ADA yang menarik di era digital sekarang ini. Satu sisi warga belajar bisa berkomunikasi secara online, di sisi lain sangat memerlukan kegiatan yang langsung dijalani dengan mobilitas tinggi. Sebut saja karya wisata atau study tour yang sejak lama kita ketahui.
Aktivitas inilah yang membuat kita merasa perlu meningkatkan kreativitas sekaligus produktivitas yang tinggi pula. Maka tak perlu heran saat kita temukan dua insan duduk di angkot berhadapan, tapi berkomunikasi via handphone. Unik dan menarik jika perhatian kita lebih kritis dan mendalam. Lalu, di mana efekticitas dan efisiensinya hidup kita ini?
Cerita pengalaman di atas memberi gambaran kepada kita, bahwa sebuah masa akan datang tanpa diundang. Sekaligus akan berubah serta hilang seperti halnya kehidupan dan kematian kita di dunia ini.
Sahdan, kita mengenang 17 Agustus yang baru lalu telah membakar semangat hidup untuk terus berjuang. Teriak merdeka lebih lengkap dengan imbauan edukasi dengan kurikulumnya yang ikut merdeka pula. Lalu, sekolah atau kampus spontan turut merdeka. Berikutnya, bebaslah hati insani untuk berprilaku semau gue.
Tidak! Tidak harus begitu menyikapi kemerdekaan ini. Merdekakan nurani sejernih embun pagi, tapi jangan pekakkan telinga dengan hanya teriak… Merdeka!
Bicara edukasi menggelitik hati yang ingin merdeka seutuhnya. Bebas berkiprah dan bekerja serta bebas memilih sekolah terbaik. Syaratnya, adakah kemampuan untuk menjalaninya? Padahal orang banyak dan sering berteriak, biaya pendidikan teramat mahal. Lantas apa yang harus membuat hati tenang dalam menggali ilmu pengetahuan?
Rupanya ini pula yang menjadikan kontradiktif antara perencanaan dan perbuatan. Selanjutnya, akan berjarak antara harapan dan realita. Pendek kata, teknologi tinggi memerlukan biaya tak sedikit, dan pemanfaatannya sering tak tepat sasaran alias kurang praktis dan tidak efektif. Seperti gambaran dua insan di dalam angkot tadi.
Menelusuri jejak Pendidikan yang dimotori Ki Hajar Dewantara…
Ing ngarso sung tulodo
Ing madyo mangun karso
Tut wuri handayani
Jelas, belajar itu sederhana sekali bila berproses sesuai aturan alami yang dijalani secara ketulusan. Semangat berjuang untuk estafeta ilmu lebih utama dibanding kerja keras membangun menara gading tapi berbelok dari proses nurani jernih tadi. Niat estafeta ilmu berubah menjadi hitung laba atas pembangunan fisik gedung megah. Ini yang sering mengelabui evaluasi para evaluator.
Hasilnya, bukan moral dan etika yang didambakan, melainkan lembaran kertas ijazah dan sertifikat yang akan menuntut balik. Bagaimana kelak mendapatkan gaji tinggi sesuai golongan pendidikan?
Tidak bisa dipungkiri bila hal itu telah terasa lama terjadi. Akibat dari keikhlasan estafeta ilmu yang tidak berjalan alami. Semua terakomodir dan dihitung secara anggaran di atas kertas. Tidak di lubuk hati terdalam! Istilah wani piro sudah merebak ke ujung dunia. Nyebrang ke akhirat tak bisa kita sadari untuk kapan waktu bertobat. Padahal konon katanya hidup itu ibadah, tapi buktinya cari untung secara finansial pula.
Begitulah sekelumit romantika edukasi kita selama ini. Apa pun realitanya, toh kita masih menyadari, bahwa pendidikan berjalan sepanjang hayat dan pendidikan tanggung jawab semua.
Pendek kata, mari berjuang menuju titik akhir agar cita-cita anak bangsa tercapai. Jalani proses sesuai aturan dan tetap beritikad ilmu amaliah serta peduli pada sesama.
Harapan besar ini akan diuji lima tahun ke depan seraya bersandar pada kebijakan Kabinet Merah Putih, terlebih kebijakan Kementerian Pendidikan yang siap menjalankan tugas mulia.
Semoga Edu Wisata menjadi guliran perjalanan para penggiat pendidikan demi Bangsa Indonesia yang lebih beradab dan sukses lahir batin.
Merdeka!***
Suryatno Suharma, pemerhati pendidikan, alumni Jurusan Pendidikan Basa & Sastra Sunda FPBS IKIP (UPI) Bandung