SOSOKNYA begitu anggun dan memesona. Wajahnya cantik jelita dan keibuan. Sikapnya yang sopan tetapi tegas membuat lelaki di sekitarnya menjadi segan meskipun menyimpan asa untuk mendapatkan hatinya. Maka banyak karyawan lelaki baik yang bujangan maupun yang telah menduda harus menggantungkan mimpi mereka di awang-awang untuk bisa bersanding dengannya.
Namanya Aryanti. Dia menjadi QC di bagian produksi pada perusahaan kami di bidang industri tekstil. Sedangkan aku sendiri adalah kepala divisi produksi Drawing Persiapan 1. Bagian Drawing Persiapan 1 adalah bagian paling awal untuk produksi kain sebelum dilanjutkan oleh beberapa proses produksi berikutnya yang bermuara di “packing” atau pengepakan. Kami bekerja sebagai karyawan tetap di sebuah perusahaan tekstil ternama di kota ini. Sebagai sesama karyawan, kami harus menjalin hubungan profesional dengan deskripsi pekerjaan masing-masing.
Sesungguhnya dia lebih pantas disebut atasanku karena “hitam merahnya” nasib produksi divisi yang kupimpin sangat bergantung kepada “acc” darinya sebagai QC. Jika dia bilang “it’s oke”, proses produksi akan dilanjutkan di bagian Drawing Persiapan 2 dan seterusnya. Sebaliknya jika dia bilang “it’s not oke”, kami terpaksa mengulang pekerjaan dengan “merajang” lagi produk gagal kami. Maka jangan harap hubunganku dengannya dalam konteks pekerjaan bisa melahirkan keakraban apalagi kemesraan. Hubungan yang terjalin bernuansa kewaspadaan demi terjaganya kualitas produksi.
Namun hati manusia bukanlah batu karang yang angkuh dan tangguh diterjang gelombang samudera. Hati manusia bukan pula robot mesin produksi yang selalu bekerja dengan prosedur sistematis dan baku. Begitu pula halnya dengan hatiku dan hatinya. Hubungan kerja yang formal dan profesional, yang kerapkali dihiasi dengan perbedaan pendapat cukup tajam, masih menyisakan setitik celah bagi dua hati yang lelah untuk saling mengisi dan berbagi.
Bermula dari aku yang sempat memprotesnya karena dia sering mendiskualifikasi produksi divisiku dengan alasan yang kuanggap terlalu mengada-ada. Soalnya aku memang memiliki pengalaman dan kualitas kerja yang cukup baik yang diakui oleh perusahaan. Direktur Utama, melalui Kepala Bagian Personalia tentu tidaklah asal-asalan mengangkatku menjadi kepala divisi produksi Drawing Persiapan 1 karena kinerjaku memang teruji sangat baik semenjak menjadi karyawan biasa, lalu naik menjadi Karu (Kepala Regu) hingga sekarang ini. Maka aku sangatlah paham mana produk yang layak lanjut proses dan mana yang harus didaur ulang. Penolakan-penolakan Aryanti sebagai QC inilah yang akhirnya membuka celah bagi kami untuk berdebat, berdiskusi, dan bersama-sama mencari solusi untuk menghasilkan produksi tekstil yang berkualitas.
Akhirnya aku jadi tahu bahwa dia telah lama menjanda. Lima tahun sudah suaminya yang bekerja di sebuah BUMN terkenal meninggal dunia karena sakit. Selama itu pula Aryanti tetap menjaga kesetiaannya kepada mendiang yang sangat dicintainya. Aku pun semakin kagum padanya karena dia memilih tetap menjadi single parent dengan seorang putri yang kini beranjak remaja walaupun beberapa kali ada lelaki dari kalangan menengah ke atas hendak memperistrinya.
Dalam beberapa kesempatan di luar jam kerja yang padat, Aryanti mengatakan bahwa dia ingin bertukar pikiran denganku. Bagiku ini semacam ajakan damai darinya dari “perang” strategi yang selama ini kami alami di tempat kerja.
