Deni Rahman, Jejak Berliku Pecinta Literasi dari Kota Bandung

1631379111083 WEB 2
Kiprah Deni Rachman dalam industri perbukuan sudah berlangsung sekitar 20 tahun. Kendati terkenal sebagai penjual buku lawas di LawangBuku, jejaknya dalam dunia literasi di Kota Bandung sebetulnya lebih dari itu, (Foto: Beritabaik.id).

ZONALITERASI.IDKiprah Deni Rachman dalam industri perbukuan sudah berlangsung sekitar 20 tahun. Kendati terkenal sebagai penjual buku lawas di LawangBuku, jejaknya dalam dunia literasi di Kota Bandung sebetulnya lebih dari itu.

Ya, berbagai aktivitas literasi pria kelahiran Sukabumi 16 Juni 1979 ini begitu lengkap. Mulai dari mengelola perpustakaan, membuat agen literasi, klab baca, hingga sebuah toko buku lawas, LawangBuku, ia geluti.

Perjalanan Deni dalam dunia perbukuan dimulai pada 2001. Kecintaannya pada buku-buku sastra, menyeret lulusan Program Studi Kimia FMIPA Universitas Padjadjaran (Unpad) ini menuju Kota Bandung.

Bermodal uang Rp. 300 ribu hasil pinjaman dari kawannya, Deni membelanjakan semua uangnya dengan membeli 20 judul buku sastra di Pasar Buku Palasari.

Berbekal modal 20 biji buku itulah Deni mulai berjualan. Ia menggelar lapak dagangannya saban hari Minggu di Pasar Kaget Lapang Gasibu.

“Pagi-pagi benar saya harus sudah berada di Lapang Gasibu, bersicepat dengan para pelapak lain. Jika tidak, tidak akan kebagian tempat untuk menggelar dagangan,” kata Deni, beberapa waktu lalu.

Luas lapaknya memang tidak seberapa, tapi di sanalah tumpuan hidupnya dimulai. Terkadang Deni tidak kuasa menyembunyikan rasa malunya ketika mulai ngampar. Perasaan gengsi itu menyelinap dalam dirinya.

“Tapi hidup toh tidak akan bergayung sambut jika hanya mengandalkan gengsi. Rasa gengsi itu saya buang jauh-jauh. Keinginan saya untuk menjadikan buku sebagai jalan hidup, menghilangkan rasa gengsi itu,” ujarnya.

Dari ngampar buku itulah nama ‘Lawang’ dipakai Deni untuk menamai lapak bukunya. ‘Lawang Buku Beranda’ yang kemudian lebih dikenal dengan ‘Lawang Buku’ saja.

“Filosofinya, kata lawang dalam bahasa Sunda berarti ambang pintu, semacam labirin memasuki jagat raya pengetahuan dan wacana,” terangnya.

Berjualan di Kampus

Pengalaman ngampar buku di lapang Gasibu itu memberinya sebuah kekuatan dan pembelajaran. Karena frekuensi jualannya yang hanya satu kali dalam seminggu, Deni mencoba melebarkan sayap dagangannya dengan berjualan buku di beberapa kampus di Kota Bandung.

Di dalam kampus-kampus itulah Deni berkenalan dengan banyak aktivis kampus dan pegiat literasi. Dalam perkenalannya dengan sesama pecinta sastra, pada 2003 Deni mendirikan ‘Klab Baca Pram’ yang kegiatannya membaca dan mendiskusikan karya-karya Pramoedya Ananta Toer bersama-sama.

Di tahun yang sama, Deni berkenalan dengan seorang pegiat literasi, Wiku Baskoro, dan mengajaknya untuk membuat sebuah agen literasi bernama ‘Komunitas Dipan Senja’.

Bersama komunitas barunya itu Deni berperan sebagai distributor buku dan penyokong pembuatan ‘Peta Literer Bandung’, wadah untuk pendokumentasian dunia literasi di Kota Bandung.

“Setelah bertahun-tahun bergelut dengan buku, bagi saya, mengoleksi buku bukan hanya sekadar hobi, tapi juga bisa menjadi ladang rezeki. Mengoleksi buku itu ada nilai investasinya. Apalagi jika kita memiliki buku-buku lawas yang hanya diterbitkan terbatas, luar biasa banget …,” ungkapnya.

Penghargaan

Pada 2009, Deni menjadi salah satu pendiri Asian-African Reading Club, komunitas untuk menjaga Semangat Bandung dan nilai-nilai Konferensi Asia-Afrika.

Selain itu, Deni menjadi salah satu pendiri Sahabat Museum Konferensi Asia-Afrika (MKAA) pada 2011. Komunitas ini bertujuan mengampanyekan museum, mempromosikan kebudayaan dan mengembangkan klub peminatan.

Atas dedikasi di bidang literasi, Deni pernah mendapat penghargaan dari Kementerian Luar Negeri RI sebagai pendiri Sahabat Museum Konferensi Asia Afrika dan Asian-African Reading Club pada 2013. (des/berbagai sumber)***