. Untuk sambal pun, Adi tak pernah meminta Nisa secara langsung meskipun setiap makan selalu ditanyakan.

Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Apakah Adi ridha padanya. Berkali-kali makan, sambal kesukaannya tak tersaji di meja makan.

Nisa menuju dapur untuk membuatkan sambal. Adi berjalan di belakang Nisa.

“Yuk makan malam.”

“Nisa baru mau …”

“Ada sambal ibu di dalam wadah tadi,” jawab Adi menimpali.

Nisa langsung diam seribu bahasa karena malu dan kikuk. Nisa langsung duduk di meja makan menemani Adi makan malam.

Tak ada obrolan santai, apalagi serius di meja makan. Setelah selesai makan, Adi bersiap melanjutkan pekerjaan online-nya di ruang tamu.

Nisa langsung mencuci piring di wastafel. Hari itu Nisa tak akan ke pasar karena bahan masakan tersedia di kulkas.

Namun, jarum jam masih di angka enam, Adi sudah bersiap memakai masker dan sarung tangan membawa kunci motor.

“Mau ke mana, Mas?”

“Mau ke pasar, Dik, anak-anak jagain ya. Takut ngejar.”

Adi bergegas menyalakan motor lalu berlalu meninggalkan Nisa di daun pintu. Padahal, dia belum sempat menanyakan untuk apa Adi ke pasar. Selama Adi ke pasar, Nisa mulai sibuk di dapur.

Masakan pagi itu sudah tersaji saat Adi pulang. Juga ada sambal buatan Nisa yang sudah beberapa hari tak tersaji.

“Yuk makan, enak nih hari ini makannya. Mana gunting ya?”

“Buat apa? Katanya mau makan, tapi yang dicari gunting.”

“Ini, tadi Mas beli sambal ulek instan yang saset.”

“Mas …”

Nisa menutup wajah sambil terisak.

Adi tampak kebingungan pada Nisa yang tiba-tiba terisak cukup keras. Adi menghampiri Nisa sambil berusaha membuka wajahnya yang ditutup.

“Hei, kenapa, Dik? Hari ini capek masak ya? Maafin Mas, tadi pagi gak bantuin kamu pegang anak-anak ya.”

“Bukan itu, Mas …”

“Iya kenapa Dik? Coba cerita.”

Nisa meletakkan tangannya di atas meja sambil sesekali menghapus air matanya.

“Nisa merasa bersalah. Mas sampai beli sambal instan. Kemarin sambal buatan ibu. Apa besok sambal buatan istri kedua? Kenapa Mas gak ngomong aja kalau mau sambal buatan Nisa?”

“Wah gawat, ngomong-nya ngelantur ini. Karena sambal, jadi Adik kesel liat Mas beli sambal?”

“Bukan. Justru Nisa yang merasa bersalah Mas. Nisa ogah buatin Mas sambal, padahal itu favoritmu.”

“Kalau Adik mau masak sambal, masak aja. Enggak pun gak apa-apa.”

“Apa ridha Mas ada di semangkuk sambal?”

“Lah kok gitu, Mas ridha sama kamu Dik. Kamu masak sambal ataupun enggak,” jawab Adi terkekeh.

“Besok-besok Nisa masak sambal terus buat Mas.”

“Iya, Dik. Asal kamu gak capek. Kamu masak itu udah kebaikan. Masak masakan kesukaan suami, itu kebaikan yang luar biasa.”

“Maafkan Nisa, Mas. Nisa gak masak sambal karena Nisa gak suka bau terasi.”

“Kalau kamu buat sesuatu padahal gak suka dan itu buat suami, kamu bisa masuk surga dari pintu mana saja. Terasi yang bau mungkin sewangi kasturi surga.” Air mata Nisa makin mengucur deras di pipi merahnya. ***

Sumber: Republika, Senin, 7 September 2020