Sesungguhnya aku cukup trauma jika harus sering berdiskusi dan berdebat dengan wanita yang tangguh dan cerdas itu. Sebagai seorang lelaki, wajar jika aku lebih suka ngobrol santai dan romantis dengan wanita. Bagiku bercanda dengan wanita sangat menyenangkan. Sebaliknya, berdebat dengan wanita sangat melelahkan. Bagaimanapun aku tak ingin merasakan kelelahan mental karena adu urat saraf dengan wanita yang tangguh ini.
Sekali dua kali ajakan Aryanti kutolak dengan halus. Ada-ada saja alasanku. Sedang repot di rumahlah. Sedang bersantai dengan anak-anaklah. Kegiatan kerja bakti di lingkunganlah. Segala macam alasan palsu kukirimkan lewat WA agar aku tidak dikuasai wanita cantik itu. Hingga akhirnya suatu saat dia berkirim pesan dengan huruf kapital semua, “SAYA TUNGGU DI RUMAH HARI MINGGU JAM SEMBILAN, ADA YANG PERLU KITA BICARAKAN.”
Sejatinya telah setahun aku menduda. Aku hidup bertiga dengan dua anakku, laki-laki dan perempuan yang masih duduk di bangku SD. Istriku, Herlina, telah berpulang untuk selama-lamanya karena kanker kelenjar getah bening yang diidapnya sebelum kami menikah.
Dua belas tahun lamanya kami merenda hari-hari dalam suka dan duka. Sesungguhnya aku telah mengetahui bahwa mendiang istriku dahulu telah menderita penyakit ganas itu sebelum melamarnya. Walaupun ia sempat memintaku meninggalkannya karena tak mau melihat hidupku ikut menderita bersama penyakitnya, aku tetap teguh untuk menikahinya. Maka Herlina kerap berseloroh menyebutku sebagai “lelaki malang dengan cinta tak berpamrih”. Di akhir hayatnya ia menitipkan kedua buah hati kami dan menyilakanku untuk segera mencari pengganti ibu bagi mereka. Pesan terakhir itu hingga kini belum sanggup kupenuhi.
Akhirnya aku bisa mengenal Aryanti secara lebih dekat. Ternyata seperti dugaanku, ia ingin membicarakan masalah pribadi. Ia menyampaikan bahwa aku adalah lelaki yang bertanggung jawab dan smart. Oleh karenanya ia ingin aku bisa menjadi sahabatnya atau bahkan lebih dari itu. Namun aku menyimpulkan bahwa Aryanti sangat membutuhkanku sebagai pendamping hidupnya. Sayangnya, wanita ini memang punya gengsi tinggi dan berbanding terbalik denganku yang tidak begitu hirau akan selera gengsi-gengsian seperti itu.
Hari-hari pun berlalu menjadi minggu. Minggu berganti menjadi bulan. Aku dan Aryanti sudah menjalin hubungan yang akrab. Namun tak ada di antara kami yang berani memproklamasikan hubungan ini sebagai sepasang kekasih. Kami masih terlalu “jaim” untuk pacaran seperti layaknya anak muda.
Perubahan positif yang kurasakan adalah iklim hubungan kami di tempat kerja kini lebih sejuk dan damai. Entah aku yang lebih bagus dalam memimpin divisiku, atau mungkin juga karena Aryanti yang telah melonggarkan ketatnya kontrol kualitas produksi divisiku. Namun yang penting adalah produksi tekstil perusahaan kami tetap unggul dan berkualitas di pasaran. Hingga terkadang terlintas dalam benakku bahwa jangan-jangan selama ini Aryanti begitu galak dan ketat mendiskualifikasi produksiku hanyalah karena ingin mendapatkan reaksi dan perhatianku.
