ZONALITERASI.ID – Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat, sejak Januari hingga Mei 2023, ada 202 siswi yang menjadi korban kekerasan seksual di lingkungan sekolah di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan Kementerian Agama (Kemenag).
Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti, mengatakan, sudah terjadi 22 kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan dengan jumlah korban mencapai 202 siswi.
“Pelaku kekerasan seksual adalah orang-orang yang seharusnya dihormati dan melindungi para peserta didik selama berada di satuan pendidikan,” kata Retno, dalam siaran pers yang diterima Zonaliterasi.id, Minggu, 4 Juni 2023.
Berikut ini catatan FSGI tentang kasus kekerasan seksual di sekolah hingga bulan Mei 2023:
– Pemilik dan atau pemimpin pondok pesantren: 18,20%
– Kepala sekolah: 13,63%
– Guru ngaji (satuan pendidikan informal): 13,63%
– Pengasuh asrama/pondok: 4,5%
– Kepala madrasah: 4,5%
– Penjaga sekolah: 4,5%
– Lainnya: 9%
Kasus Kekerasan Seksual di Sekolah dan Luar Sekolah
Diketahui, dari 22 kasus kekerasan seksual yang terjadi sepanjang bulan Januari-Mei 2023, sebanyak 50% terjadi di satuan pendidikan di bawah Kemendikbudristek. Dari 11 kasus, 1 kasus terjadi di luar sekolah.
Namun, menurut Retno, pihak sekolah diduga melakukan kekerasan dengan memaksa orang tua membuat surat pengunduran diri karena dianggap membuat malu sekolah.
“Padahal, anak korban siswa dari keluarga tidak mampu dan merupakan korban perkosaan 8 orang tetangganya,” katanya.
“Memaksa ortu korban mengundurkan diri, berarti pihak sekolah sudah menghilangkan hak atas pendidikan bagi anak korban perkosaan tersebut,” sambung Retno.
Sementara itu, 8 kasus terjadi di satuan pendidikan di bawah Kemenag. Tiga kasus lainnya terjadi di lembaga pendidikan informal seperti tempat pengajian sekitar rumah, dengan korban mencapai puluhan anak.
“Usia korban berkisar 5-13 tahun. Perlu dipikirkan mekanisme pengawasan lembaa pendidikan informal seperti tempat mengaji ini agar anak-anak tidak lagi menjadi korban kekerasan seksual,” ucap Retno.
Kasus Kekerasan Seksual di Sekolah Per Provinsi
Berdasarkan catatan FSGI, wilayah kejadian kekerasan seksual di satuan pendidikan berada di 8 provinsi dan 18 kabupaten/kota dengan rincian sebagai berikut:
– Provinsi Lampung: Kabupaten Mesuji, Lampung Tengah, -Lampung Selatan, Lampung Utara, dan Lampung Barat
– Provinsi Jawa Tengah: Kabupaten Batang, Kota Semarang, dan Kabupaten Banyumas
– Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta: Kabupaten Gunung Kidul, dan Sleman
– Provinsi Jawa Timur: Kabupaten Jember, Kota Surabaya, dan Kabupaten Trenggalek
– Provinsi DKI Jakarta: Kota Jakarta Timur
– Provinsi Bengkulu: Kabupaten Rejang Lebong
– Provinsi Sulawesi Selatan: Kota Parepare dan Kota Makassar
– Provinsi Sumatera Utara: Labuhanbatu Utara
Modus Kekerasan Seksual di Sekolah
Dari 22 kasus di tahun 2023 ini, FSGI mencatat 13 modus pelaku untuk melakukan aksi bejad terhadap anak korban di sekolah dan satuan pendidikan lain. Berikut daftarnya:
– Dibujuk agar mendapatkan barokah dari Tuhan oleh pelaku yang pemilik pondok pesantren (ponpes).
– Evaluasi pembelajaran di dalam ruang Podcast Ponpes pada pukul 23.00 WIB kemudian dicabuli.
– Diiming-imingi uang dan jajanan oleh pelaku.
– Melapor bahwa telah dilecehkan teman sekolah ke Kepala sekolah, malah dicabuli kepala sekolah di ruang UKS dengan dalih memeriksa dampak pelecehan yang dilaporkan.
– Guru kelas menyentuh pinggang dan dada, siswinya melawan, tetapi si guru malah mengulangi.
– Guru agama periksa PR, siswi dipangku dan diminta kakinya mengangkang.
– Pelaku bukan guru memulai modus berkenalan dengan anak korban melalui media sosial, lalu memasukkan korban ke grup Whatsapp teman sekolahnya, melakukan video call, mengirimi video porno, dan melakukan kekerasan seksual berbasis daring terhadap 22 siswi SD dari sekolah yang sama.
– Korban diberi uang dan diajak ke kantin, lalu dicium dan diremas dadanya.
– Menutup muka korban dengan handuk saat pembelajaran terkait materi indera perasa, pelaku kemudian cabuli korban.
– Saat bertindak sebagai pembina dalam kegiatan Masa Bimbingan Fisik dan Mental (Madabintal) peserta didik baru di bumi perkemahan, pelaku mencabuli 3 siswi yang merupakan kawan 1 kelompok di salah satu pos jaga.
– Pelaku berpura-pura menikahi korban secara siri tanpa wali maupun saksi nikah. Setelahnya, pelaku melakukan kekerasan seksual kepada para santriwatinya dengan dalih sudah suami-istri.
– Pelaku berdalih menghukum korban karena melakukan pelanggaran saat proses pembelajaran.
– Pelaku berdalih bahwa anak-anak korban sudah biasa memeluk dan menciumi sebagai ganti salim (jabat tangan).
Rekomendasi FSGI
1. FSGI mendukung Kemendikbudristek melakukan perubahan terhadap Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan tindak kekerasan di satuan Pendidikan, khususnya merinci apa saja perilaku di sekolah yang termasuk kekerasan seksual.
2. FSGI mendorong Kementerian PPPA untuk terus mensosialisasi juga hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 atau Whatsapp 08111-129-129 untuk melaporkan kekerasan seksual yang dialami dan mendorong pembentukan sekolah-sekolah ramah anak.
3. FSGI mendorong Kementerian Agama RI untuk melakukan sosialisasi dan implementasi kebijakan PMA No. 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual di Madrasah dan pondok pesantren atau satuan pendidikan di bawah kewenangan Kemenag.
4. FSGI mendorong dinas-dinas pendidikan kabupaten, kota, serta provinsi dan kantor Kemenag kabupaten, kota, maupun provinsi untuk kerja sama dengan satun kerja perangkat daerah (SKPD) seperti dinas pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak (PPPA) dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di kabupaten, kota, maupun provinsi untuk penanganan psikologi anak-anak korban kekerasan seksual, mengingat guru-guru BK tidak ada di jenjang SD.
5. FSGI mendorong pemerintah daerah untuk kerja sama dengan perguruan-perguruan tinggi di wilayahnya yang memiliki fakultas psikologi untuk bantu pemulihan psikologis anak-anak korban kekerasan seksual, mengingat proses pemulihan psikologis anak korban kekerasan seksual umumnya butuh waktu cukup panjang dan harus sampai tuntas.
Retno menegaskan, maraknya kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan baik formal maupun informal harus menjadi perhatian khusus oleh semua pihak. Perlu mekanisme pengawasan agar anak-anak tidak lagi menjadi korban. (des)***