Catatan dari Festival 7 Sungai ke-5 Desa Wisata Cibuluh Tanjungsiang Subang
ZONALITERASI.ID – Menjelang siang, pada Sabtu (22/11/2020), sekitaran lapangan sepakbola Tarungjaya Desa Cibuluh, Kecamatan Tanjungsiang, Kabupaten Subang, terasa sedikit ramai. Sepasang penari tampak berlenggak-lenggok lincah di tengah lapangan ditingkah pirigan gamelan yang menggema dari instalasi soundsystem. Sekitar puluhan orang tampak berderet di sekitaran lapangan. Deretan mereka berjarak, lumayan, dari orang yang satu ke lainnya terpisah nyaris 1 meter. Semuanya bermasker, ada juga beberapa yang mengenakan pelindung wajah atau face shield. Sejenak waktu beranjak hingga sekelompok wanita memasuki area sembari membawa angklung, seraya memanjakan telinga dengan lagu Cibuluh Tangguh; lagu kebanggaan bagi masyarakat Cibuluh. Di bawah rimbun sebuah pohon, terpampang selembar backdrop besar berwarna hijau. Backdrop itu dengan jelas bertuliskan, “Festival 7 Sungai #5, 22 November 2020″.
Keramaian itu bukan tanpa sebab, hari itu Desa Cibuluh kembali menggelar Festival 7 Sungai (F7S) ke-5. Meski tak semeriah tahun-tahun sebelumnya -karena pandemi Covid-19 -, festival ini tetap melahirkan kesan dan pesan yang kuat bagi pelestarian lingkungan dan budaya melalui pengembangan kepariwisataan desa.
Kali ini memang tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, acara Festival 7 Sungai yang dinisiasi oleh Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Tarungjaya Desa Cibuluh besama mitra pendamping program budaya dan pariwisata; Yayasan Bale Budaya Bandung (YB3) ini dihelat secara sederhana. Ihwal sederhananya perhelatan F7S ini, seperti yang disampaikan Ketua Bumdes Tarungjaya, Daming Agus melalui pesan whatsapp.
“Pada acara kali ini, kami hanya melibatkan warga lokal tanpa mengundang tamu dari luar. Pesertanya pun hanya perwakilan dari masyarakat sungai di desa kami yaitu komunitas Lintarmania River Society dan Leucir Tubing DWC,” tulis Daming.
Penyederhanaan acara ini, menurut Daming lebih disebabkan karena pandemi Covid-19. Oleh karenanya, acara ini dilakukan dengan tetap mengikuti protokol kesehatan. Meskipun hanya melibatkan warga lokal Desa Cibuluh, lanjut pengajar di salah satu SMA di Subang ini, acara tersebut dapat disaksikan oleh khalayak luas karena selain acara in the spot yang hanya dapat dihadiri oleh beberapa orang, acara ini pun ditayangkan secara virtual melalui aplikasi zoom meeting dan channel youtube salah satu media online di Subang.
F7S; Revitalisasi Biologis dan Kultural
“Bihari Ngancik di Kiwari, Ayeuna Sampeureun Jaga,” begitu tema yang terpampang pada backdrop. Untaian kata itu menyiratkan sebuah kesan sekaligus pesan, penyelenggara dan masyarakat Desa Wisata Cibuluh seolah berupaya membenamkan kembali sebuah gagasan kearifan lokal tentang cara memanfaatkan alam pada benak kita. Kearifan lokal dari masa lampau adalah landasan yang dapat digali di masa kini, sehingga alam dan budaya tetap terpelihara.
Begitu pula pandangan Daming Agus. Penggerak komunitas Sungai ini menyatakan, tema ini menunjuk pada upaya revitalisasi biologis sungai khususnya jenis ikan native (endemik-red).
“Kekayaan sumber daya ikan sungai yang kian hari kian berkurang karena ulah manusia yang serakah dan akibat adanya bencana, mendorong kami untuk berusaha melestarikannya. Pada momen ini, kami dari komunitas Lintarmania river society akan melakukan penebaran berbagai ikan native yang diambil dari berbagai sungai di Subang,” paparnya.
Ia menuturkan, untuk penebarannya akan dilakukan secara simbolis di lokasi sungai yang terbuka dan sebagian besar akan dilakukan pada spot-spot ikan yang memang dirahasiakan.
“Kami sengaja merahasiakan lokasi spot ikan-ikan itu. Tindakan ini sebagai upaya untuk menjaga agar lokasi-lokasi tersebut tidak diganggu oleh mereka yang tidak bertanggung jawab,” ujar Daming.
Komunitas Sungai yang bersandi Lintarmania River Society, memang menjadi salah satu komunitas yang paling ‘getol’ dalam menjaga kelestarian ikan natif, terutama di Subang. Selain melakukan penebaran ikan, mereka juga melakukan penanaman pohon di sepanjang bantaran sungai, bersih sungai, dan permainan sungai, serta Pemasangan imbauan dan larangan cara menangkap ikan sesuai UU No 31 Tahun 2004.
“Ini yang tengah kita lakukan. Karena dengan memelihara sungai berarti kita memelihara budaya,” ungkap Ketua YB3, Bambang Subarnas, M.Sn.
Bambang yang juga kurator event F7S ini menuturkan, Festival 7 Sungai berfungsi untuk menggerakan kepariwisataan sekaligus mempromosikan budaya yang ada di Desa Cibuluh.
Pada festival kali ini dengan keterbatasan dan kondisi yang ada, kata Bambang, peluang dan inisiatif komunitas digerakkan. Sehingga, peserta pada kegiatan-kegiatan festival kali ini adalah komunitas. Ada komunitas lingkungan, komunitas sungai, dengan kegiatan ada penebaran ikan native di sungai yang diperoleh dari beberapa sungai di kawasan Subang. Selain itu, kegiatan menanam pohon untuk menjaga kelestarian lingkungan, serta mata air di sekitar sungai.
“Bagaimanapun, seperti yang kita tahu, menjaga sungai tidak bisa sepotong. Menjaga sungai itu harus dari hulu ke hilir,” tegas Bambang.
Apa yang dilakukan warga Desa Cibuluh dan YB3 sebagai lembaga pendamping pengembangan kepariwisataan desa merupakan upaya pemanfaatan alam. Namun, upaya itu tidaklah pemanfaatan semata. Bagi warga Cibuluh, alam adalah segalanya dan harus dikelola dengan sentuhan yang layak pula, salah satunya dengan sentuhan kearifan lokal yang sudah menjadi kultur masyarakatnya. Hal inilah yang kemudian dilihat oleh Bumdes Tarungjaya and Bale Budaya Bandung sehingga menggelar event tahunan kepariwisataan desa ini.
Melihat potensi ini, Bumdes mengemasnya menjadi F7S #5. Hal itu merupakan salah satu upaya kontinuitas program Desa Wisata Cibuluh. Acara kali ini juga terlaksana berkat dukungan dari berbagai pihak seperti Astra melalui program Kampung Berseri Astra, FKPPI Kabupaten Subang, Komunitas Pelestari Alam Nusantara, Mitra dari media massa, Mitra pendamping program budaya YB3, dan Pemerintah Desa Cibuluh.
Daming berharap, langkah kecil yang mreka lakukan ini mampu memberikan dampak positif bagi alam dan lingkungan di masa mendatang.
“Bagaimana pun, kita telah mendapatkan amanat untuk menjaga dan merawat lingkungan, kita bukanlah pewaris yang dapat seenaknya memperlakukan lingkungan,” tegasnya. (aep ahmad senjaya)***