Kami masih selalu menjaga jarak karena ada anakanak kami yang akan terbawa dalam langkah hubungan kami selanjutnya. Bukan berarti selama ini kami “back street” di belakang mereka. Bahkan kami sudah mengenalkan mereka satu sama lain. Terlebih kedua anakku yang begitu antusias menyambut Aryanti dan anak gadisnya yang mereka panggil “Mbak”. Semua seakan menjadi tampak begitu mudah dan lancar menuju ke pelaminan. Keputusan tinggal bergantung kepada diriku dan Aryanti. Itulah yang kemudian membuat kami mulai membangun komitmen untuk menjalin hubungan ini hingga
ke jenjang pernikahan.
Kesetiaan Aryanti pada mendiang suaminya tak perlu disangsikan lagi. Semua foto mendiang masih terpajang. Peninggalan pribadi mendiang masih tersimpan rapi di dalam etalase dan dinding-dinding ruangan. Bahkan profil Aryanti di media sosial masih membawa serta nama suaminya. Seringkali dalam obrolan dan cerita, Aryanti menggambarkan bahwa mendiang suaminya adalah sosok sempurna yang tak tergantikan.
Aku mendengarkannya dengan kagum karena kesetiaan wanita ini. Putri tunggalnya yang sudah mulai akrab denganku, pernah mengatakan bahwa mamanya selalu rutin menziarahi pusara sang mendiang setiap akhir pekan. Sejenak aku terkagum-kagum karena bisa mengenal dekat seorang wanita yang setia pada pasangannya yang aku berharap kesetiaan luar biasa itu beralih kepadaku.
Begitu seringnya dia berkisah tentang kelebihan-kelebihan mendiang suaminya, justru membuat perasaan tersisihkan terbit dan tumbuh berkembang di hatiku. Aku merasa ada yang tidak imbang dalam percintaanku anehku dengan Aryanti. Bukan karena aku sosok pendengar yang baik dan jarang berkesempatan bercerita. Namun karena komunikasi di antara kami terasa begitu jomplang. Aryanti bebas dan dominan dalam mengutarakan isi hatinya, perasaannya, dan cita-citanya. Sedangkan aku selalu berperan sebagai pendengar setia yang pasif alias lebih pas disebut wadah untuk tadah curhatnya.
Aryanti hampir tak pernah bertanya apa yang kurasakan. Aku bahkan tak sempat bercerita masa laluku. Aku tak sempat berkisah perjalananku menjadi seorang duda. Aku juga tak sempat mendeskripsikan karakter kedua anakku yang masih butuh sosok seorang ibu sebagai pengganti Herlina. Aryanti seakan lupa memberiku kesempatan untuk berkisah tentang keluarga kecilku.
Aku teringat kembali pesan chat Aryanti yang memintaku datang ke rumahnya untuk membicarakan sesuatu. Sesuatu itu adalah kehidupan dan suka-dukanya, bukan kehidupan dan suka-dukaku. Obrolannya jika tidak masalah obsesinya memajukan perusahaan, pasti tentang kenangan indah ketika masih bersama sang mendiang.
Aku merasa baru saja siuman dari mimpi galau kronologis hubungan kami. Aryanti memang membutuhkanku sebagai seorang pendengar yang setia tempat dia bisa berbagi cerita dan suka dukanya. Namun dia mengabaikan kenyataan bahwa sang pendengar setia pun membutuhkan tempat untuk berbagi kisah hidupnya.
Hingga akhirnya terjadilah percakapan penting itu. Aku ingin mengembalikan hubungan percintaan ini kepada porsi yang selayaknya. Atau jika sampai tidak bisa bertemu antara pemikiran kami berdua.
“Aryanti, setelah sekian lama kita menjalin hubungan ini, aku ingin ada kesimbangan di antara kita.”
“Maksudmu apa, Mas? Apakah selama ini hubungan kita tidak seimbang? Tidak seimbang bagaimana? Aku gak ngerti, deh, Mas …,” sahutnya tak suka pada arah pembicaraanku.
“Selama ini aku mengagumimu sebagai seorang wanita yang tegar dan mandiri. Wanita karier yang cantik dan cerdas. Istri yang sangat setia pada suami meskipun telah lama meninggal. Kau pun ingin memiliki pendamping hidup lagi, bukan?” tanyaku.
“Lalu masalahnya apa, Mas?” jawabnya balik bertanya.
Kuhela napas yang tiba-tiba terasa sangat berat. Kuhimpun segenap kekuatan dan keberanian agar bisa berkata setenang mungkin.
“Aryanti, tampaknya kau belum siap menerima orang lain sebagai pengganti mendiang suamimu. Kau sangat setia pada dia yang begitu sempurna. Masalahnya aku tak bisa sempurna seperti dirinya,” lanjutku.
Ia seperti baru tersentak sadar akan kenyataan yang kuungkapkan. Ditatapnya aku lekat-lekat. Namun kupaksa diriku menuntaskan segala yang terasa dalam pikiranku selama ini.
“Setiap kali kau menceritakan dia, aku merasa semakin tersisih darimu. Padahal aku membutuhkan seseorang yang bisa berjalan bersamaku menuju masa depan. Aku memerlukan pendamping hidup yang bisa menerimaku apa adanya sepeninggal istriku. Anak-anakku membutuhkan sosok seorang ibu yang bisa hidup dalam kenyataan baru, bukan mengejar kenyataan di masa lalu.”
Kututup percakapan itu dengan pernyataan, “Aryanti, maafkan aku. Demi kebaikan kita semua, kita tunda saja rencana pernikahan kita sampai waktu yang belum bisa kita tentukan.”
Wanita cantik itu menyela dengan nada berapi-api, “Mas, jangan gegabah memutuskan ini. Kau akan menyesal sekali jika kita sampai gagal berumah tangga.”
“Ya, mungkin aku akan menyesal sekali jika gagal menikahimu. Namun aku lebih khawatir akan menyesal berkali-kali jika telanjur menikahimu tanpa ada rasa saling pengertian di antara kita. Selamat tinggal, Aryanti. Aku pamit.”
Kulangkahkan kakiku meninggalkannya yang masih terduduk mematung di tengah rumah mewahnya. Tak ada air matanya yang tertumpah. Tak ada ratap tangis kehilangan yang menyayat hati. Bahkan tak juga kunjung pula tercipta adegan dia berlari mengejarku lalu memelukku dengan penuh cinta dari belakang dan meminta maaf atas kegoisannya selama ini.
Padahal aku sudah mencoba melambatkan semua gerakanku laksana slow motion dalam film-film drama percintaan untuk menunggu moment itu. Boleh jadi dia lebih memilih diam saja daripada harus berlari menghambur ke arahku karena baginya aku “kurang level” untuk mendapatkan “hadiah” itu. Ternyata harapanku untuk dapat mengusik naluri kewanitaannya harus berakhir dengan sia-sia.
Barulah kusadari bahwa Aryanti mencintaiku dengan kadar yang tidak sesuai harapanku. Mungkin dia memang merasa nyaman jika berada di dekatku tetapi belum bisa memberikan sepenuh hatinya untukku. Di satu sisi Aryanti membutuhkan kehadiranku sebagai sosok lelaki pendampingnya sementara di sisi lain dia belum siap menerima pengganti yang tidak sesempurna mendiang suaminya.
Kini aku jadi sangat iba pada wanita itu. Tidak ada rasa kecewa dan benci di hatiku padanya. Namun untuk tetap bertahan bersamanya di bawah bayang-bayang kebesaran mendiang suaminya, aku tak sanggup. Wanita cantik, cerdas, tangguh, dan setia itu akan selalu berada di persimpangan jalan antara memilih bertahan pada masa lalu cintanya yang begitu indah atau memperjuangkan cintanya di masa depan. ***
J.J. Rizal, Kepala SMP Negeri 3 Satu Atap Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.